1. Amarilis Manikam

140 16 6
                                    

Sepasang kaki Amarilis membentur-bentur permukaan tanah berlapis rumput kehijau-hijauan. Pagi-pagi sekali, ia memutuskan untuk berlari mengelilingi hutan buatan di dekat kluster tempat tinggalnya.

Kiri. Kanan. Kiri. Kanan.

Semalam, Amarilis Manikam telah membunuh seorang perempuan. Kali ini, ia bahkan membakarnya hidup-hidup. Menyaksikan bagaimana lapisan kulitnya berangsur gosong lalu meluruh menjadi abu. Teriakan sang korban bahkan melekat erat dalam mimpinya. Jeritannya parau. Seakan-akan, perempuan tersebut ingin gegas menuntut balas.

Setiap tokoh yang ia bunuh dalam novel yang ditulisnya, seringkali menghantui pikiran tanpa permisi. Ia membiarkan jeritan-jeritan tokoh dalam novelnya berkelindan, melilit sulur-sulur otak dalam benaknya.

Namun, peduli setan!

Semalam, setelah membubuhkan kata tamat dalam draft novel tersebut, Amarilis segera mengirimkannya kepada Thea, sang editor, melalui surel.

Selebihnya, Amarilis hanya perlu memejamkan mata hingga pagi menjelang. Namun, saat balasan dari Thea muncul ketika sengatan sinar matahari mulai menendang menerobos kaca jendela, justru membuat perut Amarilis bergemuruh mual.

Seseorang telah mati. Apa kamu tahu itu?

Pesan pendek tersebut disertai tautan dari sebuah portal berita.

Bagaimana ini, tulisanmu menjadi nyata.

Lumut-lumut lengket yang melekat di permukaan bebatuan kecil, tak sengaja terinjak. Sebagian berpindah dengan mudah dan akhirnya turut menempel di sol sepatu Amarilis. Ia mulai membayangkan aroma yang kini bercokol di sana. Seperti handuk basah yang dibiarkan teronggok di atas kasur hingga berjamur. Bau itu adalah bau yang sama ketika ia berada di dekat danau kecil di tengah hutan. Meski kecil, danau tersebut tak dapat dikatakan dangkal. Suatu waktu, kucing kesayangan milik tetangga bermain terlalu jauh, lalu tenggelam di sana. Keempat kakinya yang berbulu, terlilit sulur-sulur ganggang hijau yang bercokol di dasar danau.

Kiri. Kanan. Kiri. Kanan.

Tepat di tikungan tajam di dekat taman, ia mengurangi kecepatan, mengatur tarikan napas sedemikian rupa. Embusan udara dingin terasa menampar-nampar wajahnya tanpa permisi. Namun, ia tak peduli. Ia hanya perlu terus berlari.

Sinar matahari menyamarkan hawa dingin hingga menjadi berangsur hangat. Seakan-akan disaring oleh lapisan dedaunan milik pohon-pohon yang berjejer, di sepanjang tepian pedestrian, sebelum akhirnya jatuh menerpa permukaan jalanan berpaving. Sebagian lagi menimpa permukaan kulit wajah dan lengannya yang dihiasi bintik-bintik kecokelatan.

Begitu sepasang kaki Amarilis menginjak rute berpaving, itu artinya ia sudah semakin dekat dengan rumah.

Kausnya basah oleh keringat. Mencetak noda tak beraturan, yang sekaligus terasa lembap di permukaan kulit. Lengket.

Kiri. Kanan. Kiri. Kanan.

Dari kejauhan, ia mendapati SUV merah terparkir di carport rumah. Sontak, langkah kakinya terhenti. Rahangnya mengetat. Amarilis tahu betul siapa pemilik sedan itu.

Dan, di belakang SUV merah, ia mendapati seorang perempuan dengan dandanan kasual, berdiri tegak. Salah satu tangannya mendekap laptop di depan dada. Sementara tangan lainnya menggenggam ponsel yang melekat di telinga.

Seketika, gejolak kecemasan tiba-tiba datang menyergap, menerjang bagai gulungan ombak. Melahap semua yang ada di hadapan. Terutama, kewarasannya.

Kini, ia berjalan gegas. Tidak. Dia berlari. Berlari kencang seperti tadi. Bedanya, kali ini, napasnya tersengal-sengal. Seakan-akan, ia lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.

Aphrodite Harus MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang