Bab 22

7.6K 790 5
                                    

Satu sentakan kuat di dalam tempurung kepala muncul, ketika sedang melangkah di jalanan bernuansa lengang menuju rumah Mario. Membuatku mau tak mau menghentikan langkah, kemudian memegangi setiap sisi kepala menggunakan kedua tangan. Terhuyung ke belakang, tapi aku masih bisa menjaga keseimbangan, sehingga aku masih bisa menahan agar tidak limbung.

Tinggal beberapa langkah lagi menuju rumah Mario. Tapi, rasanya aku sudah tak sanggup lagi melangkah. Memaksakan diri, hingga tubuhku telah berada di depan pintu rumah sahabatku ini.

"Assalamu'alaikum," ucapku lemah, beruntung pintu berbahan kayu itu segera terbuka, hingga aku tak merasakan lamanya menunggu sambil berdiri, karena sepertinya aku tak akan mampu.

"Wa'alaikumussalam," jawab suara lembut dari dalam.

"Lima! Kamu kenapa, Nak?" Kupaksakan senyum, agar perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu tidak khawatir. Bu Mirna, ibu Mario—yang mengijinkanku memanggilnya Ibu juga, menuntunku untuk memasuki rumahnya.

Dia mendudukanku di atas sofa yang terdapat di ruangan ini. "Sebentar ya, Nak. Ibu ambil minum dulu."

Bibirku tersenyum sekilas, kemudian mengangguk ke arah wanita yang selalu menerimaku dengan tangan terbuka itu.

"Ini, nak." Dia menyodorkan satu gelas berisi air putih setelah kembali dari dapur, dengan lemah aku menerimanya, lalu minum dengan perlahan.

"Loh! Lima, lo kenapa?" Kami berdua menoleh bersamaan ketika mendengar seruan yang lagi-lagi terdengar khawatir itu. Mario yang sepertinya baru selesai mandi, karena handuk yang masih tersampir di bahunya, lupakan kepala yang terlihat licin itu.

Dengan cepat dia menghampiriku. Lalu, punggung tangannya yang dingin mendarat di atas keningku. "Lo pucat banget, kalo sakit ngapain ke sini Lima?" Punggung tangan Mario, berpindah-pindah, menyentuh kening, pipi, dan leherku, untuk mengecek suhu tubuh. "Suami lo tahu nggak kalo lo ke sini?"

Mataku mengerjap, suamiku, hmm. Bahkan dua hari ini dia tak menyapaku, selalu menghindar ketika aku ingin memulai percakapan, dia juga tidak memakan hasil masakanku, dan yang lebih parah dia memisahiku, dia tak ingin bertempat tidur yang sama denganku.

Apa kesalahanku se-fatal itu, sampai-sampai Mas Rashda menghukumku seperti ini. Aku pernah mendengar dalam suatu kajian, jika seorang istri melakukan sesuatu hal dan suami mengingkarinya, karena memang hal itu dilarang dalam agama atau tidak pantas dilakukan dengan norma yang ada, maka suami boleh menegur istrinya, dengan cara menasehati. Tapi, kalau seorang istri tetap seperti itu, tidak mau berubah, maka suami boleh memisahi tempat tidur istrinya.

Dan apakah kesalahanku memang besar? Apa aku melanggar norma agama,

"Eh, malah bengong." Mario menjentikan jarinya di depan wajahku. Membuatku tersentak, dan kembali pada kenyataan.

"Jangan ditanya-tanyain dulu atuh, Kak." Ibu menegur Mario, wajah yang mulai keriput itu memberenggut tak suka terhadap sikap anaknya. "Biarin Lima istirahat dulu."

Mario meringis rikuh, akhirnya aku digiring menuju kamar tamu yang terletak di lantai bawah. Aku berbaring dengan mata terpejam, berusaha meredam pening yang mulai berkurang. Sedangkan Mario duduk di atas kursi yang ia letakkan di samping ranjang, pintu kamar ini juga sengaja dibuka lebar-lebar.

Dia bilang, walaupun kami sudah saling mengenal dari kecil, dan sudah tahu borok masing-masing. Kami tetap harus punya batasan, apalagi aku sudah menikah. Dan bagaimanapun juga, Mario tetap lah pria tulen, walaupun perangainya lembek dan lemah gemulai dia tetap mendeklarasikan bahwa dia masih doyan cewek.

Dan entah kenapa ucapan Mario itu seperti tamparan bagiku. Apa aku memang tidak tahu batasan, tidak menjaga marwahku sebagai perempuan yang telah bersuami, makanya Mas Rashda sampai semurka itu.

Remake ✓Where stories live. Discover now