9

599 101 8
                                    


"Jadi?"

Sita mengangkat wajah dari layar ponselnya. "Apa?" tanya Sita bingung, menatap Windu yang berdiri di samping mejanya, sembari melipat tangan di depan dada.

"Hani bilang kemarin kamu mendatangi rumah Aditya Utama? Lalu hari ini kamu bertemu lagi dengannya dan makan siang bersama?"

"Lebih tepatnya, dia makan setengah jatah makan siangku," jelas Sita.

"Mengecewakan sekali," kata Windu dengan bibir ditekuk dalam. "Padahal dulunya aku respek sama kamu karena hanya kamu satu-satunya orang yang kukenal yang tidak mengelu-elukan Memoria."

Sita mengerutkan dahi. Tak begitu memahami arah ucapan rekan kerjanya itu.

Windu melanjutkan ucapannya. "Kalau kamu tahu ada diktator yang melakukan pembantaian tiga juta rakyatnya, apa kamu akan mau saja diajak makan siang kalau ternyata diktatornya sopan dan berwajah luar biasa tampan?"

"Windu, itu perbandingan yang aneh karena Aditya, Aditya tidak membunuh siapa pun .... "

Dan seperti yang sudah disadari Sita, Aditya tak luar biasa tampan. Dia hanya... luar biasa menarik.

"Itu kan setahumu saja," kata Windu tajam.

Tiga tahun lalu, keluarga besar Windu yang tinggal di daerah Blora menjadi salah satu yang terkena korban pandemi. Kakak Windu sekeluarga mudik ke Blora, tanpa mengetahui bahwa suaminya merupakan carrier virus meski tak menunjukkan gelaja berarti. Empat belas orang meninggal dunia termasuk kakak Windu dan dua orang anaknya, lima orang mengalami penurunan fungsi paru termasuk Windu, dua orang mengalami kerusakan ginjal parah; ibu dan pakdhe Windhu.

Pakdhenya meninggal tahun lalu.

Tidak ada obituari di koran, tidak ada liputan khusus. Di awal wabah, kematian merupakan tragedi. Di puncak wabah, kematian adalah statistik.

Suami kakak Windu, entah bagaimana merupakan satu-satunya yang selamat tanpa gangguan kesehatan berarti. Beliau sempat mengalami depresi klinis karena merasa bersalah atas kematian belasan orang di keluarga almarhum istrinya, kehilangan istri dan anaknya.

Kemudian segalanya terpecahkan setelah ada Memoria.

Ipar Windu lalu menjalani Prosedur, melupakan masa lalu, menghapus perasaan bersalah, kini sudah punya istri baru, satu anak, dan masa depan menjanjikan, sementara setiap detiknya jantung Windu masih berdenyut oleh perasaan dendam pada lelaki yang menghapus hampir seluruh garis keturunan keluarganya dari muka bumi.

Windu tak bisa marah pada iparnya. Maka dia memfokuskan segala rasa bencinya pada Memoria.

"Maaf, Windu ...." kata Sita pelan. Kata-kata terasa kering, hampa, dan tak berguna di hadapan duka seseorang... tapi hanya itu yang bisa Sita ucapkan.

Windu menelan ludah. Dia tak mengira Sita meminta maaf.

"Kami baru saling kenal ...." Sita mengatakan yang sejujurnya. Pertemanan macam apa yang punya kedaluwarsa seperti yang dimiliki Aditya dan Sita? Dua bulan lagi Aditya akan menjalani Prosedur. Dua bulan lagi semua yang dimulai akan berakhir.

Perbincangan mereka di taman berkelebat di benak Sita.

Aku lebih sering menjalankan ide-ide buruk daripada sebaliknya.

Aku tidak suka melakukan kesia-siaan.

Sita menatap Windu. "Windu, sekali lagi aku minta maaf... aku berjanji tak akan membiarkan Aditya Utama datang lagi ke kantor kita." Hanya itu yang bisa Sita tawarkan.

Windu terdiam, rahangnya terlihat mengeras sejenak, tapi kemudian dia menghela napas.

"Kamu tidak salah," katanya. "Maaf aku terbawa suasana. Aku harusnya tak bilang begitu kepadamu. Hanya saja aku terkejut kenapa kamu bisa kenal Aditya Utama.... Kamu selalu bilang hanya orang pengecut yang pergi ke Memoria untuk melupakan masa lalunya."

