Bagian Pertama

181 32 80
                                    

Selamat Membaca

Alunan musik klasik terdengar dari dalam ruang C-3 di Gedung Cakramaya. Di sisi kiri pintu, seorang gadis dengan setelan leotard halter neck lengan panjang duduk di atas kursi bewarna putih tulang. Telinganya mendengar suara musik tersebut, meski pandangannya kosong menatap tembok di sisi seberang. Tangannya mulai menurun, tubuhnya pun sedikit membungkuk untuk menyentuh perban elastis pembungkus kakinya yang beberapa menit lalu mengalami cedera.

"Keadaan kamu gimana, Nad?" Biya bertanya. Perempuan berusia dua puluh dua tahun yang berstatus sebagai salah satu pelatih penari balet.

Nadira tersenyum tipis. "Sudah mendingan, Kak." Pandangannya menurun. "Tapi aku enggak yakin, aku bisa atau enggak buat ikut kompetisi minggu depan."

Biya menghela napas, memandang wajah Nadira yang terlihat pasrah akan keadaan. Kejadian beberapa jam lalu telah membuat semangat Nadira menurun. Ada kecelakaan kecil, di mana Nadira tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan kaki yang belum siap memapah. Kali ini, Biya sungguh tidak dapat membalas ucapan Nadira.

"Mama habis ini sampai." Nadira berkata, setelah melihat waktu dari jam yang tergantung di dinding.

"Kakak ambilkan dulu barang-barang kamu di dalam. Tunggu di sini," tutur Biya. Perempuan itu lantas berlalu memasuki ruang C-3.

Bersamaan dengan itu, dering panggilan terdengar dari telepon yang berada di samping Nadira. Gadis itu meraih benda pipih bewarna merah muda tersebut, lalu menggeser ikon telepon bewarna hijau dan sedikit menempelkannya ke telinga.

"Halo?" sapanya.

Nadira beberapa kali mengiyakan kalimat yang didengarnya dari seberang. Itu adalah kalimat tanya, tentang keadaan Nadira dari ibunya yang sekarang hampir sampai ke gedung tempat Nadira mengikuti pelatihan balet.

"Mama bisa pakai lift kalau mau naik ke sini. Jangan pakai tangga, lantai tiga bisa bikin Mama encok, lho." Nadira memperingatkan. Ia khawatir dengan kesehatan mamanya. "Iya. Nadira tutup dulu teleponnya."

Biya tersenyum sembari menyerahkan tas Nadira pada siempunya. Dia telah menunggu Nadira bertelepon beberapa detik yang lalu di ambang pintu. Tentu saja ia tak akan mau memotong percakapan orang lain, lebih baik menunggu sebentar.

"Nanti biar Kakak jelaskan ke mama kamu," ujar Biya.

Nadira tersenyum, lantas mengangguk sebagai persetujuan atas pernyataan Biya barusan. Tak lama setelah itu, langkah tergesa mendekati tempat Nadira dan Biya. Mereka adalah Tia dan Mayra, ibu serta tante dari Nadira.

"Mama!" seru Nadira saat matanya menangkap figur ibunya.

Tia segera duduk di sebelah kiri Nadira yang kosong. Biya di sisi kanan Nadira pun berdiri, memberi tempat untuk Mayra. Kedua wanita paruh baya itu menatap Nadira dengan khawatir.

"Kamu enggak apa, Nak?" tanya Tia sembari melihat kaki terbalut perban Nadira.

Nadira mengangguk dan tersenyum. Ketiganya lalu beralih pandang kepada Biya, saat Biya menginterupsi mereka. Kali ini mereka harus mendengarkan penjelasan dari Biya.

***

Pintu kamar Nadira tertutup. Gadis itu berjalan mendekati ranjang dan merebahkan tubuhnya di atas sana. Masih dengan setelan baju balet yang berada di badannya, ia memejamkan mata. Bayangan beberapa jam lalu melintas seketika, membuatnya kembali membuka mata.

Air mata yang ia tahan sejak tadi, akhirnya luruh. Diliriknya kalender yang tergantung di tembok, tanggal kompetisi yang ia nantikan, malah menjadi hal yang ingin sekali ia undur lebih lama. Lagi-lagi ia duduk, menyentuh kakinya dengan perasaan yang bersalah dan marah.

Kamu Berkilau [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now