I. 1. Ingatan

431 56 0
                                    

Aku terpekur pada sebuah kursi di dalam ruang memanjang yang berjalan, mengamati pemandangan dari balik dinding tipis transparan tanpa ku ketahui namanya. Setelah seminggu menginjakkan kaki di dunia berbeda, sama sekali tak memahami apa yang terjadi. Pikiran terpaku pada seseorang bernama Warsa, terngiang-ngiang namanya memaksaku untuk melakukan sesuatu agar bisa bertemu.

Sekiranya, dapat diyakini Warsa adalah nama orang. Bersamaan itu ada bagian pada diriku terasa hampa, seakan ada nama orang lain pula yang terselip dalam benak. Lagi-lagi jika ditanya siapakah gerangan, hanya mampu ku pukul kepala sesekali. Karena timbulnya nyeri kepala bukan main sakitnya, terasa gayang seakan dunia berputar. Dalam keadaan seperti ini pun diri sendiri dibuat linglung, seoalah ada kerenggangan dengan mereka yang katanya adalah keluargaku. Merasa tidak pernah dekat bahkan sekedar bertegur sapa, alhasil selama satu minggu ini lebih banyak diam dan fokus mengamati lingkungan sekitar.

"Awisa, gimana perasaan kamu sekarang? Terakhir kali simbah meninggal responmu cuma diam. Nggak sedikit pun kamu nangis, padahal kakakmu ini tahu sebegitu sayangnya kamu ke simbah. Apa ada sesuatu yang nggak bisa diceritakan?"

Seorang laki-laki yang ku ketahui bernama Bima melontar tanya, dengan bahasa anehnya Ia berkata akan perasaanku akhir-akhir ini. Setelah beradaptasi dan mencerna kalimatnya dibuat pusing tujuh turunan, mulai mengerti apa yang dimaksud meski tidak sepenuhnya.

"Kalau kamu nggak mau jawab, yakin deh. Kakak nggak ragu memberhentikan kamu dari sekolah untuk sementara, semakin lama kondisimu semakin nggak memungkinkan."

Katanya, terdengar seperti mengancam.

"Oh, benarkah? Aku saja belum pernah bertemu dengan 'simbah'mu itu, apa yang perlu ku tangisi? Apa yang harus ku ceritakan? Mengarang cerita macam dalang, huh?"

Bima mengelus dagu menatap kursi supir bus, tidak ingin menebak bahwa lelaki itu sedang mengingat akan kejadian tiga minggu lalu. Berbagai pertanyaan terus dilontarkan mengenai kegiatanku 'di rumah' yang dihitung-hitung selama tujuh hari tidak keluar.

Sempat terheran-heran memang, orang itu bertanya seakan Aku ditunjuk bak maling tertangkap basah. Bima bilang diriku bersikap aneh, bak orang kesasar yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke dunia abad 21.

"Ya nggak gitu juga, tapi ya sudah kalau kamu nggak mau bicara. Nggak maksa kok, untuk saat ini kamu pasti butuh waktu. Kalau ada masalah, bilang ya?"

Kalimat Bima ku anggap bagai angin lalu, tak ingin peduli pula celotehnya semakin memperumit keadaan. Masih menghadap jendela, ku pandangi kendaraan lalu-lalang di jalan tol yang lengang. Terus ku lihat meski langit menggelap tanda matahari kembali turun dari peraduan.

Dalam hati, sesungguhnya pun diri sendiri memang terdapat kegelisahan. Suasana dan perasaan asing ini, aku tidak pernah merasakan. Benarkah, diriku berasal dari 'dunia ini'?

-

"Awisa, simbah mungkin memang sudah waktunya tutup usia. Bagaimana pun kamu harus sabar ya, Ibu tahu apa yang kamu rasakan. Ibu paham kok,"

"Awisa, kamu kalau diajak bicara nggak pernah nyambung. Kenapa, sih? Ada masalah?"

"Kamu selalu nyebut namamu Dyah Diyantra, kayaknya kamu kebanyakan nonton drama kolosal sampai nggak bisa bedain dunia nyata, ya?"

"Awisa, kembalilah padaku. Aku merindukanmu. "

Deg!

Kalimat mereka begitu terngiang-ngiang dalam pikiran, memaksaku untuk mencerna maksud setiap kata yang terlontar. Dari diriku sendiri merasa bingung, ditambah seseorang menyebut namaku dan memintanya untuk kembali.

Cinta Betakhta 2Where stories live. Discover now