LoVe Part-3 (Story Aiden)

44 29 31
                                    

Hampir setengah jam, kami menunggu. Katharina pun akhirnya datang. Pakaiannya hari sungguh sangat comel di badannya, ternyata seleraku yang imut-imut seperti ini.

Hadeh ...!

"Hai! Udah lama nunggu?" sapa Katharina seraya mendekat ke arahku.

"Ya. Hampir berabad-abad," jawab Keen dengan nadanya yang dingin.

Aku pun segera mengalihkan pembicaraan kami. "Kath, kita main yuk?" ucapku seraya menawarkan stik billiar padanya.

"Aku gak main lagi, deh. Kaki aku masih sakit berdiri," ucap Kai sambil berjalan tertatih-tatih ke tempat duduk.

"A-aku ... gak bisa main ini," ucap Katharina tiba-tiba.

"Tidak ap--" Belum selesai aku berbicara. Elizabeth telah menimpali lebih dulu.

"Tenang aja, ada Keen yang ajarin, Kok," tutur Elizabeth tapi dilempari tatapan tajam oleh Keen.

"Tapi--" Lagi-lagi aku tidak sempat berbicara. Elizabeth segera menarik tanganku dengan alasan menemaninya ke toilet.

Dengan langkah berat, aku pun mengikuti Elizabeth yang menarikku dengan paksa. Tapi ternyata dia tidak benar ingin ke toilet, melainkan pergi bersembunyi untuk menyaksikan Katharina dan Keen yang sekarang canggung dengan keadaan.

"Loh ini. Kenapa sih?"

"Sssttt! Diam. Aku ingin mencomblangi Keen dan Katharina."

Aku tercengang mendengar penuturan Elizabeth yang blak-blakan ini. Dengan tatapan tak percaya aku menatapnya seolah-olah ingin mencari kebenaran.

"L-loh gak salah ngomong?"

"Salah ngomong gimana? Aku serius. Cepat lihat mereka."

Aku pun menurutinya dan kembali mengintip apa yang mereka lakukan.

Aku melihat Katharina yang berulangkali mencoba memasukan bola, tetapi tetap saja, dia bahkan tidak bisa memegang stik dengan benar. Aku hanya menggeleng menyaksikannya yang tak pantang menyerah.

"Aish! Susah kali ya masuknya," aduh Katharina sambil berkacak pinggang.

"Hey! Kalau gak tahu main, mending jangan main! Mengganggu!"

"Kan aku cuman pengen belajar, kok kamu jahat?"

"Nyusahin tahu gak?"

"Huh! Bilang aja gak tahu cara mengajarkan orang, jadi kek gitu!" sungut Katharina yang sepertinya tengah kesal dengan perlakuan Keen.

Tapi semenit kemudian, Keen menghampiri Katharina dan membantu Katharina cara memegang tongkat dan menembak dengan baik. Akan tetapi mereka berdua sangat dekat, seakan-akan Keen tengah memeluk Katharina dari belakang.

Aku dan Elizabeth hanya bisa saling memandang, kedua orang itu yang bagaikan burung camar yang sedang kawin.

Namun entah mengapa. Bukannya senang, aku malah sakit. Seharusnya aku bahagia melihat dia bahagia juga 'kan?

"Aiden? Loh kok ngelamun? terbawa suasana mereka yah?" tanya Elizabeth yang membuyarkan lamunanku.

"En-enggak kok. Aku hanya berpikir mereka cocok," jawabku. Tapi sedetik kemudian aku baru saja ingat dengan perkataan Elizabeth yang ingin mencomblangi mereka.

"Eliz? Loh serius untuk mencomblangi mereka? 'kan loh tahu sendiri, Keen gak bisa bersama wanita lain termasuk Katharina?" tanyaku penasaran.

"Yah, aku sudah berjanji pada Katharina untuk membantunya. Lagian ini yang seharusnya aku aku lakukan, Aiden," jawabnya dengan sangat serius, seperti tidak ada kebohongan dari mimik wajahnya.

Aku hanya menatapnya dengan tidak habis pikir.

"Emangnya loh gak sakit hati? Secara Keen itu adalah pria yang akan menikahimu nanti! Keluargamu telah membuat janji untuk kalian, Eliz," ucapku, mencoba menyadarkan sahabatku ini.

Tampak dia menghela napas panjangnya. "Loh gak usah mikirin itu, Aiden. Aku dan Keen tidak saling mencintai. Kami bersama hanya sebatas teman yang terjerat dengan perintah keluargaku."

"Tapi--" Aku ingin membantah, tapi jari telunjuk Elizabeth lebih dulu mendarat di bibirku.

"Kamu gak usah mikir yang lain. Aku dan Keen mencintai orang lain, kamu paham?" ungkapnya sambil menatapku dengan matanya yang seperti berkaca-kaca.

Apa mungkin dia sedang menahan air mata? atau mungkinkah hanya halusinasiku?

Kini kami pun, kembali bergabung dengan Keen dan Katharina setelah situasi telah kembali normal. Kai yang entah dari mana, kini bergabung kembali bersama kami.

***

Keesokan harinya. Seperti biasa, aku pergi ke sekolah dengan terburu-buru karena tugasku menjadi ketua OSIS yang harus datang awal sebelum siswa lainnya datang. Sebab aku adalah pemimpin yang menjadi tauladan di sekolah.

Hari-hari yang terus berulangkali terjadi. Aku di sibukkan oleh agenda-agenda yang menjadi tanggung jawabku di sana. Bahkan sepertinya aku tidak dapat datang untuk mengajari Katharina.

Aku pun menghampiri Keen yang tengah sibuk membaca buku.

"Bro?" panggilku. Dia pun menoleh, tapi sedetik kemudian kembali menatap bukunya.

"Keen setan!" teriakku dengan kesal.

"Apa setan? Ngomong aja!" timpalnya seperti tak kalah kesal dariku.

"Kalau ngomong itu, liat dong lawan bicaranya."

"Emang mataku yang harus mendengar? Noh kupingku masih berfungsi!"

Aku pun menarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Mencoba untuk mengalah dengan manusia ini.

"Gua ingin minta tolong."

"Minta tolong apa?"

"Buat gantiin gua, jadi guru privatnya Katharina. Soalnya gua lagi banyak urusan. Loh tahu sendiri aku sibuknya apa?" jelasku. Tapi dia tak meresponku sama sekali.

"Sehari doang. Please...."

"Yaaa! Terserah!" jawabnya dengan begitu lamanya aku menunggu responnya itu.

"Ingat, habis pulang sekolah yah," ucapku dan segera meninggalkannya.

Aku tidak tahu, apakah dia mau atau tidak. Tapi jika Keen sudah berkata seperti itu, pasti dia akan menepatinya.

Aku pun segera bergegas untuk melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda.

***
~Bersambung~



Rasi Cinta Prisma 6 [Novelet]-ENDWhere stories live. Discover now