17 : "Tidakkah Apa?"

46 10 6
                                    

Kembali menelusuri jalanan setapak tidak menjadi masalah bagi Joan. Berulang kali ia menarik dan mengembuskan napas. Andai saja Jeffrian ada sekarang, sudah pasti dia akan datang menjemputnya.

Untung saja aplikasi ojek online-nya dapat menjangkau posisi sekarang hingga ia tidak akan berjalan lebih jauh dan sebentar lagi dia akan berada di rumah. Joan kembali mengembuskan napas saat melihat jaket yang tidak asing di matanya.

"Ck, kalau si Jep, pasti dia udah ngomel gue suruh ke sini," gumamnya dan mengarahkan ponselnya setelah memastikan plat motor yang ada di depannya sesuai dengan yang ada pada layar ponselnya.

Tatapan tukang ojek itu terlihat curiga kepada Joan, dia berpikir apa yang tengah dilakukan gadis SMA di jalan menuju hutan itu.

"Dari mana, Dek?" Laki-laki itu tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Maksudnya ngapain dari dalam sana?" Dia meralat pertanyaannya.

"Penelitian sekolah? Mungkin," jawab Joan tidak jelas.

Penelitian sekolah, Joan mengulang kembali jawaban yang ia katakan dan tersenyum karena menertawakan dirinya sendiri.

Baru saja sampai di rumah, Joan mendapati Syarif bersiap pergi dengan motornya yang sudah lama tidak ia gunakan.

"Ayah mau ke mana lagi?" tanya Joan sambil menyerahkan helm milik tukang ojek. "Makasi, ya, Bang."

"Ada pertemuan lagi untuk proyek baru. Mobil Ayah tinggal, biar kamu bisa make."

Joan menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati Syarif untuk bersalaman. Dia tidak bisa mengeluh jika ayahnya pulang dan pergi disaat ibunya sakit karena dari mana uang akan didapatkan oleh ayahnya untuk pemulihan Serin yang tidak murah.

"Jaga ibu kamu, jangan biarin nenek yang banyak kerja."

"Iya, Ayah."

Sesampai di dalam rumah, Joan langsung ke arah dapur. Senyum yang dipaksakan terlihat jelas dari wajahnya. Saat ayahnya di rumah, neneknya tidak akan dibiarkan untuk melakukan pekerjaan dapur, selain memasak.

Melihat tumpukan piring membuat lelah Joan bertambah, rasanya ingin berteriak. Namun, semua itu sudah menjadi kewajibannya sebagai anak.

Serin tertidur di kamarnya, sedangkan Joan tidak melihat keberadaan neneknya. Mungkin dia pulang sebentar dan nanti akan kembali ke rumahnya. Pintu kamar Serin sengaja dibukakan oleh Joan agar dia bisa mendengar jika ibunya memanggil.

"Kak! HP-mu bunyi dari tadi!" teriak Fernan dari ruang tengah.

Joan berdecak kesal, siapa pula yang menghubunginya disaat ia sedang sibuk simulasi menjadi ibu rumah tangga.

"Biarin aja, lah, kalau penting ntar nelepon ke nomor ibu!" balas Joan dari arah dapur.

Joan kembali melanjutkan mencuci piring seraya menunggu mesin cuci berhenti.

"Kak!" panggil adiknya lagi, tapi diabaikan oleh Joan. "Kaaak!"

"Ih, apaan?!" Kali ini Joan geram dengan adiknya. "Apa, apaa!" bentak Joan dari arah pintu dapur dan dia buat terpaku saat melihat teman-temannya berada di pintu rumahnya.

"Tuh, temenmu datang. Marah-marah mulu!"

Joan mengusap lehernya, untuk apa pula Jian dan Hana datang membawa rombongan Nadhif dan yang lainnya.

"Kalian?"

"Masuk kakak semuanya. Kak Joan emang gitu, gak ada adat nyuruh temannya masuk," timpal Fernan sembari menyuruh temannya Joan masuk.

Menghentikan aktivitas di dapur, Joan beralih ke ruang tengah. Mereka tidak menyinggung masalah di sungai karena ia pulang lebih dulu.

"Ibu mana, Jo?" tanya Nadhif.

HIRAETH (END) Where stories live. Discover now