3

2.2K 228 20
                                    

"Jadi gimana?"

Tanya Renjun membuka percakapan diantara mereka bertiga. Saat ini ketiga sahabat itu sedang bersantai dirumah Haechan setelah selesai mengerjakan tugas sekolah mereka.

"Apanya?" Tanya Jisung saat kedua sahabatnya itu melempar tatapan bertanya.

"Hubungan lo sama Bangchan?"

Jisung menghela nafasnya pelan. "Gue ada perjanjian sama dia."

"Perjanjian?" Haechan mengernyitkan dahinya.

"Maksudnya?" Renjun menimpali.

"Jelasinnya gimana gue juga bingung."

Jisung malah menutup wajahnya dengan bantal dalam kamar Haechan.

"Tinggal cerita aja. Gue sama Renjun bakalan dengerin kok."

Benar juga, cerita ke sahabat pasti mengurangi sesak didada.

Selama ini Jisung memang orang yang tertutup, tidak gampang akrab dengan orang baru. Menceritakan masalahnya kepada kedua sahabatnya saja tidak pernah Jisung lakukan.

Jisung kuat, dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

Tapi, kali ini beda. Ini sudah melebihi batas ambang akal sehatnya.

Ini semua tentang hati.

Haechan dan Renjun mengangguk, mencoba memahami setiap cerita yang dilontarkan oleh sahabat mereka.

"Udah gue duga dari awal, lo emang belum move on dari jamet cap buaya kaki dua itu." Celetuk Haechan.

"Tapi lo gengsi gak mau ngakuin. Ehh bukan lo doang yang gengsi, tapi kalian berdua sama-sama punya gengsi segede dunia."

"Pura-pura gak peduli, padahal hati lo gak pengen kayak gitu."

Jisung terdiam mendengar ocehan kedua sahabatnya. Karena ocehan mereka berdua memang benar adanya.

"Jadi gue harus gimana?"

Jisung menatap kedua sahabatnya meminta pendapat. Ia sangat yakin kedua sahabatnya ini pasti lebih ahli soal percintaan.

"Tergantung, lo nya mau pake logika atau hati?!" Renjun menatap Jisung.

"Kalau pake hati?"

"Balikan sama Jaemin!" Ujar Haechan cepat.

"Gak mungkinlah, kan gue yang minta putus waktu itu." Gumam Jisung pelan.

"Salah sendiri. Masih sayang banget tapi diputusin."

Menusuk sekali ucapan Renjun.

"Lo kan tau dia gimana. Gak peka, gak bisa diajak serius, gak pedulian dan selalu seenaknya sendiri."

Jisung menumpahkan isi hatinya.

"Nyuruh Jaemin peka itu kayak nguras air laut pake sendok. Capek!"

Haechan dan Renjun terkekeh geli. Sementara Jisung tersenyum masam.

Benar, seperti itulah Na Jaemin.

"Berarti lo pake logika aja. Move On ke Bangchan." Saran kedua dari Haechan.

"Gue gak yakin sama Bangchan. Kesannya jahat gak sih, gue jadiin dia pelarian doang."

"Benar juga sih. Tapi kan lo bisa coba dulu, siapa tau Bangchan bisa ngobatin luka lo."

"Gak tau juga. Gue bingung banget."

Jisung memilih memejamkan matanya.

'Maaf Ayang .."

'Sorry ..'

'Tapi salah gue apa ya?'

'Udah gue cari salahnya tapi gak nemu.'

"Mending lo pulang deh, ntar Mama sama Papa lo nyariin." Perintah Jeno saat melihat Jaemin tidak bergeming dari kasur miliknya.

Hari sudah sangat larut dan Jaemin masih tetap berada pada rumah Jeno, sedangkan Mark sudah pulang 15 menit yang lalu karena harus menemani Ibunya yang sendirian dirumah.

"Udah gue bilangin buat nginep dirumah lo."

"Rumah gue bukan tempat penampungan orang galau."

"Sialan lo!" Jaemin melempar buku yang ia pegang kearah Jeno.

"Pantesan Jisung nyerah sama lo." Gerutu Jeno kesal, pasalnya buku lumayan tebal itu mendarat dengan indah pada hidung mancungnya.

"Jangan bawa-bawa nama mantan." Jaemin melirik kesal kearah Jeno.

"Gue makin yakin kalau Jisung bakalan lebih milih buat cerita baru sama Bangchan dari pada balikan sama manusia yang gengsinya tinggi kayak lo." Ejek Jeno.

"Bangchan bukan tipenya Jisung." Ucap Jaemin.

"Siapa bilang?"

"Gue yang bilang!"

Ucapan Jaemin semakin membuat Jeno kesal.

"Jangan sok yakin. Gue kalau jadi Jisung juga bakal lebih memilih Bangchan."

"Gak. Gue yakin 100 % kalau Bangchan bukan tipenya Jisung."

"Terus? Tipenya Jisung yang kayak siapa? Kayak lo? Kepedean, gantengan juga si Bangchan."

"Lo matanya burem apa gimana? Jelas-jelas gue lebih ganteng dari pada Bangchan." Balas Jaemin tak mau kalah.

"Dari pada ngomong sama lo, mending gue berenang dari korea ke amerika. Sama capeknya, menguras tenaga."

Jeno memilih mengalah, ia beranjak mengambil kasur yang lain dan menatanya dilantai karena kasurnya sudah sepenuhnya dikuasai oleh Jaemin.

Jaemin memang tamu merangkap sahabat yang tidak tahu diri. Dia yang tidur diatas, sementara yang punya rumah tidur dibawah.

"Jeno .."

Baru saja Jeno ingin memejamkan matanya.

"Hm?" Sahutnya malas.

"Kira-kira Jisung masih ada rasa sama gue gak ya?"

"Lo beneran galau? Tumben."

"Gue cuma nanya."

"Ya mana gue tau. Gue gak bisa baca pikiran orang."

"Jeno ..."

Hening tak ada jawaban.

Jaeminpun sedikit menengok kearah sahabatnya itu yang tampak tertidur nyenyak.

"Kok gue cemburu ya liat Jisung berduaan sama Bangchan?"

"Ini cemburu bukan sih?"

"Ah gue gak ngerti!" Jaemin mengacak rambutnya frustasi.

"Perasaan sendiri aja lo gak ngerti. Gimana mau ngertiin perasaan orang lain?"

Gumaman Jeno membuat Jaemin terhenyak dari kasurnya.

"Gue kira lo udah tewas."

"Makanya kalau masih sayang banget tuh jangan dilepasin. Mana saat diputusin lo gak ada usahanya sama sekali."

Jeno berbicara dengan mata yang terpejam.

"Dia yang mutusin."

"Lo sadar gak kenapa dia mutusin lo?"

Jaemin terdiam.

"Pesen gue cuma satu. Kalau masih sayang, kejar! Jangan biarin dia jadi milik orang lain."

"Pesen gue juga nih ya No. Bangunin gue pagi-pagi, kalau gak kita bakalan telat ke sekolahnya."

Jeno mengumpat dalam hati, percuma buang-buang suara ngasih saran sama Jaemin.

'Andai saja membunuh sahabat sendiri hukumnya halal.'

Harusnya ada pengecualian untuk orang bernama Na Jaemin ini.

TBC.

Love Again (END) ✔✔✔Where stories live. Discover now