Evander - Warm Up

9 2 0
                                    

Terima kasih pada kemajuan teknologi, membuat semua menjadi lebih mudah disaat-saat darurat seperti ini. Dulu bahkan tidak ada yang membayangkan bisa memesan sesuatu hanya melalui aplikasi, terpikirkan pun juga tidak. Sekarang mau apapun tinggal buka aplikasi, mau pergi kemana pun juga tidak perlu khawatir.

"Lo beneran nggak perlu nganterin gue Van. Gue udah biasa pulang sendiri," Luna kembali menolak keinginanku.

Sepuluh alasan penolakan ia ungkapkan dengan versi yang berbeda.

Gue naik taksi online kok jadi nggak perlu dianter.

Gue udah biasa Van naik taksi online malem-malem

Taksi online di sini aman kok.

Gue kadang malah naik MRT, masih rame kok jam segini

Lo pasti capek harus muter-muter nganterin gue

Rumah gue kan jauh Van, nggak usah dianterin

Dan masih banyak kalimat lain, intinya ia menolak keinginanku untuk mengantar meski menggunakan taksi online. Siapa yang menyangka aku bertemu dengan Luna hari ini. Jika saja aku tahu, tentu aku akan mengambil mobil yang disediakan ibuku. Aku tidak menduga hari pertamaku berada di sini justru menjadi hari yang penting.

"Mobilnya udah deket. Beneran deh Van, lo nggak perlu nganter."

"Lo marah sama gue?" hanya itu yang terpikirkan olehku.

"Kalo gue marah sama lo, gue ngga akan ada di sini."

Benar kalau dia marah, sejak tadi dia tidak akan mau berbicara denganku apalagi berdiri berdua menunggu taksi online seperti ini.

"Terus kenapa?"

"Lo menghilang selama bertahun-tahun dan sekarang lo mau kita kayak dulu lagi. Gue belum bisa Van," jelasnya.

"Mobilnya udah datang," ucapku melihat taksi pesanan kami mendekat.

"Lun, ayo," ajakku.

Luna bergeming. Aku berjalan menghampiri, meraih tangannya dengan sedikit memaksa masuk mobil sebelum ia berubah pikiran.

"Ayo kita mulai kayak dulu lagi."

Kedua bola matanya tampak membesar. Kaget dengan apa yang aku ucapkan. Apa ada yang salah dengan ucapanku? Apa dia mungkin tidak ingin kami seperti dulu lagi?

"Alamat sesuai aplikasi mas?" pertanyaan Pak supir membuyarkan segala pikiranku.

"Iya pak," jawab Luna.

Mobil mulai bergerak, meninggalkan restoran. Aku menggali informasi lamaku tentang Luna, apakah ia sependiam ini? Nyatanya ingatanku mengatakan tidak. Ia memang tidak banyak bicara, tetapi ada saja hal-hal yang kita bicarakan saat bertemu.

"Gimana kabar lo?"

Luna tertawa dan aku senang melihat hal itu.

"Lo nanya kabar sekarang? Udah berapa lama kita ketemu Van."

Ah ... Ternyata itu yang membuatnya tertawa. Aku ikut tertawa betapa konyolnya pertanyaanku.

"Gue belum tanya kabar lo. Bahkan kayaknya kita dari tadi juga belum ngobrol."

Wajah itu berkerut.

"Terus yang ada di resto tadi siapa kalo lo bilang nggak ngobrol?"

"Ya emang gue yang di sana, tapi lo sadar nggak kalo kita nggak benar-benar mengobrol. Lo ngobrol sama yang lain, gue juga gitu. Kita nggak saling ngobrol Lun."

Aku tidak merasa obrolan yang kita lakukan tadi sebagai obrolan bagi kami. Gurauan kecil yang kuucapkan tadi saja sudah membuatnya tidak nyaman.

"Lo nggak nyaman sama gue kan? Gue nggak keberatan kalo lo ngomong yang sebenernya," ucapku, sebisa mungkin membuatnya bicara.

Dark ChocolateDove le storie prendono vita. Scoprilo ora