14-Tampil (1)

32 12 4
                                    

"Selamat pagi menjelang siang semuanya!" Suara MC terdengar bersemangat dari atas panggung. Para tamu undangan ikut bersorak untuk meramaikan acara pembuka. Nampak beberapa warga sekitar sudah duduk memenuhi setengah kursi kosong yang sudah disediakan.

"Bagaimana kabarnya? Sehat semua, ya! Terutama warga sekitar sini, saya salut lihat semuanya semangat, saya jadi senang!"

Murisa membenarkan sabuknya. Dia tengah mempersiapkan diri bersama anggota eskul yang terpilih. Selesai mengucir rambutnya dengan model kucir kuda ia berniat pergi ke lapangan utama, tapi sebelumnya ia mengatur kestabilan napasnya. Berusaha untuk tidak memfokuskan ke hal-hal negatif. Karena sudah jelas, ia akan bertemu ibu kandungnya. Orang yang paling dia benci.

"Risa! Temenin kantin, yuk!" ajak Melani. Ia langsung merangkul Murisa.

"Emang buka, Mel?"

"Kayaknya, sih, buka. Lagian ada acara gini, masa pada tutup. Berarti, menyia-nyiakan kesempatan, tuh, kalau sampe tutup." Murisa mendesis. "Ya, kalau pada mau tutup, kita bisa apa sobat! Yaudah, yuk kita coba aja ke sana."

Mereka berdua pergi bersama ke kantin. Suasana sekolah menjadi riuh dan ramai. Para panitia acara sibuk mondar mandir untuk keperluan baksos. Bak truck pun nampak di dekat lapangan, guna mengangkut sembako dan barang-barang lainnya.

Sesampainya di kantin, Melani langsung tertuju pada warung mie ayam. Hanya itu yang buka, sisanya meliburkan diri. Murisa sedang tidak ingin menyantap apapun sampai selesainya acara. Ia lebih memilih untuk duduk di salah satu kursi kantin sembari menunggu Melani memesan mie ayam.

Tiba-tiba. "Ngapain lo di sini?" Tasya bersama gengnya berjalan mendekat ke arah Murisa yang sedang duduk sendirian. 

"Heh! Lo ngapain?" Tasya tidak terima, hanya mendapat respons diam dari Murisa.

Murisa berdecak sebal. Sudah jelas-jelas diaa sedang duduk, masih saja pakai ditanya. Dia itu cari perhatian atau....

"Lo nggak lihat gue lagi ngapain?" jawab Murisa ketus.

Tasya tertawa mengejek. Ia mengibaskan rambutnya ke belakang sebelum menjawab. Tatapannya nampak meremehkan.

"Gue kira, lo lagi kesepian, makanya ke sekolah buat liat ibu kan--" belum selesai bicara, Murisa bangkit dan langsung melempar tatapan tajam ke arah Tasya.

"Kenapa? Bener, kan, gue? Lo kangen, kan, sama ketua yayasan?"

Murisa sedikit membuang muka, lalu ia balik menepuk bahu Tasya. "Kalau iya, emang kenapa? Nggak boleh? Kenapa lo jadi nggak terima? Atau, jangan-jangan lo iri ya sama gue?"

Tasya geram. Ia menepis tangan Murisa seraya menjauh dari bahunya. "Apa maksud lo, hah? Gara-gara ibu lo..." Ucapan Tasya tertahan saat Melani datang dengan membawa es jeruk dan satu nampan yang di atasnya ada mangkok berisi mie ayam.

"Lo akan nyesel, karena udah ngancurin keluarga gue, ingat itu!" Tasya pergi bersama gengnya.

"Gue nggak mau inget!" balas Murisa tidak kalah ketusnya. Rasanya, ia ingin melempari Tasya dengan mie ayam milik Melani.

"Dia kenapa, sih? Kok kayaknya marah-marah mulu hidupnya," celetuk Melani.

"Bodo amat, gue nggak peduli."

"Lo nggak beli makan, Ris?"

"Hem, kayaknya perlu, deh. Energi gue habis buat ngurusin, tuh, biangkerok."

Vina tersenyum sembari membuka kacamatanya sebelum menyampaikan sambutan acara baksos. "Saya hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat demi menyukseskan acara ini." Setelahnya, terdengar riuh tepuk tangan meramaikan area lapangan utama.

"Ah ya, satu hal lagi, saya ingin menyampaikan, bahwa selagi ada kesempatan berbuat baik, jangan sungkan untuk terus maju."

Suara dari lapangan utama terdengar sampai kantin. Murisa langsung berdecik sebal.

"Malesin."

■●■●■●■●■●■●■●■●■●■●■

Setelah rangkain acara pembuka selesai, sekarang giliran inti yaitu pembagian sembako kepada warga sekitar.

Selagi acara utama, panggung tidak dibiarkan kosong begitu saja. Acara lain ikut meramaikan suasana. Salah satunya, pertunjukan band dari eskul SMA Bintang Cahaya tampil penuh kegembiraan.

Sambil menunggu antrean tampil, Murisa dan anggota lain telah berdiri di pinggiran lapangan, mempersiapkan diri.

"Risa, lo nanti baris paling depan."

"Hah! Kenapa gue?" Murisa nge gas.

"Lah, lo, kan paling tinggi tingkat sabuknya."

Murisa mendengkus kesal.

"Nggak! Ganti yang lain. Gue mau baris paling belakang aja."

"Nggak bisa, Risa. Kata Pak Andri begitu."

Kalau sudah kata Pak Andri, mau tidak mau harus menurut. Sekalinya nggak, ia bakal mendapat hukuman memutari lapangan sepuluh kali. Malesin!

"Parah! Tauk, ah." Murisa melanjutkan pemanasan kecilnya.

Di tempat lain, Tasya dan gengnya ikut membantu memberikan sembako kepada warga sekitar. Setelah sembako terakhir diberikan. Tasya hanya diam sambil mengibas-ngibas kertas brosur ke kepalanya. Semakin hari, matahari gencar memancarkan sinarnya.

"Sya, gue capek. Izin ngantin, ya!" pamik Gabriel langsung menarik Cantika pergi ke kantin.

"Eh, lo berdua! Gue nggak diajak gitu?"

Cantika berbalik arah. "Lo di sini aja. Nanti kita beliin makanan kesukaan lo."

"Go-jek aja—" Gabriel memotong ucapan Tasya. "Udeh, deh ... kantin aja. Gue pengen makan mie ayam, laper. Lo di sini aja, standby. Lo mau kena marah ibu lo?" Tasya menepis tangan Gabriel.

"Apa-apaan lo? Malah ngelantur. Dah, sana pada pergi aja. Nggak usah balik sekalian!" ucap Tasya geram.

"Eleh, tuan putri marah. Yaudeh, kita tinggal bentar, ya. Pake, noh, kipas elektrik gue. Dah...." Setelahnya, Cantika dan Gabriel berjalan menuju kantin. Tinggallah Tasya sendiri. Ia ambil posisi  duduk masih merasa kesal dengan kedua teman gengnya itu.

"Selanjutnya, acara yang sangat dinantikan kita semua...."

Murisa menarik napas panjang.

"Ris, hadapi aja apa yang ada di depanmu. Jangan biarkan emosi negatif itu merasuki, oke?" Andre berbicara sembari memegang bahu kanan Murisa. Perkataan Andre membuat hatinya sedikit tenang. Mau tidak mau, harus jalan.

Selang beberapa waktu kemudian, MC mempersilakan anggota eskul Taekwondo untuk masuk ke panggung. Lima orang yang ditunjuk masuk sembari melambaikan tangan. Senyuman saling dilontarkan dari mereka, termasuk Murisa.

Tanpa sadar, Vina ikut tersenyum ketika melihat anak gadisnya tersenyum dengan lepas. Seakan beban hidup ikut melayang, tanpa meninggalkan bekas. Ia juga ikut bertepuk tangan seraya menyambut mereka.

Murisa baris paling depan sesuai instruksi. Berjuang mati-matian dari pergolakan hati dan pikirannya, tapi semua itu dia tepis. Yang penting acara berjalan lancar.

Para anggota terpilih membungkuk lebih dulu, kemudian memulai pergerakan dimulai dari yang sederhana.

Murisa tetap fokus mengayunkan tangan serta kaki mengikuti irama lagu tanpa musik yang distel. Seketika berganti posisi terus berjingkat melambaikan tangan. Benar-benar meramaikan suasana.

"Mari melupakan sejenak rasa sakit dan kembali menengok masa depan dengan kedua mata berbinar."

Gerakan terakhir dari demo, mengharuskan Murisa untuk berputar selagi mengayunkan kaki ke depan.

Seketika, brak! Murisa terpeselet.

"Risa!"

***

Yuk tonton! Biar ada gambaran. Uhuuy~

THE SHINING MOON ✔️ [REVISI]Where stories live. Discover now