Chapter 4

267 43 41
                                    

Sudah tiga butir pil tidur yang dia konsumsi, waktu pun sudah berlalu dua jam dari saat Cars mengantarnya pulang ke hotel yang dia tinggali di Berlin, Calysta tidak dapat memejamkan matanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sudah tiga butir pil tidur yang dia konsumsi, waktu pun sudah berlalu dua jam dari saat Cars mengantarnya pulang ke hotel yang dia tinggali di Berlin, Calysta tidak dapat memejamkan matanya. Sudah dini hari dan sebentar lagi matahari menyambut, tapi dia memilih duduk di atas ranjang dengan kaki tertekuk ke atas sehingga dapat memeluk tubuhnya sendiri. Di tengah kegelapan yang sengaja  tercipta karena tidak menyalakan lampu kamar, Calysta membenamkan wajahnya di atas paha.

Bertemu dengan Cars setelah sekian lama ternyata masih ampuh mengembalikan rasa sakit yang coba dia sumbat dengan sebuah kepura-puraan. Pelarian bertahun lamanya terasa sia-sia ketika kenangan buruk menjalar kembali ke setiap jengkal tubuhnya.

Calysta mendongak, meraup wajahnya dengan kasar. Meski khawatir esok hari matanya menghitam seperti panda, dia tetap enggan melipat kelopak yang membingakai bola indah matanya. Hanya langit-langit atap kamar yang dia temukan, tapi sebuah wajah seolah terlukis di sana. Membuat dadanya terasa sesak dan menyadari, dia tidak sepenuhnya lupa.

Seharusnya dia menangisi Edward. Atau mungkin mencaci pria itu karena sudah membuang waktunya sia-sia. Bukan mengenang kenyataan pahit bersama seseorang yang sama sekali tidak pernah mau singgah untuknya barang sebentar saja. Calysta tersenyum kecut.

Lalu tiba-tiba wajah Cars yang tercetak pada langit-langit atap berganti dengan rentetan peristiwa. Rasanya seperti kepalanya dibenturkan pada dinding agar dia mau mengingat kembali kejadian menyedihkan itu. Dia seperti melayang dalam sebuah ruangan tanpa gravitasi lalu tubuhnya telempar kembali pada masa lampau.

Menjadi saksi terenggutnya nyawa seseorang menjadikan Calysta harus menerima perawatan dari psikolog. Saat itu umurnya baru delapan belas tahun. Sedang bersemangatnya dalam mencapai cita-cita serta mengejar cintanya yang rela dia susul sampai negara yang menjadi pusat dunia. Amerika. Namun siapa sangka saat pengalaman pertamanya di negara itu menorehkan luka yang seumur hidup bahkan tidak bisa dia lupa.

Setelah menjalani perawatan selama enam bulan, akhirnya Calysta bangkit kembali. Mencoba mengesampingkan suara-suara mengerikan di telinganya seperti, decitan ban mobil yang sedang mengerem, klakson yang berbunyi berkepanjangan, bahkan dia yang pada saat itu baru mempunyai surat izin mengemudi, pun tak mau menyentuh stir. Baik motor maupun mobil.

Dengan harapan baru dia memberanikan diri untuk kembali ke Cambridge menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa. Untung saja dia mendapatkan dispensasi untuk pemulihan mental akibat peristiwa mengerikan yang disaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Asher mengangkat sebuah koper dari bagasi mobil lalu menyerahkan pada Calysta.

"Kau yakin tidak ingin aku antarkan ke dalam?"

Calysta menggeleng mantap. "Ini sudah malam dan ada Mia di dalam. Aku tidak ingin dia merasa tidak nyaman karena kehadiranmu. Yaa, walaupun aku tahu jika kau berada disana, wanita itu akan menggila. Dan aku butuh istirahat daripada mendengarkan ocehannya tentangmu."

Calysta FinnWhere stories live. Discover now