3. Nawasena

64 12 5
                                    

Nawa bersiul dengan riang ketika ia keluar dari kamar mandi. Siulannya mengikuti suara instrumen klasik yang keluar dari ponsel yang disetel dengan lantang. Nadanya meliuk-liuk di udara. Naik turun dengan dengan tempo yang teratur. Sesekali tenang, sesekali mengentak cepat.

Tubuh bagian bawah Nawa hanya ditutup dengan sehelai handuk tebal yang berhenti hingga setinggi lutut. Handuk tersebut bahkan tak dapat menutupi sepasang betisnya yang ditumbuhi bulu-bulu keriting halus. Bagian dada Nawa yang juga ditumbuhi dengan bulu halus melingkar, yang nyaris sama dengan yang tumbuh di kakinya, dibiarkan terekpos bebas begitu saja.

Ketika Nawa bergerak, bulir-bulir air seketika menetes dari ujung rambut. Saat berjalan menuju lemari, telapak kakinya yang lembap sempat menyenggol tumpukan kemeja dan celana bekas pakai yang ia lempar begitu saja sebelum masuk ke kamar mandi.

Tidak apa-apa. Alma tidak akan marah, tentu saja. Alma tidak pernah marah kepadanya.

Nawa lalu memilih kaus dengan acak tanpa takut mengacaukan lipatan-lipatan baju lain. Karena sejujurnya, isi lemari tersebut tak dapat dibilang rapi. Baju-baju memang terlipat, tetapi hanya ditumpuk dengan asal-asalan. Bahkan, kamar tempatnya berada saat ini, ditata dengan sewajarnya. Kerapiannya tidak mengintimidasi Nawa sedemikian rupa. Dan fakta tersebut, membuat hidupnya kini berangsur tenang.

Nawa lalu mengenakan kaus tersebut dengan gegas. Tak lupa, menyemprotkan parfum banyak-banyak ke lipatan lengan dan belakang leher. Hingga udara di sekitarnya dicemari oleh aroma vanili segar dari botol bening di genggaman.

Alma tidak suka dengan aroma tubuhnya. Oh, ralat. Alma benar-benar benci dengan aroma Nawa. Bukan dalam konteks bahwa Nawa punya masalah bau badan yang menyengat akibat lipatan lengannya yang senantiasa basah dan lembap. Namun, Nawa punya aroma aneh yang melekat di tubuhnya, meski lipatan ketiaknya senantiasa bersih dan kering.

Aroma yang dibawa oleh Nawa dari 'dunia lain', adalah aroma yang sangat dibenci Alma. Perempuan itu bilang, Nawa beraroma orang sakit. Dan aroma tersebut membangkitkan perasaan jijik pada diri Alma kepada Nawa.

Itu sebabnya, Nawa akan segera mandi dengan bersih begitu ia menginjakkan kaki di apartemen Alma, agar bau tersebut segera luntur dari tubuhnya.

Nawa tidak keberatan. Ia justru gembira. Kini baginya, mandi adalah seperti semacam ritual khusus sebelum berlari ke dalam hangatnya dekapan Alma.

Ketika Nawa usai menyemprot nyaris sekujur permukaan tubuhnya, samar-samar terdengar suara debum pintu tertutup. Asalnya dari depan. Nawa tersenyum semringah sambil meletakkan botol parfum di atas nakas di sisi ranjang. Sudut beling botol tersebut tak sengaja menyenggol pigura hingga terjatuh ke lantai.

Nawa mendesah. Ia merunduk, lalu meraih pigura kayu yang mendekap foto dirinya dalam pose tengah berpelukan bersama Alma, dan kembali meletakkan pigura tersebut begitu saja di tempat semula.

"Nawa?" Suara Alma terdengar memenuhi udara.

Nawa gegas keluar dari dalam kamar. Ia mendapati Alma dengan wajah yang ditekuk sedemikian rupa. Gurat-gurat kemarahan tercetak jelas di wajah perempuan itu.

"Sayang... " Nawa lekas menarik tubuh Alma ke dalam dekapannya.

Namun, Alma memberontak. Tenaga lelaki jangkung seperti Nawa tentu saja dapat dengan mudah menaklukkan perlawanan seorang perempuan.

"Kenapa, sih, kok marah-marah?" Nawa tersenyum. Ia mempererat pelukannya, mengunci tubuh Alma dalam dekapan. "Aku kan baru datang."

"Justru karena itu!"

"Kenapa?" Nawa tak memedulikan amarah Alma. Ia sangat menyukai Alma yang memberengut dan berbalut emosi seperti ini. Baginya, Alma adalah perempuan lemah yang sangat bergantung kepadanya seakan-akan Nawa adalah sebuah candu.

"Kenapa kamu baru datang?" Suara Alma demikian melengking, hingga membuat Nawa terpaksa harus lekas-lekas membungkam bibir perempuan itu dengan satu ciuman panjang nyaris tanpa jeda. Lalu, ketika Alma mulai membalas pagutan tersebut, Nawa justru mengakhirinya dengan sengaja. Memutus gairah yang sempat terbit sesaat.

Seketika, wajah Alma berangsur merah. Sungguh kontras dengan kulitnya yang pucat.

Nawa menyukainya. Nawa menyukai segala hal yang ada pada perempuan ini. Nawa menyukai bagaimana Alma demikian tergila-gila kepadanya. Nawa menyukai bagaimana ia dapat dengan mudah mengontrol hidup Alma, meski mereka tidak selalu bersama setiap detik.

"Karena kamu tahu apa alasannya." Nawa mengurai lengannya hingga tubuh Alma terlepas dari dekapan.

"Aku tahu, dan aku benci," Alma menatap Nawa. "Kamu tahu aku benci dengan segala alasanmu."

"Meski demikian, kamu tetap menginginkanku." Nawa menyeringai. Ia melesakkan sorot tatap mata tajam kepada Alma.

Alma mendesah. "Sampai kapan?"

Nawa mengedikkan bahu dengan gerakan menggoda. "Aku tidak tahu."

Ada jeda kosong yang terasa demikian menyesakkan. Mereka berdiri di tengah-tengah ruangan. Dikepung oleh sofa yang sudah mulai terlihat usang, aneka perabot dan perangkat elektronik lainnya. Lantai keramik tempat kaki mereka berpijak, seakan-akan menghantarkan gelenyar dingin yang menjemukan. Sinar matahari sore menerobos masuk melalui kaca jendela yang gordennya tersibak lebar.

Alma mendesah. Rupa-rupanya, ia memilih untuk tidak menanggapi jawaban Nawa. Perempuan itu membalikkan badan lalu berjalan menuju pantri. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan botol berisi air mineral kemasan. Sekeliling botol tersebut ditempeli bulir-bulir embun. Hawa dingin yang melekat di permukaannya menular cepat ke telapak tangan Alma. Dalam beberapa kali tegukan, isi botol telah berkurang separuh, hingga nyaris tak bersisa.

"Apakah tidak cukup bahwa aku ada di sini sekarang?" Nawa mencoba membujuk.

"Tidak."

"Sekarang ... kau mulai banyak menuntut?" Suara Nawa berangsur serak.

"Tinggalkan dia." Alma membasahi permukaan bibirnya dengan sapuan ujung lidah. Ia mengembuskan napas, lalu berkata, "Bagaimana kalau akhirnya aku hamil?"

Senyum di bibir Nawa seketika menguap. Suara dari instrumen musik masih berputar-putar di udara. Pada nada tinggi yang kemudian menukik cepat menuju nada rendah, Nawa pun membalas. "Lenyapkan."

Aphrodite Harus MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang