chapter 8

40 4 0
                                    

Typo bertebaran, bisa langsung kasih tahu typo-nya. Oke😉😉

Happy reading.

"Pulang!"

Aku masih saja terheran-heran melihatnya. Dia masih memakai seragam dan ini belum waktunya pulang sekolah. Tiba-tiba dia mencengkeram tanganku dengan kuat. Aku pun cepat-cepat mengambil paperbag berisi gaunku, dan juga ponselku.

Semua uang mengalir dari appa, tae oppa, doy oppa. Appa sama doy oppa setiap bulan selalu mengirim uang dengan jumlah yang selalu sama. Jika saja Mark oppa sudah bekerja, wah, pasti keuanganku akan menaik.

Oke lupakan itu sekarang, aku meniup-meniup lengan. Gara-gara dia mencengkeramnya terlalu kuat. Aku lihat dia tidak melewati jalur ke rumah. Tapi tidak tahu ini jalan kemana. Dia hanya bilang ke sopir taksi ke alamat yang dia bisikan. Aku mendelik ke arahnya. Kenapa dia tidak bisa santai gitu? Langsung main tarik saja, gak tahu apa tadi menjadi pusat perhatian. Karena dia memakai seragam sekolah.

Benar kan, yang aku tebak. Dia membawaku ke rumahnya. Kenapa justru membawaku ke rumahnya? Bukankah tadi katanya pulang?

"Nah, kamu disini bersama eomma, bye-bye," ujarnya setelah menurunkan aku tepat di depan gerbang rumahnya. Hah! Maksud dia itu apa sih? Aku harus menemani ibunya gitu? Aku menggaruk kepala tak gatal, pusing. Rambut aku berantakin, sambil berdecak kesal.

"Eh nak, ayo masuk," ujar seorang wanita cantik yang pernah aku temui. Aku pun tersenyum tipis.

"Eh, maaf saya ..."

"Ayo masuk, tadi sebenarnya aku ingin ke rumah kamu, tapi katanya kamu gak ada dirumah, malah keluyuran," ujarnya sambil menarik tanganku untuk masuk. Aku hanya dapat tersenyum canggung, mengikutinya.

"Kamu mirip sekali dengan ayahmu," ujarnya berbasa-basi. Aku hanya bisa tersenyum sambil terkekeh canggung.

"Kamu seperti ibu mu waktu remaja, suka sekali mencari keributan bersama," ujarnya sambil mempersilakan aku duduk di sofa.

Selama aku ada di sini, kami berbincang-bincang dengan santai. Membicarakan banyak hal, entah itu menceritakan tentang eomma, menceritakan kenakalan mereka waktu remaja bersama eomma Jung. Aku terkekeh mendengar cerita itu. Ternyata mereka bertiga tidak jauh beda denganku waktu remaja.

"Eh nak, kamu tahu tidak tentang bagaimana bisa suamiku membolehkan anak satu-satunya itu menjadi guru les dan tinggal bersama kamu?" Aku menggelengkan kepala.

"Sebenarnya tuh ya, dia sendiri yang memaksa ayahnya untuk membolehkan kalian tinggal bersama, semua kakakkmu  tidak tinggal di rumah kan?"

Aku mengangguk menjawabnya, pantas saja. Kenapa dia bisa punya kunci cadangan kamarku. Saat jam menunjukkan pukul setengah delapan malam, aku hanya bisa pasrah menunggu dia menjemputku. Tante Youna ke dapur, aku duduk di sini sendirian.

Begini ya rasanya berbincang-bincang dengan sosok ibu. Seperti berbincang-bincang dengan teman sebaya, tidak ada jarak sama sekali. Beliau berbicara seakan-akan aku anak kandungnya.

"Nak, ayo makam malam, selagi menunggu mereka pulang," ujarnya agak keras di pintu penghubung ruang makan dengan ruang santai.

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan ke arahnya. Ingin menolak tawarannya, tapi dari matanya terlihat ingin sekali aku bergabung dengan mereka di meja makan. Akhirnya, aku ikut duduk di kursi yang maid tunjukkan. Aku tersenyum manis ke Tante Youna.

Beberapa saat kemudian, ada seseorang pria dewasa masuk. Sepertinya dia ayahnya Jaemin. Wajahnya sangat mirip dengannya. Dia tersenyum saat menatapku lalu duduk di kursinya.

Soulmate || Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang