Kaluna - Get Closer

11 1 0
                                    

"Lun, ayo ke kantin," Raisa menepuk bahuku perlahan.

"Duluan aja Ca, gue masih harus nyelesain ini," tolakku halus.

"Itu kan PR besok dikerjain nanti juga bisa."

"Hmm ... gue nanti mau ada acara jadi harus gue selesain sekarang," alasan yang kubuat-buat.

Hari ini aku tidak punya acara apapun. Aku hanya sedang tidak ingin pergi ke kantin membuang waktuku hanya untuk mengobrol sedangkan ada tugas yang harus kukerjakan.

"Ya udah kalo gitu," ucap Raisa berlalu meninggalkanku.

Sekolah di tempat favorit menjadi impianku sejak dulu. Alasan kenapa aku ingin bersekolah di sini, karena dengan sekolah yang bagus aku akan mudah mendapatkan universitas yang bagus juga tentu dengan beasiswa yang selalu menjadi tujuan utamaku. Lulus dengan nilai sempurna dari universitas terkenal dan mendapat pekerjaan impian. Itu alur kehidupan yang sudah kurancang sejak SMP.

Alhasil di sini lah aku berakhir, aku menghabiskan bahkan sebagian besar waktuku di kelas atau pun perpustakaan. Aku harus tetap berada di atas dengan pelajaran-pelajaran yang ternyata tidak mudah untuk dipelajari. Aku sadar aku tidak terlahir sebagai genius. Ketekunanlah yang telah menolongku selama ini.

"Ini waktunya istirahat bukan belajar," ejek Evan sembari menutup buku paket milikku.

"Apaan sih Van, jangan ganggu deh," omelku kembali membuka buku yang dibukanya, tetapi ia menahan dengan sebelah tangan.

"Lo tuh sadar nggak sih kalo lo begini terus lo nggak akan punya temen," Evan balas mengomel dengan nasib pertemananku.

Hampir tiga bulan sudah aku menjadi siswa SMA dan ya nasib pertemananku tidak ubahnya tumbuhan yang kekurangan air. Aku memang tidak dikucilkan oleh teman-teman yang lain, hanya saja tidak ada satu orang pun yang menyandang lebih dari teman sekelas. Aku tidak pernah hang out dengan mereka di luar jam sekolah. Aku bahkan tidak masuk ke kelompok anak perempuan mana pun di kelas. Raisa hanya dia yang masih suka mengajakku pergi ke kantin sesekali, itu pun hanya karena aku duduk sebangku dengannya. Dan dia pun tidak pernah memaksaku untuk dekat dengannya.

"Ya emangnya kenapa sama nasib pertemanan gue. Gue masih berteman sama mereka. Dan gue juga nggak ada yang bully. Udah sana lo, jangan ganggu gue," usirku pada Evan.

Evander hanya dia yang berusaha keras agar aku membaur dengan yang lain. Ia suka memaksaku mengikuti ajakan mereka. Perlu digaris bawahi memaksaku, bukan membujukku.

"Dasar kutu buku," ejeknya.

Ia akhirnya meninggalkanku seorang diri. Istirahat siang berlangsung cukup lama, empat puluh lima menit. Aku merapikan buku tulis, buku paket, serta peralatan tulisku, lebih baik pindah tempat sebelum ada yang lain lagi datang membantu. Tempat terbaikku untuk mendapat ketenangan adalah perpustakaan.

Aku menyapa penjaga perpustakaan yang sudah sangat mengenalku, terang saja karena aku hampir setiap hari ke sini. Aku hanya melihat beberapa siswa yang terlihat sibuk dengan buku masing-masing. Sedangkan aku langsung menuju tempat persembunyianku, ruang tersembunyi di mana aku dan Evan pertama kali bertemu. Tempat baca ini jarang dikunjungi oleh siswa, tempat ini tersembunyi di balik rak buku, hanya ada celah kecil sebagai pintu masuk selain itu tempat baca ini terletak di paling ujung. Sedikit horor memang jika keadaan perpustakaan sedang sepi, itulah kenapa jarang ada anak yang ke sini saat sendirian.

Aku kembali membuka bukuku, membaca kalimat-kalimat soal, ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Aku mengerjakannya kurang dari setengah jam. Aku berdiri mencari komik sebagai hadiah untukku karena sudah berhasil menyelesaikan tugas. Rasa dingin tiba-tiba terasa menempel di pipi kananku. Evan tersenyum jahil sambil memainkan alis matanya.

Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang