8. Dongeng Kematian

177 17 0
                                    

-ELVARETTA 1993-

👻👻👻

---•••---

"Hah!"

"Udah bangun?"

Gadis itu melirik tempat dengan corak berbeda, ini bukan kamarnya. Tapi suara lelaki tadi jelas Gazlie.

"Ini di mana?"

"Rumahku."

Bangun Elvaretta sedikit tertatih. Apa tadi mimpi? Bukan, semua nyata sebab lelah dirinya terasa membunuh. Ia terengah tanpa perlu berlari, tetapi masih tak bisa dipahami oleh Gazlie kenapa Elvaretta bisa hilang kesadaran secara tiba-tiba tepat di hadapan matanya. Lagi.

"Aakh."

"Ta. Kenapa?"

"Kaki... Kaki aku sakit sekali Gaz, gak bisa digerakin."

Gazlie mendekat, mengusap kaki Elvaretta yang terasa sangat dingin. Padahal siang ini terik begitu mendominasi.

"Kita ke rumah sakit-" ucapan Gazlie terhenti. Pasti dokternya akan membahas hal yang sama. Elvaretta baik-baik saja bahkan dalam keadaan sangat sehat. "Di mana yang sakit?" Gazlie mengalihkan pembicaraan, tetapi Elvaretta masih meringis, ia tampak sangat kesakitan terlihat begitu jelas dari wajah cantik itu.

"Di bagian telapak kaki. Seperti ada kayu yang menancap di sana, ngilu."

"Ta, kamu... Kamu..." Gazlie menggeleng, ia menepis segala hal buruk yang mulai berkecamuk tak henti dalam benaknya.

"P-perih Gaz..."

"Kaki kamu baik-baik aja," kembali Gazlie membuang habis napasnya. Berkali-kali memikirkan hal gila ini, atau. Kenapa Elvaretta bisa bertingkah di luar dari pikirannya. "Apa semua ini ada hubungannya dengan hal mistis?"

"Apa maksud kamu?" Elvaretta menatap Gazlie yang menunduk kian sendu.

"Dukun."

"Enggak Gaz," gadis itu menekan perkataannya. Jelas tak mungkin karena hal yang lebih parah dari dukun pun ia alami saat ini. "Aku menginjak kayu dan duri di hutan-" ucapan Elvaretta terhenti, ia memandangi Gazlie setelah ingatannya kembali. "Apa kamu tahu hutan larangan star?"

"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"

"Ada mayat di sana, kemungkinan dia baru mati. Gaz, ayo ke kantor polisi, katakan pada polisi untuk mencari di hutan itu."

"Ta," panggilan Gazlie memelan. Keningnya ia tekan dengan sangat erat sekaligus terhenti pembicaraan menggebu dari gadis lemah di kasurnya. "Kamu udah makan? Kita makan dulu ya?"

"Seperti biasa. Kamu tak akan percaya dan tak mau mempercayaiku. Iya, kan?"

"Tapi aku percaya," suara Gian terdengar di ambang pintu. Lelaki jangkung di sana melipat kedua lengan sambil menyandarkan punggungnya. "Dan aku juga tahu di mana hutan itu berada. Apa perlu kita ke sana untuk mencarinya? Berdua saja, kak?"

"Hentikan omong kosong ini," bangkit Gazlie dari duduk. Menatap secara bergantian dua orang aneh yang sekarang berada dalam lingkar hidupnya. "Dan kamu, jangan ke mana-mana, tetap di sini sebelum aku pulang membawakan makanan. Gian, jagain Elvaretta!"

Hembusan angin yang melintas membuat lengan Gian terlepas, senyuman singkat terbentuk lalu menatap sangat dalam kepada gadis cantik yang sekarang tampak berpikir dalam hening. Membeku dengan tatapan begitu kosong.

Mendekat lelaki tadi. Duduk ia di sisi ranjang yang membuat Elvaretta terkejut.

"Padahal gue gak bercanda untuk mengikuti keinginan kakak datang ke sana dan mencari mayat itu," ucap Gian tanpa beban. "Tapi sekarang, kakak lah yang mulai ragu."

"Gian. Rasanya aneh kalau kamu langsung percaya dengan apa yang aku bilang."

Ia tertawa, tawa yang membuat bulu kuduk Elvaretta meremang. Mungkin Elvaretta tak mengenal Gian seperti dirinya mengenal Gazlie, sebab, Gian selalu tertutup, Gian bersembunyi bahkan goresan luka di atas dahinya pun, hingga detik ini belum diketahui apa sebabnya.

