14. Ditengah Rintik Gerimis

423 86 4
                                    

"Ujan-ujan kok beli es krim sih?"

"Gapapa sekali-kali." Mahendra yang mendengar itu hanya bisa geleng-geleng kepala, menerima uang yang diberikan adiknya dan memberi uang kembalian.

"Makasih kak~ Semangat kerjanya!" Ucap Ayra sebari keluar dari mini market tempat Mahendra bekerja yang sudah hampir lima tahun bekerja disana. Gaji bulanan yang dia terima di sini sudah lebih dari cukup untuk dirinya dan Ayra.

Selalu cukup karena sejak dulu Mahendra selalu mengajarkan berhemat kepada adiknya. Dan syukurlah Ayra mengerti akan keadaan mereka sekarang, gadis itu tak pernah meminta yang aneh-aneh, bahkan laptop yang biasanya dia gunakan menonton Drama Korea itu adalah hasil tabungannya sendiri selama empat tahun lamanya.

Ayra mulai melangkah jauh meninggalkan mini market tersebut dengan sebuah payung yang berada di genggamannya. Mahendra mendapatkan sip sore sekarang, mungkin nanti sekitar jam sepuluh malam baru dia akan pulang. Kapasitas hujan sudah tak sederas barusan, hanya gerimis tipis-tipis, namun cukup membuatnya basah kuyup jika tidak menggunakan payung.

Hari ini nabastala dikelilingi kegelapan malam juga mendung yang membawa rinai hujan yang tak ada habisnya sejak barusan. Entah ada duka di bagian bumi mana yang tak ia ketahui, sehingga semesta menumpahkan tangisnya yang sendu dan pilu seperti ini.

Namun langkahnya terhenti saat dia menatap sebuah figur yang sepertinya berjongkok di tepi jalan. Terlihat tubuh seseorang itu bergetar menahan udara dingin yang seakan-akan menusuk kulitnya jika saja Ayra tak menggunakan Hoodie tebal yang dia ambil dari lemari Mahendra, Hoodie yang menutupi hampir separuh badanya dan membuatnya tenggelam dalam kehangatan.

Langkahnya berjalan menuju figur itu, dan dengan sedikit keberanian dia mencoba membuka suara.

"Permisi? Kamu gapapa?" Pertanyaan yang terdengar bodoh menurutnya, namun dia tak tau harus mengatakan apapun. Ketakutannya bertambah saat perlahan-lahan dia mendengar suara ringisan dari laki-laki itu, masih meringkuk seperti menahan sesuatu.

"Ra.."

Rautnya begitu terkejut saat melihat seseorang yang kini menatapnya dengan wajah pucat juga banyak lebam pada sudut bibir dan juga pipinya. "Riki?! Lo kenapa?!"

"Sakit, Ra.." kini Ayra jadi gelagapan sendiri, tak tau harus berbuat apa. Namun di pikirannya saat ini, pertama kali hal yang harus dia lakukan adalah membawa Riki berteduh.

"Riki! Kita-- kita nyari tempat teduh dulu Rik, ujannya mulai deres." Ungkap Ayra lalu mengait tangan laki-laki yang terasa dingin itu. Memapah Riki menuju halte bus yang terlihat gelap, namun tak masalah, setidaknya ada tempat berteduh untuk mereka.

"Lo ngapain coba ujan-ujan gini? Mana ngga bawa payung lagi. Terus muka Lo kenapa? Aduh Riki.. Gue sebenernya takut sama lo, tapi lama-lama gue juga kesel sama lo tau ngga? Kek goblok banget main ujan-ujanan jam segini--"

"Sttt." Mulut Ayra terkunci saat dia merasa sesuatu menempel pada bibirnya. Melihat kearah Riki yang kini juga menatap dirinya, dan perlahan dia menyadari bahwa jari laki-laki itu kini menempel pada bibir tipisnya.

"Kenapa lo peduli?" Terlepas dari rasa gugupnya saat ini, rasa kesalnya kepada laki-laki di depannya ini jauh lebih mendominasi. Bisa-bisanya dia bertanya perkataan seperti itu pada Ayra.

"Ya karena gue punya hati!"

"Lo punya hati? Emang cewek punya hati?"

"Jadi Lo pikir cewek ga punya hati gitu? Rik asal lo tau ya, cowok itu jauh ngga punya ha--"

"Kalo lo punya kenapa mama ga punya hati?"

Pertanyaan tersebut berhasil kembali membungkam Ayra. Bersamaan dengan gelegar petir yang terdengar sangat mengagetkan membuat Ayra secara tak sadar menghambur ke pelukan laki-laki itu. Dia tak menyadari apapun bahkan posisinya saat ini, namun yang dia rasakan hanya sebuah kehangatan dan suara detak jantung yang teratur. Rasanya damai, rasanya seperti dia kembali ke rumahnya.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang