20: SUARA HATI YANG BERSITERU

331 56 15
                                    

Semuanya terasa berat bagiku. Sampai aku diantar Aa ke rumah sakit untuk berpamit kembali ke Bandung yang diantar oleh abah ke stasiun. Sedang abah nanti langsung berangkat menuju kantornya. Abah kemarin cuti dan dari cuti tersebut dihabiskannya sepanjang waktu untuk menemani ambu yang masih terbaring. Seharusnya, rencana kami adalah aku yang berpamitan pada abah dan ambu. Lalu pergi diantar ke stasiun dan Aaa yang menetap menjaga Ambu.

Namun, sekali lagi keputusan cuti itu masih diambang iya atau tidak. Sampai kami membuka pintu ruang rawat ambu dan Aa yang sudah berjalan lebih dulu mendekati ambu. Kupalingkan wajahku sebab tidak dapat membendung tangis yang dahsyat dan mendapatkan sosok pria bak pahlawan yang sedang tertidur di sofa panjang.

Aku terhenyak. Tidurnya begitu nyenyak seperti seorang pemburu yang dikejar kawanan srigala dalam belantara. Suara napasnya begitu berderu disertai raut wajahnya yang begitu lelah. Sebab beban yang ditanggung pada pundaknya bukan main-main. Paginya dihabiskan untuk bekerja, sementara malamnya pahlawan yang sering kupanggil abah itu harus menjaga permai surinya.

Aku mengerjapkan mataku kembali berpaling menatap ambu yang masih tertidur pada tempatnya. Aku kembali membatu didepan pintu yang tertutup sempurna. Menelisik sosok wanita kisut jelmaan bidadari yang sering kupanggil ambu. Bidadari tanpa sayap itu tidurnya sungguh lelap, tercelik seperti menahan sakit pada jarum-jarum yang menusuknya. Tangan yang telah keriput itu melingkar pada perutnya. Seolah-olah menahan air mata ketika nafasnya menarik dan terhembus. Begitu berat napasnya, suara yang dihaliskannya begitu pilu, suara yang selalu disembunyikannya dari anak-anaknya.

Aku menghampiri Aa yang sedang memilah-milah sampah untuk dibunga, memanggilnya dan mengatakan apa yang sudah kubulatkan.

“Lo anterin abah ke kantor, ya. Gue yang jaga ambu.”

Aa mengernyit bingung. “Kan lo mau ke stasiun.”

Aku menggeleng. “Gue ambil cuti. Sampai ambu pulang ke rumah.”

“Lo gak harus cuti sih, biar nanti gue aja yang urus ambu.”

“Gak apa-apa,” kataku cepat.

Baru selanjutnya Aa mengantar abah ke kantor lalu pulang membereskan rumah yang tidak terurus. Keputusanku yang mengambil cuti memang belum sampai pada telinga ambu. Sengaja, kularang pada siapa pun agar keputusanku tidak sampai padanya. Senyumnya tersungging kala ambu bangun dari tidurnya dan mendapatkanku yang sedang mengaji disampingnya, tapi matanya menuntut kejelasan.

“Ambu sudah bangun,” kataku pelan menutup Al-Qur’an dan meletakkannya diatas meja disamping ranjang. “Ambu makan dulu, ya habis itu baru minum obat. Baru deh solat.”

Ambu tidak menjawab, masih memandangiku dengan tatapan bertanya. Lalu mulai membuka mulutnya sembari kusuapi makan ambu bertanya dengan ter-gagu namun, aku masih paham apa yang diucapkannya.

Ambu berkata. “Kenapa teteh ada disini? Harusnya teteh balik ke Bandung.”

Aku menggeleng. “Libur teteh diperpanjang.”

“Sampai kapan?”

“Sampai panjang banget,” jawabku asal membuat ambu terkekeh begitu pula aku. “Ambu makan yang sehat ya, biar cepat sembuh,” kataku lagi membuat ambu tersenyum simpul.

“Nanti kalau ambu sudah sembuh, bisa datang ke wisuda teteh kayak waktu dulu.”

Ambu terkekeh lagi.

“Nanti kalau sudah wisuda, teteh langsung kerja. Terus kalau uangnya sudah kekumpul kita umroh bareng.”

“Umroh, ya?” ucap ambu mengulangi.

“Iya, kita umroh bareng-bareng. Sama abah, sama Aa, sama teteh, sama Ujang. Makanya ambu sembuh dulu.”

“Ngeliat ka’bah lagi,” ucap ambu yang senyumnya tidak luntur membayangkan betapa rindunya dia pad bangunan megah yang suci itu.

Abah dan ambu memang sempat mendapat undangan dari Allah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, itu sudah lalu sekali, bahkan jauh sebelum aku SMP. Mungkin sekarang ambu sudah merindukan masjid megah yang indah yang menjadi kiblat ibadah umat muslim.

“Iya nanti kita ngelihat ka’bah lagi,” kataku. “Tabungan magang teteh dama uang freelancer teteh masih ada, kalau di gabung sama nanti uang gaji kira-kira lima juta berarti kurang lebih dua tahun lagi kira umroh sama-samanya,” kataku lalu berceletuk. “Lama, ya.”

Ambu terkekeh lagi. Kini pembicaraan panjang kami seputar haji ambu menguar mengelilingi ruang rawat. Ambu banyak cerita tentang pengalamannya di tanah suci tersebut yang mulai dirindukannya. Sementara aku menyimak dan sesekali menanggapi dengan semangat. Sampai ambu mengatakan.

“Teteh, makasih ya, udah ngerawat ambu.”

Air mataku sontak mengalir tanpa perkiraan. Keputusan cutiku ternyata tepat.

**

“Abah,” panggilku ketika abah sedang berjalan menuju kamarnya.

Dalam sebuah rumah yang sunyi yang hanya berisikan kami berdua sebab Aa dan Ujang berjaga untuk ambu, abah menoleh dengan wajah letihnya yang luar biasa karena sudah dua hari ini abah menjaga ambu pada malam hari dan paginya langsung berangkat bekerja. “Kenapa, teh?” tanya dengan kemejanya yang juga ikut lusuh.

Aku menelan ludahku pahit-pahit. Malam ini terasa jauh lebih lama bagiku. “T-teteh mau nanya.”

“Nanya apa?”

Aku terdiam lagi, seperti dibungkam oleh pertanyaanku sendiri aku menelan ludahku pahit-pahit. “Emang benar, ya, kalau teteh itu anak angkat abah dan ambu?”

Abah terkesiap. Mata sayunya langsung melebar membulat senyum letih yang tadi abah berikan berubah pucat. Menandakan satu hal yang sudah pasti untukku. “Kok, teteh ngomong gitu?”

“Nanya doang,” kataku memaksakan seulas senyum.

“Teteh tahu dari mana?” tanya abah lagi.

Senyumku semakin berat, mengetahui fakta baru tentang diriku. “Dari muka abah dan dari pertanyaan abah yang barusan abah tanyakan,” jawabku membuat abah mendekatiku.

“Jujur sama abah, siapa yang kasih tahu teteh kayak gitu?”

Aku menggeleng pelan, tidak perlu tahu siapa yang memberi tahunya, yang jelas kini aku tahu akan statusku. “Abah ngambil teteh dimana?” tanyaku lagi parau.

Kini abah hanya bisa memandangiku dengan kilatan yang sulit diartikan, seolah semua rasa bercampur aduk didalamnya. Terkejut, sedih, marah, lelah yang menjadi satu. Abah membalikkan tubuhnya dan hendak kembali memasuki kamarnya tanpa menjawab pertanyaanku, tetapi langsung kuselak lagi.

“Maaf, ya, abah kalau dulu teteh sering menuntut tanpa tahu status teteh.”

Langkah abah langsung terhenti diambang pintu, menoleh dengan matanya yang memerah dan berkilat-kilat penuh linangan air mata. “Kok teteh ngomong gitu?!”

Aku menundukkan kepalaku takut akan menampakkan air mata yang tidak seharusnya jatuh. “Maaf kalau sering merepotkan abah dan ambu, maaf kalau ucapan teteh sering nyakitin abah dan ambu, maaf kalau sering minta ini dan itu tanpa lihat kondisinya.”

“Teh,” panggil abah, aku mengangkat kepalaku menatap mata abah yang sudah berderai. “Bagi abah dan ambu, teteh itu tetap anak kita, anak yang selalu kita banggakan. Anak yang selalu memberi kehangatan atas kehadirannya. Tanpa adanya ikatan darah, teteh itu tetap anak abah dan ambu.”

Air mataku pecah tanpa bisa ditahan-tahan lagi dan abah langsung memelukku. Untuk beberapa lama aku terus menangis dalam dekapan hangat seorang kepala keluarga. Sambil dielus-elus kepalaku abah berbisik pelan.

“Nanti, kalau semuanya sudah mereda. Abah kasih tahu semua yang teteh ingin tanyakan.”

Aku tidak menjawab, pandanganku terus merunduk menatap kosong lantai-lantai lalu sebuah anggukan singkat dariku yang mampu dicerna oleh abah yang selanjutnya berterimakasih padaku.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang