Chapter 34

1.5K 227 56
                                    

Uhuk! Uhuk!

Dengan telaten Minyoung mengusap dada Irene yang sejak tadi tak berhenti terbatuk. Suaranya terdengar menyakitkan. Minyoung bisa melihat wajah putrinya seperti menahan sakit.

"Ingin minum?"

Irene menggeleng lemah, wajahnya tampak begitu pucat. Gadis itu terbaring setengah duduk diatas bangsal. Sebuah nasal canula terpasang di hidungnya. Irene benar-benar merasa tak berdaya sekarang. Ia bahkan mulai kesulitan untuk bernafas.

Dadanya terasa sesak setiap kali ia terbatuk. Rasa nyeri di area perutnya juga tak kunjung reda.

Sshh...

Ringisan itu sesekali terdengar dari bibir pucatnya.

"Eomma... sakit." lirih Irene. Akhir-akhir ini ia sering kali mengeluh. Rasa sakit yang menghujami tubuhnya benar-benar tak bisa ia tahan.

"Nde sayang, Eomma akan mengusapnya agar sakitnya hilang." ucap Minyoung dengan air mata yang kembali mengalir.

Setiap kali melihat putrinya kesakitan, Minyoung tak bisa menahan air matanya.

"Putri Eomma kuat, Irene harus bisa melawan rasa sakitnya." lanjut Minyoung. Ia duduk tepat di sebelah bangsal putrinya. Tangannya tak berhenti mengusap wajah Irene yang berkeringat. Sesekali ia mengusap dada juga perut Irene, tepat dimana sumber rasa sakit yang dirasakan putri sulungnya.

"Dokter Jiwon tak bisa terus menerus menyuntikkan cairan kimia di tubuh Irene. Itu akan berpengaruh buruk pada ginjalnya." ucap Seojoon yang baru saja masuk. Tadi pria itu berniat memanggil Dokter saat melihat putrinya kesakitan. Namun Dokter justru tak mampu berbuat apa-apa.

Seojoon menatap sendu wajah pucat putrinya. Merutuki ketidakberdayaannya karna tak mampu melakukan apapun untuk sekedar mengurangi rasa sakit yang diderita Irene.

"Mianhae sayang, Appa begitu buruk karna tak bisa melakukan apapun untukmu." ucap Seojoon penuh penyesalan. Tangannya terulur, mengusap lembut peluh yang menghiasi wajah putrinya.

Irene mendengarnya, ucapan yang dilontarkan sang Ayah. Namun ia tak memiliki kekuatan untuk membalas ucapan Ayahnya. Ia sedang bergelut dengan rasa sakit yang hampir merenggut kesadarannya.

"Gejala Pneumonia." ucap Dokter Jiwon setelah memeriksa Irene.

"Apakah berbahaya?" tanya Minyoung dengan cemas. Ia menatap wajah Irene yang tengah terlelap. Nasal canula yang semula terpasang kini diganti dengan masker oksigen.

"Irene mengalami komplikasi. Ini bukan lagi tentang ginjalnya yang bermasalah."

"Apa maksudmu Dokter?"

Wanita berjas putih itu menatap sendu pada Minyoung.

"Paru-parunya mengalami infeksi. Itu yang membuat pernafasannya terganggu."

"Apa kau benar-benar tak bisa melakukan apapun?" tanya Seojoon frustasi. Mereka sudah benar-benar putus asa sekarang.

"Maaf Tuan, tapi aku harus mengatakannya. Kita... harus bersiap dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi."

.

.

.

Entah Yeri harus bahagia atau sedih sekarang. Saat sang kakak pada akhirnya membawanya bertemu Irene. Semalam Jennie mendatangi kamarnya dengan terus menggumamkan kata maaf. Jennie juga berjanji akan mengajaknya bertemu Irene.

Dan disinilah mereka sekarang, berdiri menatap bangunan rumah sakit di hadapan mereka.

"Mengapa kemari?" cicit Yewon. Merasa bingung karna kakak-kakaknya membawanya ke gedung rumah sakit.

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang