16

634 142 15
                                    

***

Jiyong masih menelepon ketika ia berhasil menemukan Lisa di depan kandang jerapah. Sudah hampir satu jam gadis itu duduk di sana, menunggu Jiyong yang katanya akan meneleponnya tapi tidak juga melakukan itu. Ketika tadi Lisa meneleponnya, karena Jiyong tidak kunjung datang, handphone Jiyong justru sibuk dengan panggilan lain.

"Aku pikir oppa tidak jadi datang," kata Lisa setelah Jiyong akhirnya selesai dengan panggilan itu. "Siapa yang oppa telepon?"

"Ibumu, dia yang meneleponku," tenang Jiyong, yang kemudian memperhatikannya Lisa dari ujung kepala sampai ujung kakinya. "Dengan siapa kau pergi ke sini? Katanya tidak ada tagihan taksi di kartu kreditnya," tanya pria itu, dengan tetap tenang.

"Jung Jaehyun," jawabnya berterus terang.

"Lalu dimana dia sekarang?"

"Tidak tahu," geleng Lisa. "Kami berpisah di pintu depan," susulnya.

"Dia meninggalkanmu?" tebak Jiyong dengan dahi berkerut.

"Tidak," lagi gadis itu menggeleng. "Aku hanya memintanya mengantarku ke sini, setelah itu kami berpisah. Mungkin dia pulang? Atau pergi ke suatu tempat? Aku tidak tahu kemana dia pergi," jawabnya.

Meski masih ragu, Jiyong akhirnya mengangguk. Lantas keduanya melangkah, pergi ke sederetan kios makanan yang ada di dalam kebun binatang itu. Sepanjang perjalanan, Lisa hanya diam. Jiyong pun tidak banyak bicara. Lisa mencoba untuk menikmati pemandangan di sana, namun Jiyong justru melangkah sembari menatap layar handphonenya.

Sepuluh menit keduanya melangkah, namun tiba-tiba Lisa menghentikan langkahnya di pintu masuk food court kebun binatang itu. Jiyong yang melangkah sembari membaca sesuatu di handphonenya tidak menyadari berhentinya langkah Lisa. Pria itu terus melangkahkan ke depan. Perasaan ini tidak asing— nilai Lisa. Rasa kesal yang muncul di dadanya terasa sangat familiar. Melihat Jiyong tetap melangkah tanpa menyadari keberadaannya membuat ia mengingat masa lalunya dan datang bulan memperburuk segalanya.

Jiyong sampai di sebuah meja kosong dan baru di saat itulah ia menyadari Lisa tidak melangkah di sebelahnya. Gadis itu masih ada di belakangnya, berjarak sekitar dua belas langkah darinya sekarang. Tanpa menyadari perasaan yang berusaha Lisa tahan, Jiyong menatap gadis itu. Menunggunya mendekat tanpa merasakan apapun. Tanpa menyadari apapun. Jiyong kemudian duduk di meja yang sudah ia pilih, ia lambaikan tangannya pada Lisa, memanggil gadis itu untuk mendekat namun Lisa tidak melakukan apapun. Lisa hanya berdiri, berusaha keras untuk tidak meledakan dirinya sekarang.

"Apa yang kau inginkan?" Jiyong langsung bertanya tentang makan siang ketika Lisa akhirnya berhasil menahan diri dan menghampirinya. "Aku akan membelikannya, kau boleh memesan apapun," susulnya dan lagi-lagi Lisa hanya diam.

"Tidak ada," kata Lisa. "Suasana hatiku-" Lisa baru saja akan mulai bicara, namun Jiyong menahannya. Menyelanya dengan mengatakan kalau ia perlu mengangkat panggilan yang kini masuk ke handphonenya. Panggilan itu dari seorang mahasiswanya yang tadi mempersiapkan ujian praktikum bersamanya. Jiyong merasa perlu menjawab panggilan itu sebab, mahasiswa yang meneleponnya mungkin punya masalah dengan ujian praktikum besok.

