11

3.7K 589 30
                                    

"Biar Kansa yang bikin tehnya, Bulik."

Tanpa menunggu persetujuan Bulik Harti aku meraih ketel yang mendidih, menuang air panasnya ke beberapa cangkir yang sudah Bulik Harti siapkan untuk menjamu tamu Abi.

Bertamu di subuh buta, mungkin untuk beberapa orang terlihat tidak sopan, tapi ini adalah hal yang di maklumi dalam pondok yang di kelola oleh Abi Rudi. Hari memang masih petang, ufuk barat belum terlihat, adzan subuh belum berkumandang, dulu, entah berapa lama hingga aku tidak mengingatnya, di jam seperti ini dulu aku baru saja pulang dari Club, sempoyongan nyaris tidak bisa menjaga keseimbangan karena mabuk dan pada akhirnya aku akan tumbang di depan rumah dengan muntahan yang membuatku menyedihkan.

Di sela kegiatanku menyiapkan teh tersebut aku tersenyum, sungguh memalukan jika di ingat aku bisa sebodoh itu, menenggak alkohol yang merusak tubuhku hanya demi kesenangan semata. Rasa ringan dari segala beban yang aku rasa hanya sekejap aku rasa sebelum akhirnya seharian aku akan di buat pusing tidak karuan karena minuman laknat tersebut.

Tiga tahun berlalu, satu hal yang tidak berubah dariku yaitu aku yang membuka mata di jam seperti ini, yang berbeda mungkin dulu aku membuka mata perbuatan dosa, dan sekarang aku membuka mata untuk bertemu dengan Sang Pencipta yang selama ini nyaris aku lupakan kehadirannya dan membuat hatiku tenang luar biasa sebagai bekal mengawali hari yang panjang.

Karena segala kebiasaan inilah aku sering kali menghabiskan waktu di dapur yang nyaris selalu sibuk setiap harinya, di saat sebagian orang tengah sibuk beribadah, mereka yang ada di dapur akan mulai bersiap menyiapkan sarapan untuk mereka yang berada di siswa asrama sekolah maupun penghuni mandiri sepertiku, membantu sebisaku hingga aku akrab dengan mereka seperti Bulik Harti ini contohnya.

"Oye deh teh bikinan Mbak Kansa. Pasti ini tamu spesial lainnya yang datang buat lamar Mbak Kansa, Bulik Harti jamin 100%." Dua jempol di berikan oleh beliau, satu hal yang membuatku langsung terkekeh geli mendapati pujian yang amat tulus ini. Sayangnya kekeh geli tersebut seketika berubah menjadi dengusan masam saat Bulik Harti menggodaku dengan wajah tuanya yang usilnya, "Bulik jadi penasaran Gus mana lagi yang mau ngelamar Mbak Kansa, Mbak Kansa sih Gus dari Sabang sampai Merauke udah nggak terhitung yang mau ngelamar, tapi nggak ada satu pun yang nyantol gitu, Mbak?! Coba aja kalo Bulik yang di lamar Mbak, langsung Bulik sikat nggak pakai one two three."

"Apaan sih, Bulik." Elakku risih saat beberapa orang lainnya mendengar percakapan kami, rasanya sangat memalukan pasal lamar melamar yang tidak bisa aku terima harus aku bicarakan dan di dengar oleh orang lain. Rasa bersalah selalu aku rasakan setiap kali menolak permintaan baik dari para pria luar biasa yang meminangku pada Abi Rudi. Andai saja hatiku bisa aku atur kemana dia harus jatuh, ingin rasanya aku jatuh hati pada salah satu pria yang mendapatkan panggilan Gus tersebut, karena  aku yakin mereka bisa membimbing jalan hijrahku dengan baik, sayangnya siapa aku yang bisa mengatur takdir serta hati, aku mungkin terpesona dan kagum akan kepandaian mereka dalam Agama dan ibadah, sayangnya sama seperti kini di mana aku yang memasrahkan diriku pada takdir Tuhan sepenuhnya, degup jantungku sama sekali tidak berdetak istimewa di hadapan mereka, setiap istikharah yang aku ambil atas nama mereka tidak menunjukkan jika mereka adalah salah satu jodohku. "Yang datang kali ini kata Umi tamu yang akan bantuin Abi urusan sekolah, Bulik."

Bulik Harti mengangguk, sedikit menyingkir saat aku membawa nampan berisi enam teh hangat bersama dengan kacang rebus yang akan me jadi teman camilan, dengan langkah ringan aku berniat menuju pendopo Pondok, tempat yang menjadi tempat Abi menerima tamu, tapi di pertengahan jalan, Raya, salah satu penghuni pondok memberi tahuku jika para tamu menunggu di rumah Abi, seketika saat itu juga aku merasakan keganjilan, untuk orang-orang yang hendak membantu Abi di sekolah, terlalu pribadi menerima mereka di rumah.

Dengan kepala yang penuh rasa penasaran aku berjalan menuju rumah Abi, tempat sederhana yang sama sekali tidak menggambarkan kemewahan layaknya rumahku di Jakarta tapi tempat yang luar biasa nyaman, tempat di mana aku yang dahulu nyaris gila akhirnya mendapatkan ketenangan untuk pertama kalinya, dan sensasi bahagia menemukan rasa nyaman itu masih aku rasakan hingga sekarang.

Tapi seiring langkahku yang semakin mendekat ke rumah Abi, langkahku yang semula begitu ringan mendadak terasa berat seolah beban ratusan ton menggelayut di kakiku saat sosok yang sangat aku kenali tengah bercengkrama dengan Abi Rudi bersama sosok-sosok lainnya.

Rasa kelat mendadak aku rasakan di tenggorokanku, sungguh aku sudah berdamai dengan semua rasa kecewa yang aku rasakan, tapi bertemu dengan bagian dari masalalu yang menghancurkan mentalku, rasanya aku masih belum sanggup.

Aku nyaris berlari, tidak ingin menemui dan bertemu dengannya lagi, tapi tepat saat aku memutar kakiku untuk berbalik, suara Abi yang memanggil namaku membuat semuanya terlambat.

"Kansa, mana teh-nya, Nak."

Berbeda denganku yang terkejut akan hadirnya, sosok familiar tersebut hanya memandangku lekat sekilas karena detik berikutnya aku buru-buru membuang pandang kemana pun asalkan bukan ke arahnya.

Jantungku berdegup kencang, sebuah perasaan rindu yang tidak pada tempatnya kini menelusup ke dalam hatiku tanpa bisa aku cegah membuatku dengan cepat menggelengkan kepala mengusir rasa yang tidak seharusnya ada lagi di dalam hatiku.

Astaghfirullah. Maafkan Hamba yang masih begitu lancang tidak menjaga pandangan, Ya Allah. Istighfar buru-buru aku ucapkan dalam hati sembari meletakkan setiap gelas berisi minuman hangat yang aku siapkan.

"Assalamualaikum, Dek Kansa."

Sapaan yang menyebut namaku membuatku mendongak, menatap sosok dalam balutan kaos hijau tua dan celana loreng khas seorang Tentara yang tengah tersenyum ke arahku.

Bibirku melengkung tanpa di minta membalas senyumannya mengabaikan Polisi dari masalalu yang duduk tepat di sampingnya, sosok angkuh dan arogan yang dahulu begitu lekat pada diri Kansa Azzura kini berganti keramahan yang tidak bisa aku tanggalkan menghadapi tamu Abi Rudi.

"Waalaikumsalam, Bang Arya."

Arya Kamandanu, pria dari Batalyon Raider tidak jauh dari pondok ini adalah putra seorang ulama dari Jawa timur sahabat dari Abi Rudi, hal inilah yang membuat kami saling mengenal bahkan terkesan dekat karena aku adalah salah satu pengagum suara indahnya saat melantukan ayat suci Al-Quran setiap kali Abi Rudi menggelar acara.

Sayangnya senyum kami yang saling terbalas tanpa ada sesuatu di baliknya ini mendapatkan tanggapan berbeda dari setiap orang yang melihat, termasuk Abi Rudi yang langsung memberikan teguran halus memutus tatapan dari Sang Letnan kepadaku.

"Arya, jaga pandangan matamu, Nak."

Arkansa Where stories live. Discover now