9. Sengaja Menunggu

74 5 0
                                    

Langit begitu cerah di luar sana namun berbanding terbalik dengan suasana hati Arum yang suram pagi ini. Dan hal itu tak luput dari perhatian Lukman.

"Pagi-pagi kok kelihatan nggak semangat gitu, kenapa?"

Arum mencoba menarik sudut bibirnya, dan tersenyum penuh kepalsuan. "Ah! Nggak, perasaan ayah aja kali," elak Arum sambil mengibaskan tangannya.

"Gimana sekolah barunya?" tanya Lukman dengan semangat.

"Ba-bagus," sahut Arum ragu. Mulai memasukkan sesendok nasi goreng dan mengunyahnya dengan malas.

"Syukur kalo gitu, ngomong-ngomong  kamu udah punya temen baru di sana?" Lukman ingin tahu lebih banyak.

Arum mengangguk ragu. Terpaksa berbohong kepada ayahnya agar tidak membuat pria paruh baya itu sedih.

"Baik nggak anaknya?"

"Baik yah," sahut Arum seketika meringis.

"Ayah lega dengernya."

"Hari ini ayah anterin ya? Sekalian ayah mau nyari kerja di daerah sekitar sana." Lukman menawarkan diri, dan tentu saja tidak disia-siakan oleh Arum. Tanpa sadar kepalanya mengangguk kencang.

***
Zion berdiri di depan gang menanti kedatangan Arum. Hari ini laki-laki bersurai putih itu datang sangat pagi. Ia hanya ingin melihat wajah gadis itu lebih awal.

Dan benar dugaannya. Arum berangkat bahkan sebelum pintu gerbang besar sekolah dibuka.

Terlihat gadis itu turun dari motor lalu menyerahkan helm dan sedikit bergurau dengan ayahnya sebelum pria paruh baya itu pergi.

Arum hendak menyeberang jalan, namun tatapan matanya terpaku ke arah seorang laki-laki berseragam yang berdiri seakan tengah menantinya.

Tanpa sadar senyum gadis itu luntur. Ia mengembuskan nafas panjang. Ini akan menjadi hari yang berat, pikirnya.

Ketika memastikan jalanan sepi Arum menyebrang, gadis itu mulai melangkahkan kakinya dengan sedikit ragu menuju ke arah gang di depannya.

Langkah kakinya dipercepat saat melewati laki-laki itu. Namun sebuah tangan sudah lebih dulu menarik tasnya hingga ia tersentak ke belakang.

"Ada orang di sini, nggak kelihatan?" Tubuhnya sedikit membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Arum.

"Maaf," cicit Arum.

Tangan kurang ajar itu segera bertengger di bahu Arum, merangkulnya dan mendorong tubuh gadis itu untuk segera berjalan.

Arum hendak melepaskan diri. Namun percuma saja. Tenaga Zion jauh lebih besar dibandingkan tenaganya.

Memasuki sekolah melalui gerbang kecil disebelah gerbang besar. Keduanya berjalan menuju ke kelasnya. Suasana sekolah benar-benar sunyi, sama persis seperti pertama kali Arum datang ke sini. Kemarin hanya ia satu-satunya yang memakai seragam putih abu-abu, tapi hari ini ada satu orang lagi yang menemaninya.

"Lepasin," pinta Arum dengan suara yang mirip seperti tikus kejepit.

"Gue takut lo nyasar lagi kayak kemarin," kilah Zion yang sebenarnya menikmati kedekatan diantara keduanya.

"Nggak akan nyasar lagi," cicit Arum ragu-ragu.

Akhirnya Zion melepaskan rangkulannya tepat di depan kelas mereka.

Arum tersentak kaget melihat keadaan kelas mereka yang berantakan. Ia baru sadar sekarang. Kemarin ia tidak sempat melihat sekitarnya, hanya satu yang selalu ia pikirkan yaitu ingin cepat-cepat pulang ke rumah, mengistirahatkan tubuh dan otaknya.

Bola-bola yang terbuat dari kertas berserakan di lantai. Belum lagi ada sampah bekas makanan ringan yang tergeletak di bawah meja.

Arum menyimpan tasnya di meja sebelum mengambil sapu dan mulai membersihkannya.

"Nggak usah repot-repot, nanti juga kotor lagi," ujar Zion yang duduk dengan santai di kursinya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Tapi kan nggak enak dilihat," sahut Arum yang masih fokus membersihkan kolong meja dengan teliti. Ia bahkan sedikit mengangkat kursi mencoba mencapai sela-sela yang sulit dijangkau.

"Sial," gumam Zion bersamaan dengan suara derit kursi yang terdorong ke belakang dengan kencang. Zion bangkit, ikut serta membantu Arum dengan menaikkan semua kursi ke atas meja.

Karena bantuan Zion gadis itu dengan mudah membersihkan lantai kelas tanpa perlu mengangkat kursi satu persatu.

Setelah selesai Arum mengembalikan sapu ke tempat semula. Lalu menghampiri Zion.

"Makasih," ujar Arum diselingi senyum tulus yang tanpa sadar membuat laki-laki yang ada di depannya terpesona hingga terpaku sesaat. Senyum itu begitu dekat dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Zion dengan segera mengalihkan pandangannya. Tanpa sadar telinganya sudah memerah.

Bruk!

Zion melempar buku ke atas meja. Kening Arum berkerut tak mengerti. Memandangi lelaki itu dengan tatapan polos.

"Itu bukunya," ujarnya seraya melenggang pergi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

Arum memandangi buku paket yang tergeletak di depannya dengan Zion yang sudah hampir mencapai pintu secara bergantian.

Zion menolehkan kepalanya. "Itu buku yang sama kayak punyanya Bu Tuti."

Arum menganggukkan kepalanya, tanda mengerti. Sekarang ia ingat.

Dengan cepat Arum memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya. Ia harus menyalin ke buku tulisnya lalu menyerahkan kembali buku tersebut kepada Zion.

Diam-diam Zion berdiri dibalik dinding sambil memegangi dada kirinya. Wajahnya memerah setelah melihat senyum gadis itu dari dekat. Apalagi ditambah tatapan polosnya itu. Hampir saja Zion lepas kendali dan mencium makhluk menggemaskan di dalam sana.

Huft!

Zion mengatur nafasnya sejenak. Ternyata berandalan sepertinya bisa juga jatuh cinta. Zion akui kalau ia sudah tertarik dengan Arum sejak awal pertemuan mereka berdua. Sudut bibir Zion berkedut.

Bel tanda masuk pun berbunyi nyaring. Zion melangkah masuk ke dalam kelasnya yang masih saja sepi. Mengambil duduk di sebelah Arum, matanya melirik gadis itu yang tengah asik membaca buku pelajaran.

Tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang begitu banyak dan disertai suara-suara yang begitu berisik, layaknya berada di pasar.

Kelas yang tadinya hanya terdapat Arum dan Zion. Kini menjadi sangat ramai. Semua yang baru masuk langsung terkejut lantaran melihat Zion sudah duduk di kursinya, padahal laki-laki itu sering datang setengah jam setelah bel masuk berbunyi. Bukan hanya itu saja, mendadak semuanya berhenti berbicara ketika menyadari kelasnya sangat bersih dan rapi, tidak seperti terakhir kali mereka tinggalkan.

Seorang gadis berpakaian ketat mendekati meja yang ditempati Zion dan Arum dengan kening berkerut.

"Kamu yang bersihin?" tanyanya dengan nada terdengar ketus. Arah pandangan gadis itu tertuju kepada Arum, si anak pindahan.

"Iya," cicit Arum takut-takut.

"Minggir lo, bikin Arum takut aja," ujar Zion yang membuka perlahan kelopak matanya, menatap tajam gadis dihadapannya.

Gadis itu mendengus lalu pergi ke mejanya.

Setengah jam kemudian, Juno dan Ken baru datang. Kedua laki-laki itu langsung duduk di mejanya dan memutar badannya menatap ke arah Zion dengan raut kebingungan.

"Udah disini aja Yon, gue pikir lo nggak berangkat," ujar Juno.

"Ho'oh." Ken mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Berisik!" ujar Zion yang setia menutup kedua kelopak matanya.

Keduanya langsung pucat pasi dan memilih memutar badannya menatap ke depan.

ZionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang