Bab 1 : Sebuah Nama

67.1K 4.2K 205
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
.
.
.

Ternyata bukan hanya kepada Allah saja saya bisa merasakan cinta tanpa adanya pertemuan, tapi juga pada seorang wanita yang hanya saya ketahui namanya.

-Adnan Mahesa Danadipta-

Dunia ini terlalu berisik untuk aku yang suka kesepian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dunia ini terlalu berisik untuk aku yang suka kesepian.

Menjauh dari acara hajatan yang sedang diselenggarakan keluarga, Kinan memilih duduk di depan warung yang jaraknya tak jauh dari rumah kakak lelaki pertamanya yang sedang merayakan acara khitanan anak sulungnya.

Dia tidak suka berlama-lama dalam keramaian apalagi dalam acara yang sejatinya tak dianjurkan dalam agama.

Kinan merasa kakaknya malah menghambur-hamburkan uang. Ia tahu bagaimana kondisi keuangan Hamdan dan sang istri. Acara megah seperti ini tak seharusnya mereka adakan, karena hanya dengan syukuran pun sudah cukup. Sebagai adik bungsu Kinan tak kuasa dan tak berani memberi masukan. Dia juga sebelumnya ditunjuk sebagai pagar ayu untuk menyambut tamu, tapi Kinan menolak dengan alasan tak mau memakai kebaya dan dipoles make up.

Dalam acara hajatan banyak hal melenceng dari agama tanpa disadari, tapi karena sudah sering dan terbiasa jadi terlihat wajar dan benar.

"Hei, Ki!"

Kinan mengangkat kepala, sungguh ia tak mengenal sosok perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan.

"Kok lo ada di sini? Untung gue liat lo di sini, kalau enggak gue nanti planga-plongo di sana." Wanita itu duduk di sebelah Kinan.

Kinan masih melongo.

"Kenapa, sih?"

"Ini serius kamu?"

"Emangnya kenapa?"

Kinan menutup mulut haru. "Masyaa Allah. Ranti?"

"Karena ini acara keluarga lo ya gue malu lah kalau nggak berpakaian sopan. Gue juga nggak mau mencoreng nama baik lo yang terkenal sholehah, masa sih punya temen yang malah sholehot."

"Heh, syuuuttt... Kok ngomongnya gitu, sih?"

Dia malah tertawa.

Kinan masih memandangi Ranti--teman dekatnya--yang memakai setelan gamis dan pasmina. Ini pertama kalinya dia melihat Ranti berpakaian sebagaimana agama mengajarkan.

"Nggak cocok, ya?" tanya Ranti kurang percaya diri.

"Cocok, kok. Cocok banget." Justru Kinan sangat senang.

"Gimana kabar lo?" tanya Ranti.

"Alhamdulillah baik. Kamu?"

"Baik juga."

Di Waktu Duha (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now