Sita termangu mendengar ucapan Windu. Gadis itu masih belum selesai bicara. "Tapi mungkin, cepat atau lambat, semua orang memang membutuhkan Memoria. Mungkin aku juga harus mulai menabung sejak sekarang supaya aku bisa mengikuti Prosedur. Lagi pula apa enaknya hidup penuh kebencian? Penuh penyesalan?"

Tanpa menunggu jawaban, Windu balik badan dan pergi meninggalkan Sita. Sita hanya bisa duduk di mejanya, menatap punggung kurus Windu menjauh, lalu keluar dari pintu ruangan menuju koridor antarruangan yang gelap.

Sudah banyak yang protes soal koridor gelap.

Namun, kantor biro wisata yang keuangannya kembang kempis ini menganggap lampu untuk menerangi koridor adalah pemborosan tak termaafkan...

***

Ketika pintu apartemennya diketuk, Sita mematung.

Dia sedang duduk bersila menonton TV sembari menggenggam secangkir teh hangat. Sita mengambil remote dan mematikan TV.

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini Sita yakin, ini bukan halusinasinya.

Sita melirik jam dinding, sudah pukul setengah sembilan. Sita tidak sedang menunggu siapa-siapa. Dengan ragu, gadis itu berjalan menuju pintu depan, dan setelah melihat ke lubang intip, memastikan memang ada pendatang, dia membuka pintu.

Lelaki itu mungkin berumur akhir tiga puluhan. Badannya tegap dan berisi. Rambutnya mulai dihiasi sedikit uban, tapi malah membuatnya tampak memesona. Pria itu mengunakan celana jins dan kaus abu-abu pas badan.

Mau tak mau Sita membandingkannya dengan Aditya, yang lebih tinggi, lebih kurus, dan kemejanya terlihat selalu longgar di tubuhnya. Meski berbeda, ada sesuatu dari diri lelaki ini yang membuatnya terasa agak mirip Aditya.

Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Nico, baru pindah ke unit sebelah yang memang sudah setahun belakangan tanpa penghuni.

Sita memperkenalkan diri sekadarnya, meski agak bingung juga. Dia sudah cukup lama tinggal di apartemen ini dan sepertinya baru sekarang ada penghuni baru yang memperkenalkan diri.

"Ini sekadar buah tangan," kata Nico, mengangsurkan kotak kardus yang bagian luarnya tersablon nama bakery terkenal.

"Wah, terima kasih..." kata Sita. Dengan polos, Sita mengulurkan tangannya, tetapi Nico memundurkan sedikit kotak itu.

"Biar aku bantu bawakan masuk," katanya dengan senyum tipis yang seolah menyimpan rahasia. "Ini agak berat."

Sita menautkan alis dan menarik kembali tangannya yang sudah terulur. Membiarkan orang asing masuk ke dalam rumahnya terdengar seperti bagian pembuka film horor.

Sita mundur perlahan dan tersenyum tipis, dia menggeleng pelan. "Maaf aku sedang tidak ingin menerima tamu," katanya. Jantungnya berdebar kencang. Nico masih tersenyum di tempatnya berdiri, tapi kini senyumnya terlihat culas.

Sita merasa bodoh karena sempat membandingkan lelaki ini dengan Aditya. Perasaan takut merambati dada dan mencekik lehernya.

Saat Sita ingin menutup pintu, Nico dengan cepat menggunakan tubuhnya untuk menahan. Senyumnya tak berubah. Dia mengulurkan kardus roti itu dari celah pintu. "Oke, tapi terimalah ini. Maaf, sepertinya aku salah bicara. Aku tidak ingat kalau—" Nico tak melanjutkan ucapannya.

Sita tak ingin tahu apa yang ingin lelaki itu katakan. Namun, Sita mengambil kardus, lalu melongokkan wajah sedikit untuk berterima kasih, dan setelah mendengar balasan dari Nico, dia menutup pintu dan menguncinya.

Sita membawa kardus roti itu ke dapur dan serta merta meletakkan di meja. Sita menatapnya sambil menelan ludah, melihatnya saja membuat bulu di lengan Sita meremang. Dia akan membawanya ke kantor besok. Biar teman-temannya yang menikmati.

Sita kembali berjalan tersaruk menuju menuju sofa.

Mendadak, senyum tipis Aditya terlintas di ingatannya.

Mendadak, dia ingin melihat lagi wajah Aditya Utama. 

Yang Menjadikannya AbuWhere stories live. Discover now