Lagi, Lisa tahan dirinya. Ia biarkan Jiyong yang bangkit, kemudian pergi melangkah ke tempat yang lebih sepi untuk bicara dengan teleponnya. Mereka tidak berada di hubungan yang membuat Lisa berhak marah karena merasa diabaikan. Pria itu bahkan tidak dengan sengaja ingin mengabaikannya. Pria itu sibuk, ia hanya luar biasa sibuk.

Dia sudah meluangkan waktunya untuk datang ke kebun binatang, berjalan mencarinya di kandang jerapah kemudian berjalan lagi ke food court, berjalan di kebun binatang tidak mudah, Lisa merasa ia harus menghargai itu. Meski sudah berusaha memahami situasinya, rasa kesal yang menumpuk tetap membuat gadis itu kewalahan.

Jiyong memperhatikan Lisa sembari menelepon. Ia tidak pergi menjauh karena ingin menyembunyikan sesuatu. Ia melangkah ke sudut, sebab food court mulai terlalu ramai, membuatnya kesulitan untuk mendengar suara lawan bicaranya. Dari jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauh itu, Jiyong melihat Lisa bernafas. Gadis itu kelihatan terengah-engah, makin lama nafasnya makin pendek dan ia menangis. "Atur saja, aku hubungi lagi nanti," potong Jiyong, menyela suara mahasiswanya kemudian mengakhiri panggilan itu.

Ia kambali menghampiri Lisa. Tentu terkejut karena gadis yang dipikirnya sedang bersenang-senang di kebun binatang tiba-tiba saja menangis. "Hei, ada apa? Kenapa menangis?" tanya Jiyong, langsung merangkul gadis itu. Ia berdiri di sebelah Lisa, sebelah tangannya merangkul sembari sesekali mengusap bahunya. Mencoba menenangkannya tanpa memberi tekanan dengan banyak pertanyaan.

Setelah sedikit tenang, Jiyong melepaskan rangkulannya. Perlahan-lahan ia menarik kursi di dekatnya, duduk di sana kemudian meminta Lisa untuk menatapnya. "Apa yang terjadi?" tanya Jiyong, tentu bersikap lembut dengan mengusap sisa air mata di pipi Lisa. "Aku tidak akan mengetahui apapun kalau kau tidak mengatakannya, kenapa kau menangis?" tanyanya sekali lagi, di saat Lisa masih berusaha untuk berhenti menangis. Ditanya begitu, bukannya menjawab, gadis itu justru kembali menangis. Air matanya justru semakin sulit untuk dikontrol.

"Oppa- oppa mengabaikanku," isaknya sambil berkali-kali mengusap air matanya sendiri. "Oppa menyuruhku pergi setelah aku mengantarkan sarapan, oppa bilang oppa akan meneleponku tapi kau tidak melakukannya, kau tidak mendengarkanku, kau terus melihat handphonemu, aku belum selesai bicara tapi oppa sudah pergi ke sana," ia terus menangis, sembari sebelah tangannya menunjuk ke tempat Jiyong tadi berdiri, tempat pria itu menelepon tadi. "Aku- aku tidak ingin menangis tapi- tapi oppa persis seperti mantan pacarku dulu. Aku- oppa- oppa membuatku marah," ia menangis, terbata-bata saat terisak dan Jiyong butuh waktu untuk mencerna pengakuannya. Mereka bahkan tidak berkencan, tapi Jiyong sudah membuatnya menangis. Terisak dengan begitu menyedihkan seolah baru saja ditinggal kekasihnya. Sayangnya, di saat begini, Jiyong tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Aku minta maaf," katanya kemudian. Hanya itu yang bisa Jiyong keluarkan dari mulutnya. Pria itu pun mendekat, memeluk gadis yang masih menangis dan jadi tontonan beberapa orang di meja sebelah.

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang