Bab 23

7.9K 779 14
                                    

Aku kembali terbangun dengan perasaan kosong. Sama seperti bagian kasur di sisiku. Harusnya aku merasa biasa saja, sebelum menikah pun aku selalu melakukan apa-apa sendiri. Termasuk tidur. Tapi, ternyata kehadiran Mas Rashda selama masa pernikahan kami, mampu merubah kebiasaanku itu, aku seakan candu terhadap kehadirannya.

Aku masih berbaring terlentang, dengan selimut menutup sebagian tubuh ke bawah. Kuteliti langit-langit kamar, kemudian mendesah sebelum mengangkat setengah tubuh untuk duduk.

Mencoba meraba-raba perasaan sendiri. Apa yang sebenarnya aku rasakan untuk Mas Rashda. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya, dan aku pun tak mampu membayangkan bila suatu saat nanti dia menyerah padaku, kemudian meninggalkanku akan kesendirian lagi. Tapi, perasaan itu pun tak cukup untuk membuatku terbuka kepadanya.

Apa aku egois?

Menggeser tubuh, kemudian menurunkan kedua kaki ke atas lantai yang dingin. Di luar sana suara-suara dzikir dari masjid komplek terdengar. Itu berarti sebentar lagi adzan subuh akan segera berkumandang.

Tangan kananku terangkat, dengan jari-jemari yang mekar, kugunakan untuk menyisir rambutku yang kusut. Kemudian bergerak menuju kamar mandi.

Tanganku menggantung, hendak menyentuh handle pintu. Kemudian kembali terkulai ke bawah, badanku berputar. Lalu, dengan ragu aku melangkah meninggalkan kamar.

Dan sekarang, aku berdiri di depan pintu ruang kerja suamiku. Ragu-ragu untuk membuka pintu. Tapi, akhirnya aku membuka pintu tersebut, kemudian menemukan pemandangan seorang pria yang tertidur di atas sofa, lagi.

Jadi begini, terhitung tiga malam hingga sekarang Mas Rashda selalu pulang larut, mungkin memastikan bahwa aku telah terlelap, setelah itu dia akan menyelinap masuk ke kamar kami untuk mengambil pakaian ganti yang lebih santai-aku juga yakin bahwa semalam dia menyempatkan diri untuk mengecup kepalaku terlebih dahulu, aku rasa itu bukan mimpi.

Lalu membersihkan diri di kamar mandi bawah, dan dilanjutkan tidur di ruang kerjanya.

Pandanganku turun, menatap kedua kaki telanjangku yang tak beralaskan apa-apa. Perasaan sedih dan sepi menyelinap, membuat dadaku penuh akan sesak.

Manikku kembali bergerak, ketika melihat pergerakan Mas Rashda, dia menggeliat, dan aku yakin tak lama lagi dia akan terbangun. Dan sebelum Mas Rashda benar-benar bangun aku segera menutup pintu. Kemudian kembali ke kamar untuk menunaikan kewajiban.

Pagi ini pun tak ada yang berbeda, aku tetap memasakkan sarapan untuk suamiku, walaupun aku tak tahu apakah ia akan menyantapnya atau tidak. Kemudian menyiapkan setelan kerja yang akan ia kenakan untuk ke kampus.

"Ma-Mas," sapaku terlebih dahulu, ketika ia melangkah menuruni tangga. Wajah Mas Rashda tetap datar, dan aku menguatkan hati untuk itu. Kulihat dia memakai kemeja biru yang aku persiapkan, membuat satu titik rasa harap hinggap.

"Sarapan ..." Mas Rashda meloyor begitu saja. " ... Dulu," lanjutku pelan, dengan mudah ia kembali menjungkirkan harapan tersebut.

Kutautkan kedua tangan, memainkan jari jemari yang bergetar, sebelum menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai di sisi wajah.

Aku berbalik, menuju ruang makan, sepertinya aku akan sarapan sendiri. Kemudian membungkus sisanya yang tak tersentuh untuk kubagikan pada tetangga.

Satu tanganku menggeser kursi, kemudian terhenti dan terkesiap. Ketika tubuh Mas Rashda melintas, setelah itu menggeser kursi yang bersebrangan dengan kursiku.

Dia duduk dengan tenang, tak bergerak sedikit pun. Hingga aku tersadar, kemudian mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang ada.

Remake ✓Where stories live. Discover now