Bab 28

8.7K 891 16
                                    


"Maaf, sayang, maaf."

Mas Rashda terus merapalkan kata itu, sembari mengecupi puncak kepalaku. Sedangkan aku semakin menangis keras, berusaha memberontak sembari berkata. "Aku nggak mau di sini ... Mau ke rumah Mario ..."

"Iya, sayang. Iya, kita pulang."

Setelah itu aku merasakan tangan kuat Mas Rashda mengangkat tubuhku dengan mudah.

"Aku mau ketemu Mario ..." Ucapku di tengah isakan, ketika Mas Rashda telah berhasil mendudukanku di dalam mobil.

"Iya," Mas Rashda memasangkan seatbelt pada tubuhku. "Nanti ketemu Mario." Kemudian dia mengusap kepalaku lembut. "Sekarang, kita pulang dulu ke rumah."

Kepalaku berpaling lemah, menolak sentuhan tersebut, hingga tangan Mas Rashda menggantung begitu saja. Dia tersenyum pahit. Kemudian mulai menyalakan mesin mobil.

Sepanjang perjalanan aku tak berhenti menangis, melamun, menangis, melamun kembali. Melihat jalanan yang bergerak halus, dengan aspal hitam mulus, rasa-rasanya aku ingin berdiri di tengah, menabrakan diri pada sebuah truk besar yang melaju kencang. Atau, ketika aku melihat sebuah gedung tinggi, rasa-rasanya aku mampu untuk menjatuhkan diri, hingga tubuh ini tercerai berai, tak berbentuk lagi.

Dan ketika aku mengingat peristiwa tadi, aku kembali menangis kencang. Kali ini dengan kepalan tangan memukul-mukul kepala. Rasanya sakit di dalam sana, dan yang lebih sakit di bagian dada, aku ingin mengambil pisau atau benda tajam apa pun, hingga aku bisa menusukkannya ke dalam dada, berharap dengan cara itu rasa sesak akan menghilang selamanya.

"Astagfirulllah, Lima. Sayang ..."

"Pergi ..." Kepalan tanganku menghantam dada yang rasanya sangat sesak.

"Lima jangan seperti ini," Mas Rashda menahan kedua tanganku. Mencengkramnya di sisi kepala. Aku memberontak tak karuan. Kemudian berteriak.

"Lepas Mas! lepasin aku, dadaku sakit, kepalaku sakit, aku mau hilangin sakitnya!"

Bergerak tak karuan, mencoba melepas cengkraman tangan Mas Rashda di lenganku. "Lepas, Mas! Lepas!" Kutampar wajahnya ketika tangan kananku terbebas.

"Lima," Mas Rashda memeluk tubuhku erat, kupukul punggungnya keras, terus menerus seperti itu. Sampai ringisannya keluar

"Iya, pukul Mas aja," ucapnya. Setiap aku memukul tubuhnya, dia akan mengelus punggungku dengan lembut. Dia tetap sabar, tak melepaskan pelukannya walaupun aku terus memberontak.

Hingga aku lelah sendiri, baru Mas Rashda melepas pelukannya. Menggengam tanganku, sedangkan satu tangan yang lain kembali mengemudikan setir mobil hingga tiba di depan rumah yang beberapa hari ini aku tinggalkan.

"Kita masuk, ya. Abis itu makan," Mas Rashda menuntunku memasuki rumah. Menyalakan tombol lampu, menuntunku menuju dapur. Dan dia memasak, sedangkan aku hanya duduk di atas kursi, menatap punggungnya dengan tatapan kosong, hingga selesai.

"Aku bisa sendiri," ucapku, ketika Mas Rashda menyodorkan sendok ke mulutku.

Mas Rashda menghela napas, kemudian memberikan sendok tersebut kepadaku.

Aku makan dengan diam, menikmati sup hangat buatan suamiku dengan cepat. Aku benar-benar lapar.

Setelah itu, Mas Rashda kembali menuntunku menuju kamar, dia berusaha membersamaiku dalam melakukan hal apa pun. Ketika aku mandi dia tetap menunggu di luar, dan ketika aku ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, Mas Rashda mengetuk pintu, sambil berkata.

"Lima, kamu nggak apa-apa?"

Aku tak menjawab pun tak bersuara apa pun, dia kembali mengetuk pintu. "Lima, jawab Mas." Aku merasa dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut kalau saja di menit berikutnya aku tidak segera keluar.

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang