19. Berburu

371 64 12
                                    

Tidak ada sosok ibu yang rela melihat darah dagingnya terluka.
****
Seluruh keluarga kerajaan berkumpul di hutan dekat dengan istana, tidak jauh karena takut membahayakan keluarga kerajaan. Keamanan Majapahit memang unggul, meskipun tidak seunggul waktu Mahapatih Gajah Mada memimpin.

Banyak krisis yang terjadi antara kerajaan bawahan Majapahit. Beberapa dari mereka memutuskan untuk keluar dari wilayah Majapahit dan memerdekakan diri. Sosok yang ditakut-takuti telah pergi, Majapahit telah kehilangan singanya.

Sedemikian upaya Hayam Wuruk mempertahankan dan berusaha mengembalikan semuanya. Meskipun tidak segampang dulu, obsesinya mencari pengganti dirinya yang bisa diandalkan semakin berkobar.

"Kalian sudah siap!" suara Patih Gajah Enggon menggema, para lelaki yang mengikuti perburuan saling menjawab.

"Siapapun yang mendapatkan buruan terbanyak dialah pemenangnya. Tidak ada kalah karena semuanya akan mendapatkan hadiah sesuai banyaknya hasil buruan!"

"Peraturan yang berlaku, yang diburu adalah hewan buruan. Bukan nyawa manusia! Di larang melukai dan melakukan kecurangan, jikalau itu terjadi. Bersiaplah dipajang di depan rakyat, selama 3 hari, untuk hukuman yang paling ringan! " sambung Gajah Enggon.

Ada sekitar 7 orang yang mengikuti perburuan, termasuk para pangeran. Semuanya bersiap-siap dan menunggangi kudanya masing-masing. Semalam Aji sudah menyiapkan peralatan panahnya, tidak buruk ketika Aji mencobanya.

Sangat mudah ketika Aji menunggangi Awira, kuda tersebut penurut. Bulu kuduk Aji merinding begitu berada di atas Awira. Bisa dilihat jika beberapa pasang mata tertuju padanya.

Memang baju yang dirinya pakai sedikit lebih rumit dari biasanya, setidaknya dapat membedakan jika dirinya adalah pangeran Majapahit. Bahkan Aji bisa melihat tatapan dengki dari sepupunya itu.

"Dasar aneh," pikir Aji.

Aji menatap ke arah sang ibu, lalu ke arah kakaknya. Kusumawardhani memberikan senyuman dan bibirnya melontarkan kata semangat untuknya. Sayang jika hubungan antara kakak-adik yang mulus harus digerus oleh takhta.

Aba-aba mulai terdengar dan deru kuda yang terpacu membuat debu dari tanah kering berhamburan. Semuanya menuju ke tempat keberuntungan menurut mereka masing-masing.

Aji dan Jagapati terpisah, keduanya sepakat melindungi dari jarak jauh. Bagaimana caranya? Itu rahasia Aji. Fokus aji terpaku oleh rusa gemuk, jarang mereka hanya beberapa meter.

"Awira, diam di sini dan jangan bersuara!" ucap Aji sembari turun dari kuda. Dia memilih pijakan dengan hati-hati, satu tarikan anak panah diluncurkan oleh Aji. Bukan main, panah tersebut sesuai dengan target sasaran.

Pekikan dari rusa tersebut membuat yang lain semakin mempercepat mencari hewan buruan, beberapanya bahkan datang ke arah Aji. Mencoba mencari keberuntungan pada jalan yang laki-laki itu lalui, salah satunya Pangeran Wikramawardhana-Gagak Sali.

"Sepertinya kau memang beruntung," tanpa Aji harus melihat siapa si pemilik suara, dia tau.

"Jalan sendiri di jalanmu dan cari sendiri keberuntunganmu, setiap orang akan beruntung jika dia mau," balas Aji.

"Begitukah cara pandang putra mahkota?" Aji kembali menaiki kudanya setelah mengikat rusa tadi.

Dirinya menoleh ke arah wikramawardhana, dilihatnya laki-laki yang-agak tidak sesuai dengan ekspektasi ketika dirinya membaca buku sejarah.

"Cara pandang seseorang bukan diukur dari status, apa menjadi anak dari adik kesayangan prabu begitu membuatmu manja?" pertanyaan itu membuat hati wikramawardhana dongkol.

Dia ingin memberikan gertakan pada putra selir itu, tapi rupanya Wirabhumi begitu tahan dengan gertakan. Benar kata ayahnya jika Wirabhumi bukanlah sembarang orang, dia memang terlihat tidak peduli tapi otaknya begitu cerdas.

"Sialan!"
***
"Ibunda, apa Adhimas bisa memenangkan perburuan? Ini yang pertama kali dia ikutikan?" tanya Kusumawardhani kepada Garwa Anom.

"Raden Ayu benar, ini baru pertama kali Wirabhumi mau mengikuti kegiatan kerajaan. Jarang sekali dia berada di istana jika putri tahu, Wirabhumi suka sekali berada di luar dan membantu para penduduk," jelas Garwa Anom. "Siapapun yang menang nanti, meskipun bukan Wirabhumi tidak masalah, melihatnya ikut saja sudah bersyukur," lanjutnya.

Kusumawardhani mengangguk, semua yang dilakukannya dilihat jelas oleh Prameswari. Anaknya yang terbiasa berada di sampingnya kini berpindah. Berbeda dengan beberapa pasang mata, menilai Sekar Kedaton berbudi baik begitu menghormati kedua ibunya. Tidak pilih kasih.

Sembari menunggu peserta perburuan menyelesaikan kegiatan, Kusumawardhani memilih berjalan-jalan di sekitar area. Tidak jauh, masih dalam pengawasan prajurit istana.

"Kusumawardhani!" panggil seseorang.

Sang empu menoleh dan segera memberi salam kepada bibinya, Dyah Indudewi datang menyapanya.

"Kamu ingin memakan sesuatu?" tanya Indudewi.

"Hanya ingin mengambil beberapa kue untuk ayahanda dan ibunda biniaji, bibi," ujar Kusumawardhani.

"Untuk garwa anom, prabu?" Kusumawardhani hanya mengangguk.

"Sudah lama aku tidak melihatmu, sekarang sudah sedewasa ini. Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik bi. Oh iya, di mana ayunda Nagarawardhani? Apa dia tidak ikut ke mari?" tanya Kusumawardhani.

Indudewi mengambil segelas air, "dia berada di istana. Mungkin perjalanan kemari membuatnya lelah, mari kembali," ujar Indudewi.

Kusumawardhani mengangguk, mereka berjalan beriringan dengan para emban yang menjaga. Sampai tiba-tiba auman dari belakang sontak membuat mereka berdua terkejut.

Seekor harimau bertubuh besar berdiri dihadapan mereka berdua.  Matanya nyalang seolah marah kepada orang-orang yang berada di sana, tidak jauh dari harimau itu sudah terkapar 3 prajurit yang menjaga.

Sigap para prajurit melindungi Sekar Kedaton dan Indudewi. Gajah Enggon yang semula berada di samping Hayam Wuruk telah turun ke bawah.

"Bawa putri ke tempat yang aman!" perintah dari Gajah Enggon langsung dilaksanakan. Matanya menelisik harimau yang sedang mengamuk itu. Berbagai cara dan taktik guna menenangkan harimau tersebut, gagal. Tidak sedikit prajurit yang terluka, badan harimau itu besar.

Gajah Enggon menatap harimau tidak kalah nyalangnya, aura disekitarnya langsung berubah. Dirinya memfokuskan ilmu kanuragan, belum sampai tangannya menyentuh tubuh harimau sebuah teriakan membuat Gajah Enggon berhenti dan melompat menjauh.

Dua ekor kuda berpacu dengan begitu cepat ke arah mereka, salah satunya ditunggangi oleh Aji dan diikuti oleh Jagapati. Di tengah-tengah berburu mereka berdua mendengar auman, tidak terlalu bergema karena yang terkena anak panah adalah harimau kecil.

Sudah pasti jika induk harimau mengejar si pelaku yang telah menyakiti anaknya. Seekor induk harimau begitu posesif terhadap anak mereka, mereka tidak akan lama meninggalkan anaknya.

"Paman, jangan sakiti harimau itu," ujar Aji.

"Apa yang akan raden lakukan?" tanya Gajah Enggon.

Aji turun dari kudanya, tangannya terlihat menggendong sesuatu. Benar saja, itu anak harimau yang Aji temukan tadi. Dia sudah memberikan pertolongan pertama, beruntung luka akibat anak panah itu meleset.

Auman harimau kembali terdengar, cakarnya menancap ke tanah dan menatap nyalang ke arah Aji. Perlahan Aji berjalan mendekat dan membiarkan anak harimau itu berjalan ke arah induknya.

"Kau lihat, anakmu baik-baik saja," ujar Aji. Seolah mengerti harimau tersebut menunduk ke arah Aji dan pergi. Terdengar suara tepuk tangan dan teriakan yang bersahutan.

"Panah ini yang menyakiti harimau itu, peserta perburuan tidak mungkin tidak paham mana hewan yang pantas di buru," tutur Aji. Gajah Enggon mengangguk.

Vilvatikta 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang