Chapter 5: How Come You Can Be Here?

52 10 34
                                    

Semesta bukan hanya tentang bumi dan seisinya

-o0o-

Semesta tak memiliki batas ruang dan waktu. Luasnya melampaui nalar manusia. Tak ada satupun makhluk yang bisa mengukur volume semesta. Isi dan segalanya adalah rahasia. Tentang makhluk dan kehidupan, bukan hanya mengisahkan bumi dan seisinya. Tapi, tentang banyaknya hal mustahil yang perlahan menjadi nyata. Membuat para manusia berusaha menjelajah waktu dan ruang disetiap sisi semesta.

"Shanju?" panggil Shaka saat melihat Shanju membeku ditempat.

"Jangan bercanda!" ujar Shanju berusaha membuang pemikiran rumitnya mengenai semesta lain. Dia tidak pintar fisika dan astronomi, bagaimana bisa otaknya disuruh berpikir tentang kehadiran makhluk sejenis Shaka.

Shaka memundurkan tubuhnya sebanyak 3 meter, memberikan ruang luas untuk Shanju bernapas.

"Kamu bisa jujur kalau kamu hantu. Nggak usah paksa otakku mikir keras," tutur Shanju lelah. Dia menarik kursi dari samping. Sambil duduk dan menyandarkan tubuhnya supaya otaknya bekerja dengan baik. Napasnya sudah beraturan. Tapi pikirannya masih belum jernih.

Hingga kesadarannya kembali sempurna, ada rasa perih menyerang kakinya. Rasanya sangat sakit. Tubuhnya condong ke bawah, coba melihat kondisi kakinya. Ternyata darah segar mengalir disana. Shanju lupa serpihan kaca tersebar dimana-mana. Bodohnya dia terus menapakkan kaki di ranjau itu.

"Awsh!" ringisnya saat melihat darah itu tak henti mengalir.

"Shanju? Kamu gak apa-apa?" tanya Shaka khawatir. Dia coba mendekat kearah Shanju, tapi telunjuk Shanju mengisyaratkan untuk tetap ditempat.

"Mau apa kamu di sini? Kamu nggak seharusnya disini!" ujar Shanju. Dia terus bertanya pada benaknya. Jika benar ini hanya lelucon, lantas siapa makhluk di depannya? Jika ini memang faktanya, bukankah terlalu membingungkan?

Shaka tidak menjawab. Dia terus menatap lekat kearah Shanju. Bukan tatapan tajam seperti elang, atau tatapan sendu dengan rasa bersalah. Tapi dia menatapnya bingung seperti berperang dengan pikirannya sendiri.

"Shanju, jangan menolak," ujar Shaka. Perlahan dia melangkah mendekat kearah Shanju. Meski Shanju berkali-kali memberi peringatan, Shaka tidak peduli. Dia tetap dalam pendiriannya, bahkan bentakan Shanju tak menghentikan kaki itu menapak maju.

Shanju mengambil pecahan beling besar di sampingnya, sebagai senjata pertahanan. Saat Shaka mendekat, Shanju menodongnya dengan beling. Tapi, tetap saja Shaka tak menghentikan langkahnya. Shaka benar-benar nampak seperti hantu yang kebal dengan ancaman manusia. Sangat menyeramkan!

"Berhenti Shaka!" usir Shanju ketakutan. Sumpah! Dibanding dengan kematian, Shanju lebih takut hantu.

Kini hanya 1 meter jarak yang memisahkan mereka. Langkah Shaka terus maju hingga menempel dengan kaki kursi.

Dengan tatapan yang sulit diartikan, Shanju menarik kasar tangan Shaka, lalu menggoreskan beling tajam tepat dipergelangan tangan Shaka. Anehnya, goresan itu tak memberi dampak apapun bagi Shaka. Warnanya tetap sawo matang, tak seperti manusia pada umumnya yang akan berubah menjadi aliran darah.

"Semesta menyimpan banyak rahasia yang sulit dijabarkan oleh nalar. Salah satunya, dunia paralel," ujar Shaka. Tangannya hinggap di puncak kepala Shanju. Menutup akses kesadaran di otaknya. Hingga mata Shanju terpejam, dan kesadarannya menghilang.

"Dan ambisi manusia."

Berawal dari keinginan menjelajahi semesta, memunculkan suatu ambisi baru untuk berkelana lebih dalam pada hal yang tidak seharusnya dilakukan.

-o0o-

Aroma kayu mengembalikan kesadaran Shanju. Hidung Shanju terasa perih karena disumpal aroma menyengat. Shanju membenci aroma ini.

Matanya terbuka, memperlihatkan sosok pria yang tadi menjadi mimpi buruk Shanju. Dia bangun dari tempat tidur, langsung menegakkan tubuhnya.

Shaka ingin menyentuh kening gadis itu, untuk memastikan bahwa efek hilang kesadaran yang telah dia berikan sudah berhenti sepenuhnya. Namun Shanju malah menghindar, dia duduk bersandar di sudut ruangan menghindari manusia yang dianggapnya hantu.

"Jangan gini Shanju," ujar Shaka. Wajahnya menatap Shanju dengan raut kesedihan. Memberikan atmosfer baru berupa rasa sakit.

"Jangan ganggu aku, Shaka! Kamu seharusnya mati! Kamu boleh ajak aku mati, tapi jangan dengan cara yang sadis! Aku takut rasa sakit!" cerca Shanju. Dia ingin menangis, tapi tidak bisa. Tidak mudah untuk Shanju meneteskan air mata.

"Kenapa kamu berbeda, Shanju?" gumam Shaka pelan. Kamar kos yang hanya berukuran 4m × 4m itu terasa sempit dan mengerikan, karena atmosfer yang diciptakan Shaka.

Shaka menundukkan kepalanya. Masalah yang dahulu pernah menyerang, kini kembali bersarang di kepalanya. Masalah ini tentang semestanya dan ketertarikan pada gadis bernama Shanju. Tapi, pembatas mereka terlalu tinggi, semesta mereka berbeda.

"Mau kuceritakan tentang rahasia semesta?" tanya Shaka. Respons Shanju hanya diam. Dia terlihat tidak tertarik dengan topik pembicaraan Shaka. Tapi dia tidak menolak. Pikirnya, Shaka adalah hantu yang bisa berubah jelek sewaktu-waktu. Jadi, Shanju kesulitan melawan.

"Semesta itu luas, dan manusia hanya sebutir debu jika dibanding luasnya semesta. Mungkin, disini belum ada ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang batas semesta, tapi di semestaku sudah meneliti tentang ujung semesta. Kehadiranku disini sebagai bukti bahwa kemustahilan bisa menjadi nyata," cerca Shaka.

"Jadi, apa alasanmu ada disini?" tanya Shanju kebingungan.

"Karena kamu."

Lagi-lagi Shanju dibuat bingung. Apa hubungannya dengan Shanju? Nalar Shanju tak bisa berpikir jauh tentang konspirasi semesta.

Shaka menarik tangan Shanju. Dia mengusap jemari Shanju, seketika pupil matanya berubah menjadi hijau seperti tadi. Dalam pengelihatan Shaka, ada ramalan masa depan Shanju. Teknologi lensa softlens yang memanfaatkan analisis data dari sifat manusia lahir hingga sekarang, bisa memunculkan prediksi bagaimana masa depan seseorang terbentuk. Seperti itulah contoh teknologi canggih milik semesta Shaka.

"Kamu lihat jemari ini, Shanju? Dimasa depan kamu hanya menjadi penghancur, tanpa bisa menjadi pencipta. Kamu nggak akan pernah bahagia," ujar Shaka. Telapak tangan Shanju hanya menggambarkan ketidakberuntungan.

"Kamu salah! Sejauh ini aku bahagia, dan aku punya banyak keberuntungan!" bantah Shanju. Shanju yang menjalani hidup, maka Shanju yang seharusnya lebih tahu tentang hidupnya. Shanju tidak suka sifat sok tahu Shaka.

"Siapa orang kamu anggap jahat? Tidak ada bukan? Karena kamu terlalu naif," balas Shaka tersenyum tipis.

"Kamu salah!" bantah Shanju lagi.

"Kamu hanya manusia yang mengharapkan sisa keberuntungan. Saat keberuntungan itu habis, kamu terus mencari. Saat kamu tidak mendapatkannya, kamu terlalu berpikir positif hingga menganggap semua hal adalah keberuntungan. Sehingga kamu lupa, itu bukan keberuntungan, tapi sebuah bencana," ujar Shaka. Respons Shanju hanya diam, enggan bicara. Shanju juga bingung, apa yang terjadi sehingga dirinya terus berpikir sedemikian.

"Manusia memang memiliki sisa keberuntungan. Tapi saat keberuntungan itu habis, maka hanya tersisa harapan tidak pasti dan sebuah kewajiban berusaha untuk bertahan. Saat kamu tidak bisa melakukan itu, maka hidupmu hancur."


The Secret Of Universe Where stories live. Discover now