1. Tipe Ideal Sashi

81 8 13
                                    

Kita harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang bisa bikin Dava nyesal udah mutusin Sashi.
—Z. Mauri

—∞—∞—∞—
1. Tipe Ideal Sashi
—∞—∞—∞—

“Aku mau putus.”

Sashi tidak habis pikir dengan betapa mudahnya Dava mengatakan kalimat itu. Sepatah kalimat sakral yang menjadi pantangan dalam sebuah hubungan yang harmonis. Ya, Sashi mengakui hubungan mereka memang baik-baik saja dan dapat dikatakan cukup harmonis. Tidak pernah ada masalah sebelumnya, selain Sashi yang sering bangun kesiangan dan berujung membuat dirinya dan Dava yang berangkat sekolah bareng jadi terlambat.

Dava—sebagai pacar yang pengertian—tidak pernah marah pada Sashi atas setiap keterlambatan yang mengakibatkan keduanya harus dihukum. Berbagai jenis hukuman telah mereka terima, seperti berjemur di tengah lapangan upacara, mengepel lantai koridor utama, lari keliling lapangan, hingga membersihkan toilet. Semuanya gara-gara kecerobohan Sashi, tetapi Dava selalu—terlihat—enjoy menjalani hukumannya selama itu bersama Sashi.

Di luar itu, Sashi selalu berusaha menjadi pacar yang baik. Dia mengabari Dava apa pun yang tengah dilakukannya. Dava juga punya kesadaran diri tinggi untuk balas mengabari Sashi. Selama ini tidak pernah ada masalah berarti dalam hubungan mereka, jadi kenapa Dava tiba-tiba mengajukan untuk putus?

Belum sempat Sashi menanyakan alasannya, Dava secara mandiri menjawab, “Aku tau ini kedengaran jahat, tapi aku suka sama cewek lain.”

Pengakuan itu membuat mulut Sashi setengah menganga. Sejujurnya dia lebih bisa menerima alasan Dava memutuskannya karena Sashi punya kebiasaan bangun kesiangan. Setidaknya alasan itu tidak akan melukai hatinya sedalam ini.

Namun, Sashi tidak mau tunduk begitu saja pada rasa kecewa yang bisa membuatnya tiba-tiba menangis di hadapan Dava. “Indeed,” ujar cewek itu dengan nada sinis, “kamu memang jahat, Dav.”

“Ya, I am.” Dava menyahut santai. Saking santainya, dia sempat-sempatnya mengukir senyum manis pada Sashi. Senyum yang dulu mampu membuat Sashi jatuh hati. Senyum yang tak pernah gagal membuat hati Sashi bak taman bunga. Tapi, senyum itu tidak berarti apa-apa lagi sekarang. Tidak setelah Dava dengan kejamnya memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

“Aku nggak punya kesempatan untuk ngasih penolakan, kan?” Sashi bertanya, berusaha terdengar tegar.

“Kamu boleh menolak,” balas Dava, masih dengan suara santainya, “kalau memang kamu mau dimadu, sih.”

Sashi mampu menahan diri agar tidak meninju rahang Dava sekarang dan membuat setidaknya satu gigi cowok itu melanting dari tempatnya. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk yang satu ini.

Plak!

Satu tamparan hangat melayang di pipi kiri Dava. Bekas tamparan itu segera berubah kemerahan berikut rasa panas yang mulai menjalar di wajah mulusnya. Berkat kulit yang kecokelatan akibat sering bermain basket di bawah panas matahari, warna merah akibat tamparan itu tidak begitu tampak walaupun jelas meninggalkan sakit yang menyengat. Cowok itu meringis panjang, tetapi tidak marah atas perlakuan Sashi. Dia memang pantas menerima itu. Bahkan lebih dari pantas.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang