17. Hanya Perlu Dirasa, Tak Perlu Dicari Sakitnya

904 171 37
                                    

When the pain cuts you deep
When the nights keep you from sleeping
Just look and you will see
That i will be your remedy

.

.

.

Menjelang maghrib di sofa lobby kantornya, Ardhani duduk sendiri menanti Bintang yang berada dalam perjalanan untuk menjemputnya. Sedari tadi rekan-rekan kantornya berpamitan padanya silih berganti, dan bertanya dengan siapa ia akan pulang di hari pertamanya bekerja setelah izin beberapa hari. Jika dulu Ardhani menjawabnya dengan malu-malu dan berdebar, kali ini hal tersebut tidak berlaku lagi.

"Bintang. Teman baikku," jawabnya dengan perasaan lega.

Yah, Ardhani lega. Setelah pengakuannya beberapa hari yang lalu, ia merasa sebagian besar tembok yang menghalangi jati dirinya runtuh. Ia merasa lebih percaya diri saat ini, terutama untuk menghadapi Bintang. Ia lebih merasa bebas, terbuka, dan lebih bisa memandang suatu hal dari berbagai sisi. Entah sampai kapan euforia ini akan terasa, yang jelas sejauh ini Ardhani cukup bisa menikmatinya.

Adam ada benarnya. Mengungkapkan isi hatinya kepada Bintang, nyatanya berhasil membuat perasaannya terhadap sahabatnya itu sirna sepenuhnya. Sekilas pertanyaan melintas, apakah Ardhani harus melakukan hal yang serupa terhadap Adam?

Tanpa terasa, senyum pedih Ardhani muncul di antara kedua sudut bibirnya.

***

"Berapa hari lagi, Tang?"

"Lusa, Bang."

"Hah? Buset, nggak terasa."

Ardhani menoleh dua laki-laki yang berbincang di sampingnya. "Besok nggak usah ke sini, Tang. Siap-siap aja."

Wajah Bintang berubah memelas. "Padahal besok hari terakhir."

"Prepare kamu tuh lebih penting."

"Tapi kamu harus datang di bandara, ya?"

Kedua alis Ardhani menaut tak terima. "Kamu lupa kalau aku kerja?"

"Aku flight jam makan siang. Ketemu sepuluh menitan kan bisa."

Ardhani menghela napas seraya memejamkan mata.

.

.

"Janji, ya? Datang di bandara."

Sedikit enggan Ardhani mengangguk. "Aku usahain."

"Please, Ardha."

Tak ada sahutan selain kibatan tangan. "Udah sana pulang! Udah jam sebelas."

Bintang tersenyum. "Balik dulu, ya?"

"Hm. Hati-hati."

Saat Bintang akan akan berbalik, terdengar deru suara motor yang berhenti di depan gerbang. Vespa kuning Adam terlihat mencolok di remangnya jalanan. Pria berjambang itu lalu turun dan berjalan memasuki halaman.

"Bintang? Mau pulang?" sapa Adam.

"Iya. Kamu malam amat ke sini?"

Adam mengeluarkan sebuah tol box dari ranselnya. "Mau kasih ini ke Aofar."

"Noh, Bang Aofar udah tidur di ruang tamu."

Kedua mata Adam mengikuti arah kedikan dagu Bintang, sebelum menatap Ardhani yang sejak tadi diam.

"Mau aku bangunin?" tanya Ardhani.

"Nggak usah, Dhan." Adam menyerahkan tol box kuning kepada Ardhani. "Nitip kamu aja."

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang