22: PERPISAHAN DAN PERTEMUAN

376 56 25
                                    

Sampai pada suatu saat, setelah tujuh bulan Sukarti melahirkanku. Dua minggu setelahnya Sukarti tidak terlihat di Pasar Tanah Abang, tidak pula terlihat di pekarangan belakang panti asuhan tempat Sukartini dan aku biasa bermalam. Semua orang menjadi khawatir dan mencarinya. Terlebih dia hilangnya bersamaku.

Ketika magrib berkumandang, tepat ketika mentari terbenam hilang. Seorang bocah laki-laki panti yang sedang bermain di halaman belakang akan mengambil bolanya yang tertendang keluar pagar dan hilang dimakan ilalang-ilalang. Sebab belakang panti asuhan tersebut adalah tanah kebon tidak berpemilik sehingga tidak ada pula yang merawat dan tumbuhlah tumbuhan-tumbuhan liar. Bocah tersebut menemukan sukarti yang terkulai bersimbah darah dengan kepala yang hampir putus dengan aku yang sedang menyusu padanya.

Berita tersebut menyebar luas terdengar hingga pada kepolisian sektor. Namun, karena Indonesia yang tengah merusuh kala itu, kasus Sukarti dibiarkan dan ditutup tanpa tahu pembunuhnya siapa, sedang aku ambil hak asuhnya pada panti asuhan tersebut. Mendengar itu semua dari ibu panti berhasil membuat tubuhku bergetar. Terlebih tentang kematian Ibu kandungku yang masih menjadi misteri dan tanda tanya.

Tentang pria yang memperkosanya hingga hamil. Tentang kematiannya yang janggal. Air mataku berhasil mencelos ketika bu panti menyodorkan sebuah foto dengan aku yang dikempit oleh Sukarti yang sedang tertawa-tawa. Sendu, semuanya menjadi kelabu bagiku. Sampai tangan hangat tua Abah berhasil menghapus air matku. Aku tidak berani melihat wajah Abah, mataku hanya tertuju kebawah tepat pada dua foto yang kupengang. Lantas tangisku kembali meleleh dan tidak kunjung surut, Abah langsung saja mendekapku dan aku menangis dalam dekapannya. Abah yang mengelus-elus punggungku menghantarkan hangat untuk setidaknya menenangkanku. Sampai aku tersadar mungkin, jika bukan kematian Sukarti, aku tidak akan bertemu dengan Abah dan Ambu, dan juga masih hidup dijalanan sama sepertinya.

Mungkin hal itu harus disyukuri agar aku mengerti tentang keikhlasan. Tentang menerima ketetapan tuhan yang sudah terjadi. Agar aku tidak sedih berlalu-lalu dan meratapi nasib berkepanjangan. Aku masih punya orang tua asuh yang menyayangiku, yang memberiku tempat untuk berteduh, yang memberiku cinta dan kasihnya. Itu sudah cukup bagiku.

**

"Kenapa Abah dan Ambu mau milih, Teteh?" tanyaku pada Ambu di akhir pekan ketika Ambu sedang mengunjungiku di Bandung sebab aku sudah memulai kembali dalam perkuliahanku.

Ambu bergedik, dalam kamarku Ambu duduk di atas kasurku dan menyandarkan punggungnya pada kepala kasur. "Dulu Aa pengin bangat punya adik perempuan," jawab Ambu singkat.

Aku ikut bersandar disampingnya. "Kenapa Teteh?"

"Karena dulu cuma Teteh yang diam tangisnya saat Ambu gendong."

Aku mengangguk paham. "Memang Teteh nangis kenapa?"

"Teteh, itu loh waktu masih belum bisa berjalan, tapi mau sok-sokan lari. Ya, jatuh lah, nangis kencang sekali," ucap Ambu mengingat-ingat yang membuat aku terkekeh. Ambu lalu melanjutkan. "Teteh dulu nangisnya lama banget, tapi pas Ambu gendong langsung diam, makanya Ambu pilih Teteh."

Aku mengangguk mengerti. Tanpa memotong cerita Ambu tentangku dulu.

"Dulu waktu hari pertama Teteh di rumah, Teteh tidurnya lelap sekali. Sampai Aa pulang sekolah terus nungguin disamping Teteh buat diajak main, tapi teteh gak bangun-bangun. Akhirnya karena bosan muka Teteh dicoret-coret sama si Aa pakai spidol."

Aku terkekeh kembali.

"Sampai setahun kebersamaan Aa dan teteh, lahir deh si Ujang. Makin ramai saja rumah Ambu dan Abah. Suara tangis Teteh dan Ujang, pertikaian Teteh dan Ujang, keusilan si Aa. Semuanya terjadi mengalir dimakan waktu, sampai sekarang Aa, Teteh dan Ujang sudah pada dewasa."

"Dulu kita dekat, ya, Bu."

"Iya, Aa itu sayang banget sama Teteh, gak ada yang boleh tangisin Teteh. Ingat gak dulu Teteh waktu SD di pindahin sekolahnya soalnya banyak yang ngebully Teteh? Begitu Teteh pindah Aa langsung mukulin orang yang pertama kali ngebully Teteh. Tahu-tahunya anak yang dulu ngebully Teteh punya Abang yang jadi angota geng motor. Makanya Aa sering berselisih sama geng motor itu yang ujung-ujungnya malah tawuran. Saking sayangnya lagi Aa sama Teteh, Aa dari dulu suka bolos buat ngikutin Teteh biar Teteh pulang dengan aman."

Aku melongo seketika, aku tidak tahu kalau dampak perundunganku bisa sampai situ. Aku juga baru tahu kalau ternyata selama ini Aa selalu mengikutiku, menjadi tamengku selama ini.

Ambu tersenyem simpul kali ini. "Kalau Ujang selalu kagum sama ke pintaran. Pokoknya setiap kalau ditanya kenapa sih Ujang belajar terus jawabannya biar Ujang bisa pintar kayak Teteh. Pokoknya apa yang selalu Teteh lakuin itu kadang suka ditiru sama Ujang."

Dadaku nyeri seketika begitu tahu fakta manis yang menyakitiku ini. Ternyata selama ini aku lebih sering berburuk sangka pada saudara laki-lakiku. Padahal selama ini mereka melindungi dan menganggumiku. Namun, tatapanku terus merendahkannya dan dengan mudahnya mulutku memaki mereka. Mungkin sudah saatnya aku meluruskan apa ang telah terjadi.

**

Aku lulus sarjana dalam kurun lima tahun. Bagiku waktu kini berjalan begitu cepat, begitu pula dengan kesembuhan Ambu yang berkala. Aku sangat bersyukur denganwisudaku yang diadakan dalam rumah sehingga Ambu yang masih bisa ikut menyaksikan wisuda sarjanaku. Berselang dua bulan menganggur setelah kelulusan, kini aku sudah bekerja di sebuah agensi rumah desain kenamaan bilangan Sudirman, tepat ketika Covid19 sedang naik-naiknya. Walau begitu, namanya anak baru aku tetap harus datang ke kantor untuk bekerja.

Setelah kurang lebih sebulan bekerja disana, aku dialihkan ketempat baru dari kantorku. Jasaku disewa oleh perusahaan start up bernama beauty.id, sebagai desain sosial media disana. Beauty.id sendiri adalah sebuah perusahaan media yang bekerja dalam bidang kecantikan dan fashion. Kantor baru tempat aku bekerja berada di lantai 17 dan 18, dalam Gedung Wisma, SCBD, ada banyak kantor yang berjalan dalam gedung tersebut. Namun, tidak kuhapal sebab baru dua minggu ini aku bekerja. Barulah pada tempat baruku bekerja, aku mendapat jadwal WFH dan WFO.

Pada awal pertemuan, aku musti diwajibkan datang ke kantor. Walau masih sama-sama bilangan Sudirman, aku masih agak asing pada daerah sini, terutama dalam gedung ini. Maka dari itu, aku terlambat datang setelah salah rute Trans Jakarta.aku berlari dengan gegabah begitu keluar dari Trans Jakarta, untungnya halte Trans Jakarta tersebut langsung bersebrangan dengan gedung tempat aku bekerja. Sehingga aku tidak perlu menggunakan jasa ojek. Langkahku besar berlari hingga tertatih, sampai sebuah lift yang tadinya terbuka akan menutup kembali. Cepat aku menempelkan kartu kantor yang menggantung di leher agar dapat masuk. Sampai tanpa sengaja aku kelepasan berseru.

"Tunggu!"

Begitu aku mengehntikan langkahku membungkuk mengambil napas pasrah tidak terlalu jauh dari lift, tiba-tiba sebuah tangan dari dalam lift menghadang agar pintu lift tidak tertutup. Aku mengangkat wajah, tahu pintu tersebut masih terbuka langsung aku berlari lagi menuju lift hingga jarakku lumayan dekat. Lalu, aku mematung seketika tepat pada pintu lift yang terbuka lebar. Lidahku kelu dan napasku seketika memberat.

Itu dia.

Pria itu dia! Pria yang berdiri dalam lift yang kosong itu dia. Pria yang menahan lift yang hampir tertutup itu dia. Duniaku seketika langsung melambat kala bola mata kami saling bertaut. Laki-laki berusia 24 tahun dengan kemeja dongker dan celana bahan hitamnya terlihat begitu berbeda dengan seragam putih abu-abu yang dulu sering dia pakai.


Pria itu terlampu berwibawa dari yang aku kenali. Aku bahkan hampir tidak mengenali kehadirannya yang telah hilang dalam hidupku selama enam tahun lamanya. Kami sama-sama terpaku sampai pintu lift yang hampir kembali tertutup, dia meraih tanganku kedalam dekapannya.

Aroma tubuhnya, wangi segar yang menguar masih sama seperti dulu kami masih sama-sama menggunakan seragam putih abu-abu. Aroma yang begitu aku rindukan, aku mengangkat wajahku untuk memastikan aku tidak salah orang. Lalu, tanpa diduga mata kami kembali bertemu dan degub jantungku kembali bergejolak. Sampai suara dentingan lift menyadarkan kami, dia melepas dekapannya.

"Sori... sori," katanya tergagap.

"Apa kabar?" tanyaku lalu dia tersenyum padaku yang terbakar rindu yang menggebu. Kehangatan yang pernah ada dan menghilang, tiba-tiba kembali datang. Aku ikut tersenyum.


Kita, Cerita, Pena.Where stories live. Discover now