33. Monokrom Milik Kita [EPILOG]

260 31 1
                                    

Jika ada satu pertanyaan dengan jawaban mutlak, mungkin kelak Riki akan bertanya; sebenarnya apa alasan dia dilahirkan? Apa yang akan dia temukan dalam hidup sampai-sampai dia sudi untuk menetap di sini?

"Kita nggak pernah meminta dilahirkan. Yang salah mereka, soalnya mereka nggak minta izin dulu sebelum melahirkan kita," celetuk Satria di tengah-tengah keheningan.

Walaupun kalimat yang  itu terdengar konyol, tak bisa dipungkiri bahwa hal itu membuat suasana hati Riki sedikit membaik. Merasa tak disalahkan karena kelahirannya membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan. Riki tak membuka suara, lebih memilih memperhatikan daun-daun kering yang tengah menari-nari di udara karena angin pagi ini cukup membuat mereka berpisah dari ranting-ranting tempat mereka bernaung sebelumnya.

"Rasanya, hidup gue abu-abu, bang, tetap sama sejak gue kehilangan ingatan." Sebuah hal yang selalu dia sesali, adalah mengapa dia harus kehilangan ingatan yang sedikit itu.

Lalu-lalang orang-orang yang melintas di atas rerumputan yang membentang cukup besar itu terkadang menyadarkan Riki akan banyak hal. Saat dia sedih, saat dia terpuruk, atau saat dia sedang berada tepat di ujung batas kesedihannya, dia akan ke tempat ini. Sebuah taman yang terlihat sederhana, namun hanya di sini Riki bisa melihat sisi lain dunia. Sebuah tempat dimana dia tak dikenali siapapun juga.

Dia merasa tenang, sekaligus tersadar bahwa sedalam apapun kesedihannya, dunia akan terus berjalan. Saat keadaan benar-benar terasa sulit untuk Riki sampai waktu terasa seolah-olah berhenti, suasana yang seperti ini adalah sesuatu yang menyadarkannya bahwa dunia masih berputar, dan akan terus berjalan.

Semua ini pasti berlalu.

"Jujur gue pengen inget masa lalu gue lagi. Hidup seperti apa yang gue jalani dulu, gue orangnya seperti apa, hal-hal yang paling sering gue lakuin, siapa aja orang-orang yang datang dan pergi selama hidup gue berlangsung. Gue udah mau 22 tahun, tapi rasanya seperti lahir lagi." Riki berucap panjang sebelum melahap biskuit yang dia beli sebelum kesini. Sebuah dipan ini hanya berisi mereka berempat. Dengan Jaka yang berkutat dengan buku yang tengah dibaca, Satria si pendengar setia, dan Jaya, dengan sebatang nikotin yang terjepit di antara jari-jemarinya.

Di antara banyak kalimat yang tersusun di buku itu, Jaka menyembunyikan rasa sedih untuk Riki. Namun di sisi lain entah mengapa dia juga bersyukur untuk lelaki itu. Andai saja Riki tahu seberat apa hidupnya dulu.

Ini sudah 6 tahun berlalu sejak dia kehilangan ingatannya. Entah otaknya yang masih bermasalah atau apapun. Beberapa dokter yang ditemuinya mengatakan bahwa dia akan kembali mengingat sedikit hal walaupun bukan ingatan yang berskala besar, mungkin dia hanya akan ingat bagian-bagian kecil yang pernah dia anggap berarti di hidupnya.

"Ada yang bilang, beberapa orang berusaha keras untuk keluar dari masa lalunya," ungkap Jaka memecah keheningan. Lelaki itu melepas kacamatanya. Kedua matanya mulai terasa lelah karena sudah menghabiskan puluhan halaman untuk dibaca sejak tadi.

"Katanya jangan terjebak di masa lalu, Rik. Kalo lo terjebak, selamanya bakalan sulit keluar, karena pintunya gak kelihatan. Tapi dengan musibah yang lo dapatkan sampai hilang ingatan, itu terasa seolah-olah ada seseorang yang datang lalu menghancurkan pintu yang lo punya," sambung Jaka mendapat perhatian penuh dari Riki.

"Pintunya sengaja dihancurkan, biar lo nggak bisa pulang, biar lo nggak terjebak lagi di sana," tambah Jaka.

Riki terpaku pada waktu yang memaksanya untuk melupakan semuanya. Melihat wajah-wajah di depannya ini satu-persatu membuat Riki merasa dia tak sendirian di dunia ini.

Dia mendengar semua cerita dari mereka. Dia yang dulunya berandal sekolah, sering balap liar, perokok. Di sisi lain dia juga mendengar cerita tentang keluarganya, bagaimana lukanya, bagaimana sakit yang dia bawa kemana-mana. Dan yang terakhir, cintanya, Ayra.

Monokrom | Nishimura RikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang