Kaluna - Like a Prince

16 4 2
                                    

Hidup tidak melulu tentang uang, tetapi hidup membutuhkan uang. Pepatah itu sangat menggambarkan kehidupanku saat ini. Setiap anak pasti akan memilih untuk hidup di keluarga yang berlebih. Sayangnya mau hidup di keluarga mana kita tidak bisa memilih.

Aku tidak pernah mengeluh hidup sebagai anak dari kedua orang tuaku. Tumbuh di keluarga ini sudah sangat membuatku bahagia. Keluarga yang hangat selalu diciptakan kedua orang tuaku, semua kebutuhan aku dan adikku pun selalu dipenuhi selagi mereka mampu. Papa yang bekerja sebagai pegawai kantoran biasa dengan Mama yang hanyalah seorang ibu rumah tangga, membuat keluarga ini hidup dalam segala kecukupannya. Setidaknya aku bersyukur tidak hidup dalam kekurangan.

Satu hal yang sedikit aku sesali tumbuh dalam keluarga ini. Aku tidak bisa dengan bebas memilih sekolah yang kuinginkan. Biaya yang mahal, ya itulah kendala terbesar yang aku sesali. Aku harus berjuang keras agar aku bisa masuk sekolah impianku. Merelakan sebagian besar masa remajaku agar bisa masuk SMA terfavorit di kota ini, tentu saja dengan jalur beasiswa yang akhirnya bisa kudapatkan.

Melihat namaku tertulis di papan pengumuman rasanya lega karena perjuanganku terbayar. Apakah dengan ini perjuanganku akan berakhir? Tentu saja tidak, ada langkah-langkah besar lainnya yang harus aku lalui sebelum aku bisa berdiri di kakiku sendiri dan membanggakan orang tuaku.

"Kakak, kenapa belum turun juga," kudengar Mama memanggilku.

"Tunggu Ma, ini masih nguncir rambut aku. Mana banyak banget," keluhku dan tetap sibuk memisah rambutku menjadi bagian yang lebih kecil.

"Sini Mama bantu biar lebih cepet."

Mama sigap mengambil sisir dari tanganku. Secepat mungkin ia memasangkan mengikat rambutku dengan tali rafiah hijau. Ugh ... Aku benci hijau. Siapa pula yang menciptakan tradisi aneh ini. Dan kenapa pula harus dengan tali rafiah, ada berbagai macam pita warna di toko, kenapa tidak memakai itu saja.

"Berapa jumlahnya?" tanya Mama memastikan agar ia tidak salah menguncir.

"Delapan Ma. Itu kayaknya udah delapan deh," jawabku sambil menghitung jumlah kunciran yang sudah menempel di kepala.

"Udah nggak ada yang kurang kan?"

"Harusnya sih udah enggak Ma, ini udah Luna cek berkali-kali juga."

Aku melihat isi tas karung goniku sekali lagi memastikan barang-barang yang harus kubawa selama masa orientasi. Aku keluar bersama Mama setelah yakin semua sudah siap.

Andra tersedak tempe goreng yang sedang ia kunyah. Buru-buru menegak segelas air putih menghilangkan rasa perih ditenggorakkan. Tawanya pecah usai menghabiskan setengah gelas air.

"Nggak usah segitunya kalo ngeledek," gerutuku geram.

"Itu rambut lo apain Kak, lo mau sekolah apa cosplay orang gila?" ledek Andra makin menjadi.

"Bisa diem nggak."

Aku melemparkan sepotong kerupuk tepat mengenai badan Andra.

"Luna jangan lempar-lempar makanan. Dan kamu Andra berhenti ngeledekin kakak kamu, dua tahun lagi juga kamu yang kayak gitu."

"Tapi kan nggak pake dikuncir-kuncir kayak orang gila kayak gitu Pa," belanya.

"Ya emang nggak kayak orang gila, tapi kayak orang bloon pake bola di kepala," imbuhku.

"Masih mending daripada kayak orang gila."

"Andra sudah, lanjutkan sarapannya."

Aku menjulurkan lidahnya senang mendapat pembelaan dari Papa. Awas saja dua tahun lagi aku pasti akan menertawakan penampilan anehnya.

Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang