Chapter 23: Memory

42 6 6
                                    

All about love will be a lasting memory

-o0o-

Dunia paralel? Shaka tak asing dengan hal itu. Sebuah penelitian yang berawal dari pengembangan teori kuantum pada semesta, kini menghasilkan banyak perubahan.

"Shaka? Kamu mendengarku?" tanya Devita dengan semangat yang masih berkobar.

"Iya," jawab Shaka masih nampak bingung.

"Penelitian kita sampai di sini!" tunjuk Devita ada bagan penelitiannya. Di sana tertulis, portal dimensi.

"Akan bagus jika kita bisa membuat manusia berpindah dimensi. Dengan itu, kita bisa menjelajah jauh ke semesta lain!" ungkap Devita dengan mata berbinar.

"Tapi, Prof, setelah ku cari tahu, kehidupan di semesta lain memiliki pola yang berbeda. Kemungkinan kita tak bisa mengunjungi semesta itu karena berbeda pola. Mungkin akan timbul suatu masalah baru," timpal seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruang penelitian.

"Satra?" panggil Shaka karena terkejut. Dia Satra, teman sebangku Shaka yang amat menyebalkan. Di sisi lain, Satra adalah sahabat baik Shaka.

"Jangan panggil aku Satra di sini! Panggil aku, Jeffryan," tanya Satra saat menyadari Shaka memanggil namanya. Shaka lupa, Satra tak suka dipanggil Satra karena baginya nama itu aneh. Hanya saja, Shaka lebih suka memanggil dengan nama Satra tanpa bantahan.

"Sudah, sudah! Kita lanjut pembahasan!" lerai Devita sebagai pemimpin di sini.

"Jadi, bagaimana kamu tahu bahwa pola aktivitas setiap semesta berbeda? Bukan kah kamu belum pernah mengunjungi semesta lain?" tanya Devita bingung.

Satra mengambil bola dunia di dekatnya. Dia menatap ke arah Devita dan Shaka dengan yakin.

"Kalian ingat saat kita meneliti tentang masa dan waktu? Seluruh semesta memiliki peradaban berbeda-beda. Hal itu dapat dibuktikan oleh perbedaan keadaan luar angkasa antar semesta, bahkan di semesta lain masih ada yang memiliki pluto, ada juga yang memiliki 12 planet, dan juga ada yang memiliki black hole dekat bumi, anehnya bumi mereka baik-baik saja, berarti mereka cukup pintar untuk mengendalikan black hole, bukan?" seru Satra bersemangat. Dia menyingkirkan bola dunia yang sejak tadi berputar. Kini tubuhnya duduk manis ke kursi.

"Ada pertanyaan?" tanya Satra dengan senyumnya.

Senyum manis itu terlihat menawan di wajah Satra. Tubuh Satra sempat terpaku karena rasa rindunya pada Satra terlalu dalam.

"Besok aku ingin meneliti tentang portal dimensi. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk menembus lapisan dimensi!" ujar Satra penuh antusias. Detik kemudian Shaka merasa deja vu. Kalimat itu menjadi lontaran sakral sebelum bumi berduka.

Shaka memegang pergelangan tangan Satra. "Jangan Satra! Kamu bisa mati! Itu ber---"

Belum rampung Shaka menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba tubuhnya terpental jauh. Dia mengedipkan mata, lalu sampai di sebuah tempat peristirahatan terakhir.

Dia duduk di samping gundukan tanah. Melihat nama di pusara itu, matanya memanas. Detik kemudian dia menangis pilu.

Jeffryan Satrajaya. Sosok ilmuan yang akan selalu dikenang penduduk bumi. Dia mengembuskan napas terakhir saat meneliti tentang portal dimensi.

"Satra sudah tenang di sana. Jangan terlarut dalam kesedihan ya, Shaka?" hibur seorang gadis di sampingnya.

Melihat sosok Shanju, Shaka langsung memeluk erat gadisnya. Dia melirik jemarinya, ternyata cincin berlian sudah terpasang rapi di jari manisnya.

Shaka ingat. Kematian Satra terjadi setelah 2 bulan pernikahan Shaka dan Shanju di gelar. Rasanya sangat sakit melihat orang terdekatnya pergi begitu saja.

"Shaka, kamu boleh menangis. Tapi setelah ini, jangan lupa mengisi hari-hari dengan bahagia, ya? Aku paham tentang kehilangan, pasti rasanya sangat sakit. Tapi, kamu tidak boleh berlama-lama tenggelam dalam rasa sakit itu. Kamu butuh waktu untuk berbahagia," tutur Shanju, mengusap pelan punggung Shaka.

Entah sebuah bencana atau rencana indah, Shaka bersyukur terlempar ke dalam masa ini. Dia bisa kembali merasakan rengkuhan penuh cinta dari seorang Shanju.

"Terima kasih, Shanju ...," ungkap Shaka.

"Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah pada dirimu sendiri. Kebahagiaan bisa diibaratkan seperti obat. Seseorang bisa memberi obat itu padamu, namun kamu yang menentukan akan menerima atau membuangnya. Kebahagiaan memang bisa hadir karena orang lain, tapi dirimu sendiri memilih menerima rasa bahagia itu atau hanya menganggap rasa yang diberi sekadar puing-puing sampah. Untuk berbahagia, kamu harus selalu menerima kebahagiaan dari orang lain, ya?" Shaka kembali merasakan deja vu. Sebuah kalimat sama dengan situasi berbeda.

"Shanju, jika nanti kamu pergi, siapa yang akan memberi kebahagiaan itu?" tanya Shaka disela tangisnya.

"Aku tidak akan pernah pergi, Shaka. Juga, rasa cintaku tidak akan habis. Meski bahagia itu datangnya sekarang, namun kenangan akan berbekas selamanya. Kenangan yang kuberi bukan sekadar perihal kebahagiaan, melainkan catatan kehidupan supaya mendapat hari-hari baik."

Shaka ingat kalimat itu. Sebuah untaian kata dari Shanju yang sempat Shaka lupakan. Dia hanya mengingat kehadiran Shanju sebagai kebahagiaan, namun lupa jika kenangan yang Shanju beri juga mengandung catatan kehidupan.

Anasir jagat telah membuat Shaka menjadi pria penuh ambisi yang tamak akan kuasa, hingga dia tak lagi mengingat pesan Shanju seperti dahulu kala. Benar kata pepatah, ambisi menjadi penguasa bisa mendorong manusia menuju lubang kehancuran.

Hanya butuh satu detik Shaka berpijak di tempat berbeda. Lingkungannya masih sama, di peristirahatan terakhir manusia. Matanya melirik ke arah batu nisan. Tertera nama Gantari Samasta Shanju di sana.

Tak ada percakapan. Hanya dia seorang diri di sini. Suasana sangat sunyi, hanya ada nyanyian burung yang bertengger manis di ranting pohon.

Shaka tak lagi mengeluarkan air matanya. Dia mengusap nisan indah itu dengan penuh rasa sayang. "Shanju, maaf karena telah menyia-nyiakan obat yang selama ini kamu sediakan."

Tiba-tiba pandangannya kabur. Shaka merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Tak ada satu pun setitik cahaya. Saat itu kesadaran Shaka hanya diisi warna hitam pekat.

The Secret Of Universe Where stories live. Discover now