18. Mengungkapkan Rasa, Memperjelas Semuanya

1.2K 192 36
                                    

Gemerisik dedaunan yang bergerak karena tiupan angin, membuat Ardhani mendongak menatap cahaya keemasan matahari yang menyinari kanopi-kanopi kecil hijau di atasnya. Café yang ia kunjungi sore hari ini bertema halaman belakang rumah yang dipenuhi pohon dan tanaman cantik. Jarak satu meja dengan meja yang lain yang berjauhan, seolah menambah nuansa syahdu sekaligus menenangkan. Bisa Ardhani bayangkan, betapa nikmatnya tidur di café ini untuk mengisi istirahat siang.

"Kamu mau pesan apa, Dhan?"

Suara berat Adam seolah menyadarkan Ardhani dari dunianya. "Um, signature cofee café ini aja. Less ice."

"Baik, mohon ditunggu."

Pramusaji itu pergi, memberi kesempatan Adam dan Ardhani untuk berdua kembali.

"Kamu sering ke sini?"

Adam mengangguk. "Kalau mau cari inspirasi ya di sini."

"Sayang jaraknya jauh dari rumah."

"Ajak aku aja. Kamu tingggal duduk, nggak perlu nyetir."

Ardhani hanya menatap Adam yang tengah menyunggingkan senyum kecil.

"So far kerjaan kamu nggak terganggu karena kaki kamu kan, Dhan?"

"Nggak." Ardhani menunduk menatap kakinya yang terbalut perban cokelat. "Bentar lagi juga aku nggak perlu diperban."

"Syukur, deh."

Kedua mata Ardhani kembali terpasang ke arah Adam. "Kamu sama Bang Arman kemarin ngobrolin apa, Dam?"

Adam tertawa. "To the point amat?"

"Penasaran aja, karena Bang Arman nggak ngomelin aku lagi dari kemarin lusa."

Sebelum mulai bercerita, Adam menarik napas dalam-dalam. "Awalnya sih Bang Arman tanya kronologis kamu kecelakaan. Terus obrolan berlanjut ke hal lain."

"Hal lain apa?"

"Soal Bintang."

Kedua alis Ardhani mengerut. "Bang Arman tanya soal Bintang ke kamu? Nggak salah?"

"Bukan. Lebih tepatnya hubungan kamu sama Bintang."

"Bang Arman tanya apa aku pacaran sama Bintang gitu?"

Adam menggeleng. "Bang Arman tanya, apa kamu masih suka Bintang atau nggak."

Ardhani terpaku sesaat. Fakta bahwa kakak pertamanya tahu rekam jejak perasaannya, membuat Ardhani terkejut sekaligus heran.

"Kujawab enggak," sambung Adam ringan.

"Kenapa Bang Arman tanya ke kamu?"

Bahu Adam terangkat. Laki-laki berambut ikal itu lalu tersenyum simpul. "Mungkin Bang Arman tahu kalau kita dekat?"

Dengkusan Ardhani lolos tanpa ia sadari. "Polos banget sih Bang Arman."

Adam mengerjap ringan. Ia sedikit menelengkan kepala, nampak seperti berpikir. Belum sempat ia menanggapi, seorang pramusaji datang untuk menyajikan makanan dan minuman.

"Terus respon Bang Arman gimana?" tanya Ardhani setelah pramusaji pergi.

"Nggak banyak respon. Sisa obrolan malam itu lebih banyak ngomongin tentang kamu, sih."

Ingin sekali Ardhani tertawa. "Ngomongin aku? Sampai jam setengah dua belas malam? Ngapaiiiiin? Nggak banyak bahan menarik yang bisa dibuat ghibahin aku."

"Banyak, lah. Masa kecil kamu banyak aibnya. Kami berdua mengenang itu."

Ekspresi Ardhani seketika berubah jutek. Adam pun tertawa kencang melihatnya.

SoulmateWhere stories live. Discover now