6. Kota Sandari

125 17 0
                                    

Sepasang gapura menjulang tinggi sebagai pintu gerbang dijaga ketat oleh belasan orang, Aku meyakini mereka dapat dikatakan sebagai penjaga. Macam seorang berseragam hijau menjaga keamanan desa yang merupakan tempat tinggal nenekku, bersamaan itu dapat dilihat pula berbagai jenis senjata tergenggam rapi dimasing-masing tangan kanan mereka. Baik senjata itu dapat berupa tombak, perisai, jenawi, hingga busur panah. Meski ada banyak lagi senjata lainnya tetapi tak begitu diriku mengenali berbagai keunikan bentuk barang tersebut.

Eh, apa aku sungguh mengenal beberapa senjata yang ku sebutkan baru saja?

"Ini... Apa ini yang dimaksud dengan Kota Sandari?"

Sembari berjalan Aku bertanya, menjadi sebab Triasa fokus menatap jalan justru tersenyum dan menggaruk kepala. Kokohnya pagar terbuat dari batu merah serta jeruji besi di atasnya tampak begitu kuat yang tidak mudah diterobos jika terjadi penyerangan dari luar dinding, begitu pun formasi penjagaan ketat yang tertata rapi di setiap sudut bangunan. Tidak ingin pula Aku meremehkan, namun sepertinya tempat dipijaki saat ini bukanlah sesuatu yang biasa.

Lebih-lebih sesuatu menjadi perhatian, antara lain bagaimana setiap atau mungkin seluruh jalan di sini semua dialasi dengan batu halus berbentuk persegi panjang dan lebar. Adanya hal tersebut, ketika kereta kuda maupun pedati yang akan lewat akan sangat terbantu dari mulusnya permukaan tanah.

Apa memang sekaya dan sesejahtera itu Sumbhara menata dan memperbaiki jalan dengan sangat baik?

Triasa tertawa renyah, menggaruk kepala adalah ciri khasnya saat berinteraksi denganku. Bima saat ini menatap takjub, hanya mampu mengatup pada mulut yang menganga lebar.

"Ya. Seperti yang kamu lihat. Jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, memang sangat jauh berbeda. Namun dari keadaan tersebut, rakyat dari wilayah yang dahulunya Kota Kadipaten dipimpin seorang jenderal mulai menuruti dan patuh kepada pihak kerajaan."

Aku mengedip mata beberapa kali, lalu mengangguk samar. Tidak begitu mengerti apa yang dibicarakan, tapi sekiranya perkataannya dapat ditangkap. Bahwasanya kota ini dahulunya pernah memiliki perselisihan internal dengan pihak kerajaan. Sehingga penyelesaian konflik telah terselesaikan itu, kemungkinan besar membuat rakyat Sandari sudah jauh lebih tenang.

Hmm, unik juga pemahaman yang ku peroleh.

Kerajaan... Eh, kerajaan?

Jadi di tempat seperti ini, bagian dari suatu negara yang ku tempati dengan sistem pemerintahannya berupa republik ini...memiliki kerajaan di dalamnya?

Apa tidak bertentangan dengan otoritas pemerintah pusat?

Sebenarnya di tempat macam apa tengah Aku pijaki saat ini?

"Bima.."

Tangan kananku tanpa sadar mencengkram erat lengannya, masih dengan tatapan terpaku pada pemandangan nyaris mustahil tuk dilihat.

"Aku tidak mengerti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial... Apa.. kamu bisa menjelaskannya padaku?"

Sejemang, percakapan antara Aku dan Bima disergapi keheningan. Kemudian dia yang tersentak kaget, retina mata segera bergeser tertuju padaku. 

"Eh? Kamu sudah ingat? Kamu... bagaimana dengan pelajaran matematika yang kamu suka? Atau.. ilmu bela diri-"

Apa katanya?

Cukup kencang Aku memukul lengan Bima, kalimatnya terlampau aneh dan sulit dimengerti semakin memperumit situasi untuk berpikir. Hanya segelintir hal diriku bertanya, mengapa jawabannya sangat jauh untuk masuk di akal?

"Aku tidak mengerti perkataan yang kamu maksud! Berhentilah bersikap aneh kepadaku!"

Ujungnya Aku melengos tak sudi, lalu berjalan lebih cepat menyamai langkah Triasa. Pembicaraan tadi cukup terputus sampai di situ saja, tak ingin diriku memperpanjang obrolan dengan bahasanya sebagian besar kurang dipahami.

Cinta Betakhta 2Where stories live. Discover now