9

5.3K 1.7K 117
                                    


"Lan, kamu nggak kepingin cari pasangan lagi?" tanya sahabatnya Maya saat keduanya menghabiskan waktu di sebuah café pada hari minggu sepulang bekerja.

"Enggak, kenapa memangnya?"

"Enggak atau belum?"

"Apa bedanya?"

"Kamu masih muda, cantik, berpendidikan. Pasti banyak yang mau."

"Kamu mendapat titipan pesan dari seseorang?"

Kini Maya tersenyum malu, seakan ketahuan menyembunyikan sesuatu.

"Kamu ingat Dokter Zyandru?"

"Dokter baru yang spesialis Ortopedi? Yang dari Semarang itu?"

"Iya, dia nanyain kamu terus."

"Apa dia tahu kalau aku janda?"

"Jelas tahu, kamu juga tahu, kan, kalau dia duda tanpa anak."

"Kamu tahu dari mana?"

"Ternyata dia sepupunya Dokter Melanie. Dulu dijodohin, terus istrinya lari dengan pacar lamanya. Dia ditinggal begitu saja. Padahal ganteng, sayang banget, kan?"

"Jangan lihat dari gantengnya! Bisa saja ditinggal karena—"

"Kata Melanie aman. Kalau yang kamu maksud performanya."

"Yakin?"

"Karena Melanie pernah tanya ke mantannya. Murni karena nggak cinta."

"Buat kamu saja."

"Pacarku mau dikemanakan? Bisa-bisa terjadi perang nanti."

Alana hanya tertawa, karena kekasih Maya memang seorang TNI.

"Aku belum berniat dekat dengan siapa-siapa. Lagian baru tiga bulan Mas Ben pergi."

"Tapi jangan menutup diri terus terus, kapan move on-nya kalau begitu?"

"Mungkin nanti ada waktunya. Tapi belum sekarang."

"Atau kamu sudah terlalu nyaman dengan kehidupan sekarang?"

Alana menarik nafas dalam. Maya adalah sahabat sejak lama. Ketika masa awal kuliah. Tahu persis apa yang dialaminya sejak dulu. Bagaimana hubungannya dengan Ben dan seluruh keluarga besarnya. Semua orang mengatakan ia sangat beruntung. Sebagian bahkan iri, karena kekasihnya saat itu bukan berasal dari keluarga sembarangan. Sementara ia berasal dari keluarga kebanyakan. Banyak yang mengatakan seorang Alana bisa diterima dengan mudah karena memiliki kombinasi yang tepat sebagai perempuan, yakni cantik dan pintar.

"Maksud kamu?"

"Keluarga mertuamu sangat sayang dan melindungimu. Bahkan ketika suamimu sudah tidak ada. Kamu juga masih tinggal bersama mereka. Apa sih, resepnya?"

Ada palu yang menusuk perasaan Alana. Kenapa kalimat itu terdengar seperti ia memanfaatkan keadaan? Atau perasaannya saja yang terlalu sensitif akhir-akhir ini.

"Bukan, karena tinggal bersama mereka merupakan satu-satunya caraku untuk berterima kasih. Kamu tahu, kan bagaimana Mami dulu membantu setiap kekurangan biaya kuliahku? Kadang transferanku selalu datang terlambat."

"Kamu sebenarnya cinta sama Ben atau keluarganya?"

"Keduanya, mereka memberiku cinta dan rumah. Dua hal yang tidak pernah kupunya. Kamu tenang saja, kelak aku memang harus keluar dari rumah itu. Bisa saja jika Mas Adri benar-benar sudah menikah. Aku nggak enak juga kalau nanti dicemburui istrinya."

"Benar, kamu punya semua hal yang membuat perempuan lain cemburu."

Berusaha tersenyum, Alana kemudian menjawab. "Jangan menilaiku setinggi itu."

TENTANG RASAWhere stories live. Discover now