"Tolong. Berhentilah jadi parasit di dalam kehidupan gue dan juga kakak!"

Sangat jelas sehingga helaan napas kasar terbuang. Elvaretta meneguk air liurnya dengan susah payah lalu memperhatikan amarah dari Gian.

"Andai aja hidupku bisa lebih normal dari ini, aku tak akan membiarkan Gazlie menanggung semuanya. Aku mungkin akan pergi jauh dari kalian."

"Maka sekaranglah waktunya."

"Mengajakku ke hutan larangan itu, untuk menghabisiku, Gian?" Elvaretta tersenyum tenang. Semakin banyak menemui hal gila serupa dengan pembunuhan keji, membuat ia meyakini bahwa semua orang bisa saja melakukan hal yang sama meskipun tak ada bukti kriminalnya terlebih dulu.

"Apa kakak pikir membunuh seseorang itu mudah? Dan apa kakak pikir menjadi seorang pembunuh pekerjaan yang gampang?"

"Jadi... Apa yang sebenarnya dirasakan oleh seorang pembunuh?"

Gian terpaku. Ia hening dalam tunduk, menurun tatapannya tepat pada kaki Elvaretta yang tak bisa bergerak.

"Tak bisa melangkah dengan kencang. Tak bisa bernapas dengan damai dan tak bisa makan dengan tenang. Ada satu memori dan berputar-putar di sana. Titik hitam yang diisi oleh isak tangis dan juga teriakan para korban. Kadang kebahagiaan yang muncul ke permukaan hingga senyum bisa terbit, kadang juga penyesalan yang tumbuh sehingga air mata bisa kapan saja meluruh."

"G-gian-"

"Kata sang psikopat."

"Psikopat?"

Gian mengangguk begitu cepat. "Gue baca di buku. Mendengarnya memang ngeri, tapi membacanya terasa sangat seru."

Elvaretta tak mampu lagi berucap, kenapa semua seperti mendengar kalimat langsung dari sang psikopat.

"Gue punya temen, kakaknya seorang polisi. Apa perlu gue temui dan meminta tolong untuk membantu lo, kak?"

"Benarkah?" tanpa berpikir panjang, detak jantung Elvaretta mulai berdentum kian kuat. "Apa kamu mau melakukannya, Gian? Aku benar-benar ingin berbicara dengan polisi sekarang," saat hendak bergegas bangun, Gian menggeleng.

"Hari ini gak bisa. Kak Gazlie sebentar lagi pulang dan," Gian menuruni lagi netra tajam itu pada kaki yang sekarang terbungkus selimut tebal. "Kaki kakak belum sepenuhnya pulih, bukan?"

"Kamu benar," jawabnya dengan intonasi begitu lirih. "Apa besok akan membaik?"

"Pasti. Dan besok gue akan minta tolong dengannya. Satu lagi, bukankah harus ada kesepakatan yang terjadi di antara kita, kak?"

Elvaretta membuka kedua matanya dengan lebar. Wajah tenang yang tercipta membuat kebimbangan menghunus dirinya.

"Apa yang kamu mau, Gian?"

"Tinggalkan Kak Gazlie. Pergi jauh sejauh mungkin dan jangan kembali lagi ke sini."

"Gian-"

"Kami juga butuh ketenangan. Hidup kami tak hanya tentang kakak, kakak dan kakak. Sedangkan lelaki bodoh itu, dia selalu melibatkan perasaan sehingga memilih antara dirinya dan kakak sangat amat sulit, hingga berakhir seperti ini lagi dan lagi."

Pedih terbesit dalam jiwa Elvaretta. Lelaki yang selalu ada tanpa mau muak menjaganya, ternyata meminta penjagaan juga oleh seorang adik yang selama ini sangat membutuhkan tenaga dari Gazlie. Memilih antara ego dan juga perasaan, bagian mana yang akan menang.

"Apa kita tak bisa hidup saling berdampingan, Gian. Aku sangat membutuhkan Gazlie-"

"Tapi dia kesusahan menjagamu, kak."

"Kesusahan?"

"Benar. Dia mengorbankan dirinya serta pekerjaannya demi gadis yang baru dia temui beberapa tahun terakhir. Seperti menjaga adik kedua yang bukan siapa-siapa," pertegas Gian begitu lantang. "Akan aku temui polisi itu besok, meminta tolong agar mau membantu kakak, setelah itu. Pergi dari Gazlie. Selamanya!"

-ELVARETTA 1993-

ELVARETTA 1993 Where stories live. Discover now