13. Tak Seperti Biasanya

57.7K 5.4K 612
                                    

Absen dulu, kalian baca chapter ini jam berapa? 👉

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Komen yang banyak ya, kalau bisa di setiap paragraf. Terima kasih.
_______________________________________

Susah payah Naya menelan salivanya. Entah mengapa suara Naya seakan tercekat di tenggorokan padahal ia ingin membalas ucapan Ali beberapa detik yang lalu. Alhasil ia pun hanya bisa berjalan mundur agar dirinya bisa menjauh dari Ali. Sayangnya, Ali malah berjalan maju dan lagi-lagi mengikis jarak di antara keduanya.

Tepat saat Naya sudah tidak bisa berjalan mundur karena di belakangnya adalah dinding, Ali langsung mengungkung perempuan itu dengan kedua tangannya.

Dari jarak sedekat ini, Naya bisa mengamati wajah Ali yang begitu tampan. Hidung mancung, beralis tebal, dan bibirnya terlihat sangat sensual. Jika ia mendeskripsikan bagaimana rupa Ali, ia menjadi teringat dengan beberapa pemeran utama pria pada novel yang ia baca. Ketampanannya nyaris sempurna.

Gue kenapa? Kok deg-degan si? ucap Naya dalam hati, napasnya naik turun—memburu tak beraturan kala ia mendapati Ali  menatapnya penuh erotis.

Oke tenang, Naya. Tenang! Ah lo mah diliatin gini aja udah deg-degan. Tapi sumpah, Ali ganteng banget kalau lagi begini. Mirip cowok fiksi. Aaaaa!

Naya terus berbicara dalam hati, berteriak, melampiaskan apa yang kini ia rasakan. Sungguh, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Siapa pun tolong Naya.

Melihat ekspresi Naya yang menggemaskan membuat Ali terkekeh kecil, tangan kanan lelaki itu terulur untuk mengelus pelan puncak kepala sang istri.

"Aku bakalan keluar dari kamar kamu, cepat pakai bajunya sekarang nanti masuk angin." Kemudian ia membelakangi Naya dan berlalu pergi meninggalkan perempuan itu. Namun sebelum pergi, ia menaruh terlebih dulu paper bag yang berisi 3 abaya yang ia beli di butik tadi ke tepi ranjang.

"Oh ya, aku membelikan ini buat kamu. Suka atau nggak suka terima aja, aku nggak mau ngeliat kamu menolak barang pemberian aku!" tegas Ali.

Tak lama setelahnya, barulah ia benar-benar pergi dari kamar Naya. Melihat Ali yang sudah menghilang dari pandangan, cepat-cepat Naya berlari untuk menutup pintu kamar lantas menguncinya agar Ali tidak bisa masuk begitu saja ke dalam kamarnya sebelum mendapat izin darinya.

"Ali keliatan beda hari ini, ada apa ya?" Naya memang merasakan perubahan dalam diri Ali, karena kemarin-kemarin kan Ali hanya bisa diam dan tidak pernah membantah ucapannya sekalipun, tetapi sekarang dia malah tidak menuruti ucapannya, bahkan sepertinya tak mendengarkan apa yang ia katakan tadi.

"Bodo amat, buat apa juga gue mikirin dia?"

Naya pun segera memakai piyama bermotif bunga kemudian duduk di meja rias untuk menyisir rambut. Ketika rambutnya sudah tertata rapi, ia melirik ke tepi ranjang, di mana ada sebuah paper bag besar yang ditaruh Ali beberapa menit yang lalu di sana.

Untuk menghalau rasa penasarannya, alhasil ia melangkahkan kakinya ke sana dan duduk di tepi ranjang. Kedua matanya membulat sempurna begitu melihat isi paper bag tersebut adalah 3 abaya sekaligus kerudung panjang yang menutup dada.

"I–ini buat gue? Yang bener aja? Masa gue pake ini si? Kek emak-emak dong nanti. Gue kira dia beliin gue gaun atau apalah itu yang bagusan dikit dan yang pantes gue pake, eh ini malah beliin gue abaya, buat apa coba? Pasti nggak kepake!" Sungguh, Naya kesal sekali pada Ali. Oleh karenanya, ia membuang semua abaya baru itu ke lantai, biarkan kotor sekalian. Ia tidak peduli.

Sementara di lain tempat, Hasna tak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke kos-kosan sahabatnya terlebih dulu. Di sana ia terus menangis sejadi-jadinya, menangisi sebuah janji yang diingkari begitu saja oleh si pembuat janji tersebut. Entah sudah berapa banyak tisu yang ia pakai untuk mengusap air matanya, yang jelas rasa sakitnya tak kunjung berkurang.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now