Bab 14

9.5K 833 13
                                    

Mas Rashda dan derus mesin mobilnya telah berlalu, beberapa menit yang lalu. Tapi, aku belum mau beranjak sedikitpun dari ambang pintu. Menyentuh kening yang tadi dikecup Mas Rashda juga menghidu aroma parfumnya yang masih tercium kuat.

Kututup pintu depan dengan pelan. Sejauh ini, hanya itulah yang kami lakukan, hanya sentuhan-sentuhan kecil yang ia berikan padaku, yang artinya dia belum menyentuhku dalam artian suami istri sesungguhnya. Aku pun tak ingin mempertanyakan, karena jujur saja aku belum siap. Biarlah ini mengalir dengan sendirinya.

Aku mencoba percaya, bahwa Mas Rashda tidak akan membawaku dalam kesalahan maupun kesusahan apalagi mambawaku dalam suatu hal yang membuatku terluka. Kucoba percaya pada semua janji yang ia berikan.

Berjalan menuju ruangan yang masih dipenuhi piring kotor di atas meja, kubereskan semua peralatan makan, mencuci semua piring kotor. Hingga suara bel berbunyi diikuti suara salam dari seseorang yang familier.

Keran kumatikan, mengibaskan kedua tangan yang basah, kemudian melapnya sampai kering.

Kedua tungkaiku melangkah tergesa, ketika mendengar suara bel yang semakin berutal terdengar. Sabar.

Dan ketika pintu berbahan kayu itu terbuka, wajah tidak bersahabat tante Lika lah, yang pertama kulihat.

"Pemalas," ucapnya pertama kali, dengan mata yang terus menyorot tubuhku dari atas sampai bawah. Tanpa sempat dipersilakan, dia langsung menyelonong masuk, tak lupa juga menubruk bahuku kencang, hingga tubuhku terdorong ke belakang. Kututup kedua mata, menghela napas panjang. Mencoba meyakinkan diri, bahwa ini adalah hal lumrah, dan akan berlalu dengan sendirinya, perlakuan Tante Lika pasti akan berubah seiring berjalannya waktu.

Bergegas mengikuti langkah Tante Lika yang tengah menelusuri setiap ruangan di rumah ini.

"Kamu belum beres-beres?" Jemari gemuknya mengusap permukaan lemari dan meja.

"Belum, Ma," jawabku. Dia mendelik padaku, kemudian berdecih sinis. Setelah itu, kakinya kembali melangkah menuju area dapur dan ruang makan. Satu tangannya menuding pada meja makan.

"Kamu masak sendiri?"

"I-iya."

"Seharusnya memang seperti itu. Setidaknya kamu sadar diri, kamu sudah menumpang pada anak saya. Jadi, kamu harus tahu posisimu di mana," ucapnya sambil lalu, Tante Lika berjalan menuju wastafel. Melongok sedikit, kemudian menunjuk beberapa piring kotor yang masih berada di sana. "Cuci, saya ingin melihat caramu bekerja."

Dengan harga diri yang sudah tercecer, kuikuti perintahnya, mengambil sabun juga mengangkat piring kotor tersebut dengan tangan gemetar.

Tante Lika kembali memerintah dan mengawasi seluruh pekerjaan rumah yang aku kerjakan, ketika pekerjaanku bagus dia akan mengangguk puas, dan ketika aku melakukan kesalahan dia akan memakiku dengan kata-kata kasar. Yang mana itu kembali membuatku heran, bagaimana mungkin orang alim sepertinya dapat mengeluarkan perkataan kotor semacam itu. Aku pun bertanya-tanya, bagaimana dia mendidik kedua anaknya yang sangat-sangat sopan dan selalu bertutur kata lembut itu. Tidak mungkin 'kan dia juga seperti itu kepada anaknya.

Aku tak berdaya, memang. Sedari kecil aku hidup di bawah kendali orang lain, mendapat serangan verbal juga tak diperbolehkan melawan. Aku hidup tak memiliki pilihan, hanya perlu menerima dari belas kasihan, jadi ketika Tante Lika melakukan hal ini juga terhadapku, aku benar-benar tak mampu melawan, aku sudah terbiasa terintimidasi oleh desakan orang-orang.

"Ambilin minum," perintahnya, ketika semua pekerjaan rumahku selesai, sedangkan Tante Lika duduk menyandarkan tubuh pada sandaran sofa.

Aku kembali mematuhi perintahnya, mengambil jus kemasan di dalam kulkas. Kemudian menuangkan ke dalam gelas tinggi.

Remake ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora