1

19.1K 2.5K 325
                                    

Ketemu dengan tokoh baru yuk. Kisah ini TENTANG RASA dua hati dan juga pikiran.  Tentang ketidak sempurnaan dalam mewujudkan harapan. Rasa memang tidak pernah berbohong. Sekuat apapun engkau menolak, bisa jadi RASAmu tentangnya takkan berubah. Atau bahkan bertambah.

Selamat menikmati TENTANG RASA. Semoga kalian suka. Kisah ini sebenarnya saya buat sebelum berpulangnya suami. Hanya saja merasa, kok jadi mirip dengan kisah hidup saya sendiri. Kadang berpikir itulah hidup.

Salam hangat dari Medan untuk kalian semua.

***

Alana menatap kosong pada peti jenazah tertutup di depannya. Bunga-bunga yang terangkai indah diatasnya tak lagi menarik. Di dalam sana ada jenazah yang selama ini menjadi belahan jiwanya terbaring. Laki-laki yang begitu memahami seluruh kekurangan dan kelebihannya. Seseorang yang mengenalnya sejak kecil dan tidak peduli tentang masa lalunya yang pahit. Seorang yang selalu menjadi orang pertama melindungi apapun masalah hidupnya. Alana tidak pernah menyangka jika jodoh mereka hanya sampai di sini. Dia ingin memiliki Ben lebih lama lagi.

Semua orang melarangnya melihat jenazah untuk terakhir kali. Ia tahu, jasad itu tak lagi utuh. Dalam hati berkata sudah siap untuk melihat seperti apapun hancur raganya. Tapi keinginan itu takkan pernah terkabul. Hanya ayah mertuanya yang boleh melihat. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Kemarin ia bisa menikmati senyum Ben dan juga pelukan hangatnya. Bahkan dipagi hari pria kesayangan itu masih mengecup lembut bibirnya. Mereka menginap di rumah mertuanya karena bertepatan dengan ulang tahun kakak iparnya Adrian. Ben begitu senang saat mendapat kabar bahwa mereka akan menginap dan menghabiskan waktu bersama keluarga besarnya.

Ia tahu sejak dulu Ben begitu bangga memiliki kakak laki-laki seorang Adrian. Masih terbayang ketika mereka mencari kado sebelum datang kemari. Tiga hari lalu wajah Ben terlihat sumringah. Sibuk memintanya menyiapkan sesuatu untuk acara pesta. Demi menyenangkan suami, Alana melakukan perintahnya termasuk membuat puding yang akhirnya tidak dimakan karena terlalu banyak hidangan. Jelas ia takkan berani mengeluarkan hasil buatannya ketika melihat masakan Adrian yang tertata rapi dan tampak berseni di atas meja. Saat suaminya berbincang dengan keluarga ia dan ibu mertuanya berada di dapur untuk membereskan segala sesuatu. Selesai acara malam itu mereka tidur larut. Ben masih memeluk erat. Ia bisa merasakan hangat nafas yang kerap menyapu wajahnya.

Pagi hari Ben bangun lebih dulu untuk mengantar Adrian ke bandara. Masih terbayang percakapan mereka.

"Aku antar Mas Adri dulu."

"Tapi kamu harus latihan pagi ini, kan, Mas?"

"Dari sana aku langsung ke LANUD."

"Mas yakin? Nanti terlalu capek."

"Enggaklah, sekalian bisa ngobrol di jalan. Kami jarang ketemu, setelah ini mungkin tidak akan ketemu lagi."

"Kok, ngomong gitu?" tanyanya heran, tidak suka pada kalimat tersebut.

"Ya dia, kan, sibuk. Aku juga akan pindah tugas."

"Berati kalimat yang tepat bukan tidak ketemu lagi, tapi akan jarang ketemu."

"Iya deh, kamu benar."

"Mas pulang jam berapa?"

"Sore palingan seperti biasa. Aku pergi ya, kamu nanti dinas?"

"Iya, tapi pulang sore. Kita akan ketemu di rumah?"

Lama Ben terdiam, hingga akhirnya berkata, "Mungkin nanti aku masih menginap di sini. Kamu pulang kemari saja."

TENTANG RASAWhere stories live. Discover now