5

722 163 9
                                    

***

Lisa sudah menghabiskan burgernya selama perjalanan, sementara Jiyong akan menikmati miliknya di ruang kerjanya nanti. Kini mereka sudah memasuki area kampus. Memang masih harus melewati beberapa gedung fakultas lain, namun Lisa sudah mulai merapikan dirinya. Ia bercermin untuk memastikan tidak ada sisa-sisa burger di wajahnya. Gadis itu juga merapikan sampahnya, memisahkannya dengan sarapan untuk Jiyong.

"Jam berapa kau selesai?" tanya Jiyong setelah mobilnya melewati gedung rektorat.

"Hanya ada satu kelas, mungkin jam sepuluh selesai," jawab gadis itu, masih sibuk dengan sampahnya. "Aku bisa pulang sendiri kalau oppa sibuk," susulnya sebelum Jiyong merasa menyesal karena memberinya tumpangan ke kampus.

"Setelah kelas kau tidak punya jadwal lain? Seharian ini?" tanya Jiyong sekali lagi.

"Hm... Apa aku harus memberitahumu kalau aku ingin pergi ke mall dengan teman-teman baru? Maksudku, apa itu pertanyaan kakekmu? Atau mungkin kakekku?"

Jiyong sempat melirik namun kemudian ia kembali mengalihkan fokusnya pada jalanan di depannya. Kini pria itu harus memarkir mobilnya di tempat parkir khusus para dosen. "Jawabanmu sekarang akan memudahkanku kalau aku ditanya nanti. Tapi bukan itu alasanku bertanya."

"Lalu alasanmu bertanya?"

"Kau mau kerja sambilan kalau senggang?"

"Apa pekerjaannya? Membersihkan ruanganmu?"

"Hm... Itu... Membersihkan ruanganku dan merapikan semua buku-buku di sana. Kau bisa mengajak temanmu."

Lisa sempat berfikir kemudian menganggukan kepalanya cepat-cepat, sebelum Jiyong keluar dari mobilnya. Padahal pria itu baru saja mematikan mobilnya. Dan Jiyong pun tidak mungkin keluar di saat mereka masih bicara, itu tidak sopan.

"Aku mau," tegas Lisa. "Tapi, boleh aku bilang ke orang-orang kalau aku melakukannya karena kita akan bertunangan? Aku akan sangat senang kalau dibayar, tapi kalau ibuku tahu, aku bisa dimarahi satu minggu penuh."

"Okay, katakan saja kau melakukannya karena tidak tahan melihat ruang kerja tunanganmu berantakan," Jiyong menyetujuinya.

"Yey!" gadis itu berseru, kemudian melepaskan seat belt-nya. "Perjodohan ini menyenangkan. Aku senang bisa bekerjasama dengan anda Profesor Kwon," katanya sembari tersenyum sangat lebar, memamerkan deretan giginya dengan penuh percaya diri.

"Kalau kau memang senang, bersihkan rumahku juga," balas Jiyong. Kali ini mereka berdua keluar dari mobil.

Jiyong yang keluar lebih dulu dengan tasnya, lalu Lisa menyusul dan mengulurkan burger milik pria itu. Jiyong mengambil burgernya, lantas berkata kalau mereka bisa berpisah sekarang. Ia suruh Lisa ke kelasnya karena lima menit lagi sudah jam delapan pagi. Gadis itu tidak boleh terlambat ke kelasnya. "Oh ya," tahan Jiyong kemudian. Ia letakkan barang-barangnya di atas kap depan mobil kemudian mengeluarkan dompetnya. "Ini kunci ruanganku, kau butuh mobil juga?" tanyanya setelah ia memberikan kartu akses ruangannya dari dompetnya.

"Butuh," senyum Lisa. "Ada barang yang harus aku ambil di rumah," katanya kemudian. Ia kemudian terkekeh, bercerita tentang paket yang diterimanya pagi ini. "Kalau begitu, sampai ketemu nanti," sapanya, yang langsung berlari pergi setelah menerima semua yang ia butuhkan. Ia harus berlari ke ruang kelasnya sebelum terlambat.

"Tsk... Apa yang membuatnya sangat senang begitu?" heran Jiyong, yang tentu saja melangkah meninggalkan tempat parkir.

Belum jauh Jiyong melangkah, seorang pria menyamai langkahnya. Seunghyun yang melakukannya, "langsung go public?" tegur Seunghyun, melewati bagian sapaan selamat pagi dan basa-basi lainnya.

"Hm..." Jiyong mengangguk tanpa mengelak. "Cantik kan? Pantas untuk dipamerkan," jawabnya dengan suara pelan yang ia yakin hanya didengar Seunghyun.

"Seperti anak-anak," komentar Seunghyun. "Bukan seleraku," susulnya dan kali ini Jiyong menoleh padanya dengan alis bertaut.

"Akan jadi masalah kalau dia sesuai seleramu, 'kan?"

