22-Tentang Rasa

16 7 4
                                    

Plak!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Plak!

Suara tangan menampar pipi milik seorang gadis dengan rambut terurai serta pita merah tersemat di bagian sebelah kiri untuk mempercantik terdengar nyaring mengisi kekosongan di sebuah ruang tamu. Kini, salah satu tangannya memegang pipinya yang terasa agak nyeri kemerahan.

"Apa maksud kamu, hah? Sudah Papah bilang berulang kali untuk tidak banyak berulah di sekolah. Masih aja, ya, kamu!" tukas Irawan bernada tinggi. Membuat seluruh tubuh Tasya membeku di depan pintu. Padahal dia baru saja pulang sekolah hendak istirahat melepas lelah sambil beniat memberitahu Irawan soal dirinya yang berhasil naik tingkat di ulangan harian Fisika tadi. Namun, percuma saja. Entah kenapa Irawan mendaratkan salah satu tangannya tepat di pipi kanannya. Rasanya sakit, nyeri, dan tertusuk.

"Kenapa diam? Papah udah nggak tau lagi caranya ngedidik kamu dengan benar itu gimana. Nilai saja selalu anjlok. Kalah terus sama si Dewa. Kapan kamu membanggakan Papah, Sya?" Perkataan Irawan siang itu menghunjam hati Tasya. Membuat dirinya menahan emosi yang mulai merasuk. Kalau Tasya boleh jujur soal nilai, dia pun telah berusaha mati-matian mempertahankan nilainya untuk terus berada di ranking tiga, meskipun belum bisa mengalahkan Dewa si nomor satu di kelas. Hanya kurang nol koma saja, Irawan bisa menyabeti dia menggunakan sabuk.

"Apa salah Tasya sih, Pah? Tasya, tuh, udah nurut sama Papah. Belajar terus tiap malem, bahkan main sama Cantika dan Gabriel saja Tasya enggak lakuin. Sekarang apa lagi, Pah?"

Irawan mendengkus kesal. Kedua tangannya mengepal. Ia memutar tubuhnya menatap Tasya tajam.

"Kamu ngapain Murisa sampai dia masuk UKS dan tidak sadarkan diri? Jawab!" Suaranya meninggi lagi. Deru napasnya buru-buru membuat keadaan makin menegangkan. Tentu saja kedua mata Tasya langsung membola. Mendapati Irawan tahu soal tindakan jahatnya kepada si gadis taekwondo itu. Namun, kenapa Irawan jadi sangat emosional?

"Kenapa diam? Berarti memang benar kamu yang kurang ajar sama anak orang lain." Irawan mengatur pernafasannya sejenak.

"Kamu emang mirip sama Maria. Menjengkelkan dan membuat pusing."

Dengan sangat tiba-tiba, Tasya membanting vas bunga yang terletak di atas meja tamu. Seakan waktu memperlambat gerakannya. Suara nyaring terdengar lagi. Pecahan keramik berserakan di bawah kaki keduanya.

Tasya meringis lantaran emosinya makin meluap. Bulir-bulir air matanya mengalir keluar dari pelupuk matanya. Sembari menghirup ingusnya yang keluar sedikit, lalu mengusapnya menggunakan lengan. Dia meninggalkan Irawan yang masih diam di tempatnya.

"Tasya!"

***

Wulan dengan sabar menunggu Murisa membuka mulut untuk menerima asupan bubur sayur buatannya, tapi si gadis hanya menengok ke arah jendela kamar. Melihat pemandangan dari dalam. Kedua matanya tak berubah sedikit pun.  Sesekali hanya berkedip sedikit.

"Risa? Makan dulu, atuh. Nanti kurus, lho," ujar Wulan berusaha membujuknya. Ia merasa kasihan kepada Murisa, nampak kurus sejak tidak masuk sekolah karena izin istirahat sehari perihal insiden gudang audit.

THE SHINING MOON ✔️ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang