3. Berandalan

103 6 1
                                    

Seperti biasa Arum diantar ayahnya sampai di pertigaan jalan karena tempat kerja ayahnya berada di jalur lain. Arum juga tidak keberatan tidak diantar sampai depan gerbang sekolah seperti teman-temannya yang lain. Toh, jarak sekolahnya tidak terlalu jauh dari sini. Cukup jalan kaki sekitar sepuluh menit saja.

Arum mencium tangan ayahnya setelah melepas helm.

"Belajar yang rajin, kalo ada apa-apa bilang sama ayah." Lukman tersenyum lembut menatap wajah cantik anaknya.

"Siap bos!" sahut Arum dengan semangat.

Mata Lukman beralih ke sweater rajut yang Arum kenakan. "Kamu sakit?"

"Enggak yah, cuma pengen pake sweater aja," sahut Arum sekenanya.

Gadis itu tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya. "Uang jajannya mana yah?"

"Ck... Inget aja kamu Rum kalo duit," ujar Lukman seraya membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.

"Hehehe... Iya dong yah," sahut Arum.

"Ayah berangkat kerja dulu."

"Hati-hati yah," ujar Arum sambil melambaikan tangannya.

Sepeda motor butut ayahnya melaju meninggalkan Arum seorang diri. Perlahan-lahan senyum di bibir gadis itu memudar dan berganti ringisan menahan perih.

"AW! Sakit banget." Arum menggulung sedikit lengan sweater untuk melihat luka di tangannya. Luka itu belum mengering, namun sudah lebih baik dibandingkan dengan tadi malam.

Arum bersyukur lantaran Tiara tidak memukulnya di bagian telapak tangan ataupun punggung tangan. Sehingga ia masih bisa menulis dengan lancar. Dan satu lagi, ayahnya tidak melihat luka tersebut karena tertutup sweater.

Arum berjalan di trotoar menuju sekolahnya. Namun ada yang berbeda pagi ini dibandingkan pagi sebelum-sebelumnya. Bisa jadi ini pertama kali terjadi.

Entah datang dari mana, tiba-tiba ada segerombolan siswa dari SMA lain. Lebih tepatnya berandalan, bagaimana Arum tahu. Tentu saja dari penampilan mereka semua. Dari ujung rambut sampai ujung kaki tidak rapi sama sekali. Bahkan ada yang terang-terangan merokok meskipun memakai seragam putih abu-abu.

Arum sedikit takut untuk melewati gerombolan itu. Apalagi Arum masih trauma dengan kejadian tadi malam.

Mereka duduk di atas sepeda motor. Mereka kompak menatap ke arah gerbang sekolah dan mengomentari siswi-siswi di sekolah Luis high school yang notabenenya merupakan anak dari kalangan atas. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak lantaran diantara mereka ada yang ingin memiliki pacar dari sekolah elit tersebut. Otomatis hal itu tidak akan pernah terjadi karena perbedaan kasta diantara mereka.

Arum menghentikan langkahnya dijarak lumayan jauh dari gerombolan berandalan itu. Gadis itu masih mengamati mereka lalu pandangannya tertuju ke arah siswa yang paling unik diantara mereka semua. Siswa itu memiliki rambut berwarna putih dan memakai anting serta gelang dan kalung. Seragam putihnya tidak dikancingkan semua hingga kaos hitam didalamnya terlihat. Hanya siswa itu yang tidak tampak tertawa, dia memilih diam dan terus memantau.

"Anak dari sekolah mana tuh?" batin Arum keheranan.

"Hah gawat!" pekik Arum saat melihat jam tangannya, sebentar lagi bel masuk berbunyi. Dan ia tidak boleh telat masuk karena sekali gerbang tertutup, tandanya tidak akan terbuka lagi sampai bel tanda pulang berbunyi.

Bodo Amatlah.

Arum berjalan dengan langkah cepat melewati gerombolan tersebut tanpa menoleh sama sekali.

Si rambut putih menatap Arum hingga gadis itu sampai di depan gerbang lalu masuk.

"Yon, yang mana cewek yang lo maksud?" tanya Juni penasaran. Suara bel sudah berbunyi nyaring lima belas menit yang lalu dan sudah tidak ada lagi siswa-siswi yang berangkat.

"Besok kita ke sini lagi," ujar Rion, si rambut putih yang masih setia menatap gedung sekolah elit di depannya dengan tatapan yang tidak terbaca.

Dari jendela kelas Arum, gadis itu dapat melihat gerombolan berandalan itu masih setia di sana sampai pelajaran pertama dimulai.

Saat istirahat pertama Arum memilih pergi ke taman belakang untuk menyantap bekal makan siangnya. Meskipun ia membawa bekal dari rumah, tapi Arum tak pernah lupa meminta uang saku kepada ayahnya. Bukan untuk jajan melainkan untuk Arum tabung. Siapa tahu ada iuran mendadak, sehingga ia tidak perlu lagi meminta uang kepada ayahnya.

Meskipun uang sakunya sepuluh ribu dan sangat minim jika dibandingkan dengan uang saku siswa-siswi di sekolah ini, tapi kalau dikumpulkan sejak setahun yang lalu maka hasilnya sudah lumayan banyak.

Sebelum suapan terakhir masuk ke dalam mulut, tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya dari belakang hingga suapan terakhir itu jatuh ke tanah.

"Untung suapan terakhir," batin Arum sedikit lega.

"Heh gembel! Elo itu nggak pantes sekolah di sini, sadar nggak sih kalo derajat kita beda jauh?" Tiara melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang wajah sinis sekaligus benci.

"Elo itu pantesnya bukan di sekolah ini, tapi di sekolah gembel," lanjut Tiara sambil menoyor kepala Arum.

"Pake sweater Lo?" Tiara menatap Arum dengan tatapan mengejek.

"Bagus deh, jangan sampe siswa-siswi di sini tahu tangan Lo mulai membusuk," ujar Tiara.

"Dan inget ya." Tiara memegang dagu Arum dengan erat sambil melotot lebar. "Jangan sampe guru-guru di sini tahu kalo luka itu karena gue, atau gue bakal bikin hidup Lo lebih sengsara," ancam Tiara tak main-main.

"Jawab!"

"Iya," sahut Arum lirih.

"Bagus," ujar Tiara setelah melepaskan dagu Arum.

"Hand sanitizer." Caca mengeluarkan benda tersebut dan langsung menyerahkannya kepada Tiara.

Tiara menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya begitu banyak. Dia tampak jijik karena telah memegang tubuh Arum yang kotor menurutnya.

Tiara melenggang pergi diikuti oleh kedua temannya.

"Bukannya yang kemarin udah keterlaluan, Ra?" Caca tampak ketakutan.

"Keterlaluan gimana sih?" Gadis itu memoles wajahnya dengan make up di toilet dengan santainya, tidak merasa bersalah sama sekali.

"Ra, gue takut si gembel itu ngadu ke guru terus kita di keluarin dari sekolah," ungkap Noni sama ketakutannya seperti Caca.

"Kalian berdua payah, baru gitu aja udah ketakutan," ejek Tiara.

"Kalian tenang aja, mami gue kan donatur terbesar di sekolah ini. Jadi pihak sekolah nggak mungkin berani ngeluarin gue," ungkap Tiara dengan begitu tenangnya.

"Itu kan elo, terus gimana nasib gue sama Noni?" celetuk Caca.

"Kalian bakal gue lindungi."

ZionWhere stories live. Discover now