"Aku tidak pernah merebut kekasih temanku," katanya tapi Jiyong tidak merubah raut wajahnya. Tetap menatap Seunghyun dengan alis bertaut dan raut tidak percaya. Seunghyun kemudian terkekeh, tersenyum tanpa dosa, "hanya sekali," katanya. "Kau bilang sudah memaafkanku tapi masih saja membahasnya, picik," ledek Seunghyun bersamaan dengan masuknya mereka berdua ke dalam lift. Di sana, tanpa mengatakan apapun, Jiyong hanya memukul bagian belakang kepala Seunghyun dengan handphone yang masih ia pegang.

Setelah pagi itu, rumor kalau Jiyong punya hubungan spesial dengan seorang mahasiswanya tersebar. Tentu ada orang-orang yang mendukungnya, memberinya selamat, ada yang tidak peduli dan enggan terlibat, lalu ada juga yang mencibirnya. Tapi pria itu cucu pemilik universitas, apapun rumor yang beredar, ia tidak mungkin diberhentikan. Siapa yang berani memberhentikan cucu pemilik tempat itu? Jiyong harus membayar keuntungan yang dimilikinya dengan cara menulikan telinganya dari segala rumor.

Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Bulan-bulan berlalu namun semester satu belum berakhir. Dan hari ini, di tengah-tengah kuliahnya, Lisa mendengar sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Di kelas yang ia ikuti, seorang dosen bercerita, wanita paruh baya yang kelihatan lebih tua dari ibunya itu bilang kalau ada seorang dosen yang tidak ia sukai. "Ada dua dosen muda di sini, yang satu diterima karena keluarganya. Dia sopan, terbilang baik juga, tapi selalu punya rumor dengan mahasiswanya. Hampir setiap tahun selalu ada rumor kalau dia berkencan dengan mahasiswa baru. Tipe-tipe pria muda yang suka bermain lalu merusak anak-anak. Meskipun dia dosen muda tapi dia tetap terlalu tua untuk mahasiswi baru, bukan begitu? Lalu dosen muda lainnya, sangat angkuh. Dia tidak mau berkumpul dengan dosen-dosen lainnya, sibuk dengan urusannya sendiri dan sangat kasar. Kalau salah satu dari kalian bermimpi untuk jadi dosen, jangan jadi seperti mereka berdua," ceritanya.

Dengan canggung, sekarang semua anak melirik Lisa. Mereka tahu siapa yang sedang dosen senior itu bicarakan dan mereka pun tahu kalau sang dosen tidak mengenali Lisa. Lisa yang merasa luar biasa tidak nyaman, hanya bisa menundukan kepalanya. Ia ketuk-ketuk penanya ke buku, menghitung detik-detik dirinya harus bersabar. Kalau tidak berhitung, emosinya mungkin akan meledak.

Untungnya kelas segera berakhir. Tidak ada bunyi bel seperti di sekolah, sang dosen sendiri yang mengakhiri pertemuan mereka dengan cerita tadi. Lantas, begitu sang dosen melangkah keluar, Lisa bangkit dari duduknya. Ia berlari kecil, menghampiri sang dosen senior tadi. "Permisi, Profesor," panggilnya, tetap berusaha terdengar sopan. Ia tahan nada bicaranya agar tetap tenang dan itu luar biasa sulit baginya.

"Ya? Ada apa?" tanya sang dosen.

"Terimakasih untuk pelajaranmu hari ini, Profesor," kata Lisa sembari membungkukan punggungnya membentuk siku-siku. Beberapa teman di kelasnya melihat itu dari pintu kelas. Tidak ada yang benar-benar menonton, mereka hanya bisa mencuri-curi pandang, berusaha keras untuk mengintip obrolan itu. "Tapi aku juga ingin anda berhenti mengatakan hal buruk tentang tunanganku," katanya, masih sembari membungkuk.

Selanjutnya ia bergerak bangkit, berdiri tegak di depan wanita paruh baya itu dan menatap wajah terkejutnya. "Profesor Kwon tidak pernah berkencan dengan mahasiswanya. Dia bertunangan denganku- ah aku memang mahasiswa baru di sini, tapi aku tidak semuda kelihatannya. Aku yakin, aku yang paling tua diantara semua mahasiswa di sini. Karena itu, lain kali jangan lagi menjadikan Profesor Kwon sebagai contoh buruk dalam pelajaranmu. Anda akan disebut pembohong kalau berkata seperti tadi lagi, bukankah itu buruk?" kata Lisa, masih dengan suaranya yang pelan dan lembut. Tanpa paksaan, tanpa tekanan dan itu justru jadi semakin menyebalkan untuk sang dosen. Ia jadi tidak bisa membalasnya dengan bentakan karena Lisa tidak mengeluarkan nada tingginya. Ia akan terlihat buruk kalau berteriak pada mahasiswa yang hanya bicara padanya. Terlebih mahasiswa itu bilang kalau ia akan jadi menantu keluarga Kwon.

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang