15

621 94 15
                                    

Sita menoleh ke arah Aditya, sama sekali tak menyadari apa yang sedang dipikirkan lelaki itu, tapi menyadari bahwa Aditya setengah menunduk, wajahnya pucat pasi dan tatapan matanya kosong.

Tapi kurasa untuk orang sesibuk kamu, satu jam saja sudah luar biasa ya.

"Sori," kata Sita meringis. Kalau dipikir lagi, ucapannya tadi seperti orang merajuk, ingin diberi perhatian lebih. Sita tidak menyadari kelancangan ucapannya itu sebelum terlambat.

Meski awalnya perjumpaan hariannya dengan Aditya terkesan canggung, tapi belakangan Sita selalu menantikannya. Perbincangan mereka tidak istimewa dan Aditya sendiri bukan orang yang banyak bicara. Lebih sering Aditya menjadi pendengar saja, tersenyum atau tertawa mendengar cerita Sita.

"Tak perlu minta maaf," tanya Aditya, senyum tipis lelaki itu muncul.

Sita balas tersenyum, menatap Aditya. Perasaan halus yang samar membuat dadanya terasa perih dan gatal.

Aditya lebih sering jadi pendengar saja, tapi sesekali dari perbincangan mereka Sita tahu Aditya menderita sakit lambung parah. Pria itu sudah mengupayakan segala cara untuk memperbaiki kesehatannya—makan teratur, disiplin minum obat, cukup istirahat. Hanya satu yang tidak bisa dilakukannya; manajemen stres. Aditya tak pernah mengeluh, tapi Sita bisa memahami mengapa Aditya melakukan Prosedur. Mengundurkan diri dari Memoria tidak cukup. Selama ingatan Aditya masih ada, pria itu akan selalu dikaitkan dengan Memoria.

Gadis itu bangkit dari duduknya dan mengambil sebuah biskuit sayur, membawanya pada Aditya.

Pria itu mengigit ujungnya sedikit. "Apa?" tanyanya, saat melihat Sita menatap tanpa berkedip.

Aku akan kehilanganmu, pikir Sita. Sungguh lelaki yang aneh, pendiam, dan sakit-sakitan. Meski begitu, Sita tahu dia akan kehilangan Aditya saat lelaki itu tak lagi mengingatnya.

Untungnya, Sita tahu dia masih punya waktu enam minggu lagi sebelum perpisahan itu tiba.

Aku akan kehilangamu. Namun, Sita tahu dia tak mungkin mengatakannya. Maka dia hanya menatap keluar jendela, dan bertanya, "Setelah semua ini selesai, aku akan menanam pohon kayu putih di balkon apartemenku." Sita mengumumkan.

Baik Aditya maupun Sita sama-sama tahu apa yang dimaksud dengan 'setelah semua ini selesai'.

Aditya yang sedang menggigiti pinggiran biskuitnya hanya menatap Sita dengan mata lebar. "Kamu suka tanaman?"

"Tentu saja tidak," kata Sita, tertawa. Setelah tawanya memudar, dia berkata dengan nada lembut, "Tapi aku mau mencoba. Hanya pohon kayu putih saja, apa susahnya?"

"Dulu aku punya langganan penjual pohon kayu putih." Aditya tersenyum kecil. Dia kembali menggigiti biskuit sayurnya, mengunyahnya perlahan. "Sayang sekali dia sudah memutuskan pensiun."

Sita mengernyitkan dahi. Dia pernah dengar orang berlangganan daging, berlangganan sayur, berlangganan majalah. Langganan pohon kayu putih terdengar sungguh absurd, seakan Aditya membelinya dengan rutin.

"Kenapa pensiun? Tidak ada yang meneruskan bisnisnya?"

"Semacam itu..." kata Aditya. "Dia menjual tempat usahanya di Sukabumi, jadi aku beli, nursery sekalian lahannya."

Sita mengerutkan kening dan tertawa. "Mau menghabiskan masa pensiun di sana?" tanyanya.

Aditya menyeringai. "Kurasa aku tak bisa melepaskannya begitu saja... terlalu banyak kenangan. Akhirnya sih aku tidak melakukan apa-apa pada tanah itu, kuberikan pada kakakku, dia yang lebih mahir untuk urusan pengelolaan properti."

Sita mengangguk. Rasanya baru sekali ini Aditya mengungkit soal keluarganya. Sita mengira karena Aditya selalu sendirian, maka pria itu sebatang kara.

Sita menyadari bahwa dia mengenali lelaki ini. Semua yang dia ketahui hanyalah lapisan terluarnya saja.

Yang Menjadikannya AbuWhere stories live. Discover now