7

673 167 3
                                    

***

Sore harinya, Lisa pulang ke rumahnya sembari tersenyum. Senyumnya begitu lebar dengan tangan yang juga penuh belanjaan. Gadis itu melangkah keluar dari lift sambil sesekali melompat, menikmati aktivitasnya sore ini. Sudah lama sekali ia tidak berbelanja, tidak bermain dan bersenang-senang.

"Oh? Profesor Kwon sudah pulang, halo," serunya, yang melihat Jiyong berdiri di depan unit apartemennya, baru saja menekan bel. "Oppa mencariku? Kenapa? Kakekmu sudah pulang, baru saja setelah mengantarku ke sini. Aku menawarinya mampir tapi dia menolak, katanya dia harus pulang sebelum jalanan macet," ocehnya yang kali ini memakai sidik jarinya untuk membuka pintu.

Melihat Lisa kesulitan dengan barang belanjaan dan kunci pintunya, Jiyong berinsiatif untuk membawakan barang-barang itu. Ia juga diam-diam mengintip barang belanjaan dan menemukan beberapa pakaian juga tas di dalamnya. "Silahkan masuk," kata Lisa, ia persilahkan Jiyong masuk dan pria itu pun melakukannya.

Jiyong meletakkan belanjaan Lisa tadi di atas sofa. Pria itu meletakkan tasnya di sana, masih sembari berdiri dan melihat-lihat apartemen Lisa. Ini kali pertamanya masuk ke sana. Apartemen dengan dua kamar tidur itu ditata dengan gaya minimalis. Warna-warna tenang yang hangat menghiasinya. Semua perabotnya sederhana tapi berdiri manis di tempat masing-masing. Rumah yang nyaman dan tidak terkesan berlebihan. Melihat rumah itu membuat Jiyong sadar kalau Lisa bukan remaja ceroboh yang berkeliaran di kampus. Lisa seorang wanita dewasa yang cepat atau lambat akan jadi istrinya.

"Jus? Atau teh?" tawar Lisa yang kini berdiri di dapur, menatap lurus pada Jiyong di ruang tengah yang tidak terhalang apapun.

"Kopi?"

"Tidak ada," kata Lisa, membuat Jiyong menaikan alisnya sebab pria itu melihat mesin kopi tepat di belakang Lisa, di sebelah microwave.

"Cari sendiri kalau tidak percaya, aku tidak minum kopi lagi," katanya, yang kemudian berkata kalau mesin kopinya hanya pajangan. Barang yang ingin ia miliki sejak lama.

"Kalau begitu air dingin saja," jawab Jiyong yang kemudian duduk di sofa. Sebentar pria itu duduk, kemudian ia bangkit lagi dan melangkah ke rak di dekat TV. Di sana ia melihat sebuah foto yang dipajang, foto Lisa bersama sekelompok orang-orang seusianya. "Ini teman-temanmu?" tanya Jiyong, masih memperhatikan satu persatu orang di foto itu.

"Ya," Lisa melangkah sembari membawakan Jiyong segelas air. Air dingin yang ia bawa di gelas tinggi dengan piring kecil di bawahnya. Ia pastikan butiran air yang menetes nanti tidak akan mengotori mejanya. "Yang laki-laki WINNER, yang perempuan mahasiswa— aku, karyawan kantoran, instruktur yoga dan penjual apel," katanya sebelum Jiyong bertanya.

"Kang Seungyoon dan Song Mino mahasiswa bimbinganku," kata Jiyong. "Tapi mereka cuti semester ini," susulnya, menjelaskan alasan Lisa tidak pernah bertemu dengan keduanya.

"Ah... Aku pikir mereka sudah lulus," jawab Lisa, yang sudah tahu kalau dua pria itu kuliah di tempat yang sama dengannya. Banyak mahasiswa baru yang berharap secara kebetulan bisa bertemu mereka di kampus. "Teman-temanku membicarakan mereka di kantin, tapi kenapa oppa ke sini? Karena kakekmu?" susulnya.

"Tidak," jawab Jiyong yang sekarang menghampiri Lisa di sofa, keduanya masih berdiri. Lantas, Jiyong tatap gadis itu dan bertanya seperti alasannya datang. "Apa yang kau katakan pada Profesor Jung sampai dia luar biasa marah padamu?" tanyanya.

Di tanya begitu, Lisa langsung menutup mulutnya dengan tangannya. "Oh my God!" seru gadis itu tepat setelah Jiyong berhenti bicara. "Sepertinya bergaul dengan anak-anak di kampus membuatku jadi kekanakan, bagaimana ini? Apa dia akan memberiku nilai F? Atau dia melaporkanku ke Dekan? Bagaimana ini? Aaah... Bagaimana ini? Ibuku pasti marah... Hngg... Apa kalau ada masalah begini, orangtuaku akan dipanggil ke kampus? Aku belum siap botak. Oppa, bagaimana ini?" panik gadis itu, berjalan ke kanan dan kiri, berkeliling hampir di seluruh ruang tengahnya. Terlihat jelas kalau ia tengah berfikir sekarang.

"Apa akan ada yang berubah kalau aku yang lebih dulu menemui Dekan? Tidak, tidak," geleng gadis itu, bicara pada dirinya sendiri. "Aku akan menemui Profesor Jung lebih dulu dan minta maaf, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang," katanya sementara Jiyong bergerak duduk dan meneguk airnya.

"Sudah selesai, aku sudah menyelesaikannya, kau tidak perlu melakukan apapun," kata Jiyong setelah menelan air dinginnya tadi. "Tapi jangan melakukannya, apapun yang kau dengar, abaikan itu," susulnya.

"Ya? Sudah selesai? Bagaimana? Aku tidak akan dikirim ke kuil kan?" kini Lisa menghampiri Jiyong, duduk di sebelahnya karena penasaran dan tentu saja ia menatap Jiyong lekat-lekat.

"Kau membuatku melakukan sesuatu yang buruk pada dosen senior, anggap saja begitu demi menyelamatkan rambutmu," jawab Jiyong. "Jadi jangan mengulanginya lagi," susulnya yang tanpa sadar mengusap rambut Lisa, benda yang baru saja ia selamatkan itu terasa sangat halus di tangannya, rambut terawat yang justru membuat keduanya jadi canggung dan bergerak menjaga jarak.

"Kakekku yang memiliki tempat ini dan gadis itu adalah gadis pilihannya, jadi jangan ganggu dia— oppa tidak bilang begitu kan? Ewh... Cringe," balas Lisa yang sekarang bersandar ke sofa dan memeluk bantal sofanya.

"Tsk... Ada banyak pilihan kata yang lebih bagus dari itu," kata Jiyong. "Kau tidak perlu sangat berterus terang untuk menunjukan maksudmu," lanjut Jiyong yang sekarang menenggak lagi air minumnya, untuk mengurangi kecanggungan di kepalanya.

"Lalu apa yang oppa katakan?"

"Tolong maklumi dia, dia belum terbiasa dengan suasana kurang nyaman di sini."

"Hanya itu?" tanya Lisa sebab ia pikir Jiyong akan mengatakan lebih banyak hal. Misalnya menekankan kalau Lisa adalah calon tunangannya, menekankan kalau Lisa punya peran penting untuknya.

Meski kalau dipikir-pikir, datangnya Jiyong ke ruang Profesor Jung setelah mendengar masalah Lisa tadi sudah sangat menggambarkan betapa pentingnya peran Lisa dalam hidupnya. Jiyong tidak akan peduli dan menemui Profesor Jung kalau mahasiswa lain yang melakukannya. Karena calon istrinya yang melukai harga diri Profesor Jung, jadi Jiyong menemui Profesor Jung.

"Nanti, kalau Profesor Jung memberimu nilai F, beritahu aku lebih dulu," kata Jiyong kemudian. "Dosen tidak boleh menukar nilai hanya karena tersinggung," susulnya dan Lisa menganggukan kepalanya.

Lisa berterimakasih, juga meminta maaf karena hampir membuat kekacauan besar. Tapi ketika Jiyong akan mengiyakannya, perut pria itu berbunyi. Bunyi gemuruh yang lebih besar dari rencananya. Mendengarnya Lisa menoleh, sementara Jiyong buru-buru bangkit untuk berpamitan.

"Makan saja di sini," tahan Lisa. "Oppa akan pergi makan malam— uhm... maksudnya sore— di restoran kan? Makan saja di sini. Tadi siang aku memasak, tapi belum sempat memakannya karena kakekmu datang. Akan aku hangatkan, tunggu sebentar," katanya, memaksa agar Jiyong tetap tinggal di sana sementara ia pergi lagi ke dapur dan membuka lemari esnya.

"Lalu apa yang akan kau makan kalau aku memakan makananmu?" tanya Jiyong, tentu saja ia tetap duduk di sofa tadi karena dipaksa untuk makan di sana.

"Belum tahu? Aku belum lapar, aku bisa memesan makanan atau memasak lagi, atau makan roti, mie juga punya," santai gadis itu, yang sekarang dengan cekatan membuka lemari esnya, mengeluarkan makanan yang ia simpan di sana dan menghangatkannya. "Lagipula, pengeluaranku hanya diawasi, bukan dibatasi. Kalau aku bilang itu untukmu, ibuku tidak akan marah meski aku menghabiskan beberapa juta sekaligus," santai Lisa.

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang