Kaluna - How to React?

13 3 0
                                    

Tertangkap basah mengintip orang, siapa yang pernah melakukannya? Bagaimana perasaan kalian? Malu tentu saja semua pasti akan merasakan hal itu. Aku sontak memalingkan kembali wajahku menghadap deretan buku. Jantungku berdetak cepat serasa ketika aku selesai lari marathon sepuluh kilometer. Luna dengan kebodohannya terkadang muncul di saat yang tidak tepat. Masuk ke sini saja sudah salah apalagi mengintip keberadaannya hanya karena rasa penasaran yang tidak masuk akal.

Jadi apa yang kulakukan saat ini? Tentu saja berpura-pura tidak tahu kalau dia juga sedang menatapku tajam. Entah bagaimana, aku bisa merasakan tatapan itu begitu menusuk meski tanpa melihatnya. Sepertinya aku harus pergi dari sini.

"Tunggu."

Langkah kakiku terhenti otomatis. Kenapa dia harus memanggilku? Harusnya ia melanjutkan saja membaca apa itu yang ditangannya daripada memanggilku. Aku menghela nafas, menetralkan detak jantungku sebelum berbalik. Aku tidak berani mengangkat kepala. Sepatu yang kukenakan kini menjadi objek pengalihanku.

"Lo anak baru?"

"Iya Kak," jawabku lirih sembari mengangguk lemah. Aku tidak tahu dia di kelas berapa, sepertinya dia kakak kelas.

Suara derit kayu mengenai lantai terdengar di telingaku. Jangan sampai dia datang ke sini. Tidak, ia benar datang ke sini. Langkah kaki samar kudengar setelahnya. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Ia melangkah perlahan mendekat. Aku lagi-lagi menundukkan kepala, malu karena ia tidak mengalihkan pandangannya padaku.

"Gue ganggu lo?" tanyanya lagi.

"Hah!" sontak aku mendongakkan kepala tidak mengerti akan pertanyaannya.

"Gue di sini apa ganggu lo?" ia memperjelas pertanyaannya.

"Nggak kok kak," jawabku spontan agar ia tidak tersinggung.

"Maaf kak kalau aku mengganggu kakak. Permisi," pamitku.

Aku kembali berbalik meninggalkannya secepat mungkin. Ah ... Kenapa ia harus menahan tanganku? Aku terpaksa kembali berbalik. Perlahan aku melepaskan tanganku dari cengkeramannya.

"Kenapa lagi kak?"

"Gue nggak keganggu. Trus ngapain pergi?"

Eh ... Dia tidak merasa terganggu, lantas kenapa dia harus menyapaku.

"Di sini aja. Tempatnya luas kok," tawarnya.

Aku memperhatikan wajahnya, tidak sopan memang. Namun aku harus tahu apa maksud dari tawarannya yang sangat menggiurkan ini. Apa dia serius atau sebalikknya, ia hanya sedang sarkas karena aku mengganggu waktu sendirinya. Dia menaikkan sebelah alisnya, kini ia tampak kebingungan karena aku tiba-tiba saja memperhatikan.

"Oh, nggak usah Kak, aku pergi aja nggak enak ganggu kakak," ucapku.

Demi kesehatan jantungku aku memutuskan untuk menolak tawarannya. Setidaknya keramaian di luar masih bisa kuabaikan, tidak seperti dia.

"Di luar rame loh, yakin mau ke sana. Mending di sini tenang dan lo bisa baca-baca buku juga. Udah nggak usah sungkan sama gue." tawarnya sekali lagi.

Apakah dia ada keturunan cenayang? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku ke sini karena tidak suka keramaian di luar sana.

"Udah mikir apalagi. Sini duduk," pintanya sambil menempuk meja di depannya.

Oke, tenangkan dirimu Luna. Wahai jantung tolong bekerja samalah, ia juga manusia sama seperti dirimu jadi tolong jangan berdetak terlalu cepat, aku tidak ingin kau rusak lebih cepat. Aku akhirnya mengikuti permintaannya, mengambil kursi tepat di depannya dan mulai duduk.

Aku sedang tidak bermimpi, kupastikan itu benar karena aku merasakan sakit ketika diam-diam aku mencubit tanganku di bawah meja. Penglihatanku tidak salah ketika melihatnya pertama tadi, dia seperti pangeran yang ada di manhwa. Dari dekat baru aku sadar bahwa rambutnya bukanlah hitam tetapi cokelat gelap hampir menyerupai hitam. Saat tertimpa cahaya matahari cokelat itu terlihat lebih terang.

Dark ChocolateWhere stories live. Discover now