21. Bertemu

402 60 5
                                    

"Siapa pemenangnya masalalu atau orang yang baru?"
****

Kau percaya jika sebuah mimpi dapat menjadi kenyataan? Semenjak kejadian berburu Hayam Wuruk selalu berdiam di kediamannya. Semua mimpi yang pecah coba dia sambung satu persatu.

Tidak ada ingatan sama sekali kecuali mimpi itu, pernahkah terjadi? Atau memang itu hanya sebuah mimpi.

Suasana malam hari ini begitu aneh, tidak di desa, tidak di istana kabut tebal seolah menyelimuti seluruh wilayah Majapahit. Mungkinkah akan ada badai yang datang? Karena masalah ini juga Hayam Wuruk keluar di temani oleh patihnya.

"Bagaimana dengan penjagaan?" tanya Hayam Wuruk.

"Hamba prabu, semua penjagaan sudah menyebar takut keadaan ini di manfaatkan oleh musuh," dengan tegas Gajah Enggon menjelaskan.

Ada perasaan khawatir yang tiba-tiba hinggap di benak Maharaja tersebut. Rasa sedih dan gundah. Entah apa yang akan terjadi. Sebagai raja dirinya tahu bagaimana cerita dari penguasa-penguasa terdahulu.

"Apa ini pernah terjadi paman?" tanya Hayam Wuruk yang masih melihat tebalnya kabut. Bajunya di dilapisi sebuah mantel agar tetap hangat.

"Ada beberapa kejadian gusti prabu, semoga saja tidak terjadi apa-apa kali ini," ujar Gajah Enggon. Ucapannya berbanding balik dengan rasa khawatirnya.

Peristiwa yang sangat amat memilukan dahulu juga di awali oleh datangnya kabut tebal. Salah satunya adalah pemberontakan Ra Kuti bersaudara. Seluruh prajurit yang berpatroli memiliki sandi yang hanya di mengerti oleh mereka. Hal itu memudahkan mereka mengetahui jika itu teman atau musuh.

"Beritahu semuanya agar tidak keluar dari kediaman untuk menghindari hal-hal buruk. Cek juga kediaman permaisuri!"

"Sendika gusti prabu!"

Melihat kepergian patihnya, Hayam Wuruk berlalu dari sana. Kali ini langkahnya tidak menuju biliknya, tapi berjalan menuju istana kanan. Ya, tempat selirnya berada. Sudah beberapa Minggu dirinya tidak berkunjung hanya karena memikirkan seseorang yang belum pasti hidupnya.

Namun, agaknya Hayam Wuruk tau harus kepada siapa dia bertanya, karena itu pula dirinya ingin berkunjung ke istana kanan.

"Dinda," panggil Hayam Wuruk ketika melihat siluet seseorang yang dirinya kenal.

"Kangmas?" balasnya sembari menghatur sembah.

"Dari mana?" Hayam Wuruk meraih tangan sang istri, membawa mereka masuk ke dalam kamar.

"Mencari Wirabhumi, aku takut dia bepergian lagi. Apalagi di luar kabut begitu tebal, apa yang terjadi?" tanya Biniaji.

"Dia pasti baik-baik saja, aku tidak tahu bagaimana bisa kabut setebal itu datang. Ataukah kemarau panjang akan datang atau hal yang lain, kita hanya perlu bersiap dan berjaga-jaga," jelas Hayam Wuruk.

Biniaji mengangguk, ketika dirinya datang ke istana ini. Semua orang tidak banyak yang tahu, bahkan keluarga Hayam Wuruk sendiri. Saat berada di rapat kemarin dirinya baru menampakkan diri.

Kedatangannya yang tidak sepenuhnya di terima membuat biniaji merasa terhimpit. Kelahiran Wirabhumi menjadi sebuah anugerah tersendiri baginya, meskipun setelah kelahiran itu dirinya merasa tambah di benci.

Kepergian Mahapatih Gajah Mada yang membuat keamanan istana tergoncang. Di tambah lagi kini anak-anak sudah beranjak dewasa, persaingan mulai terlihat begitu jelas. Majapahit benar-benar sampai di titik goyahnya.

"Ada apa dinda? Apa yang sedang adinda pikirkan?" pertanyaan serta sentuhan pada puncak kepalanya membuat biniaji tersadar.

Netra keduanya bertabrakan, saling memandang dan mengagumi satu sama lain. Hayam Wuruk tidak lagi muda, tapi ketampanannya seolah tidak memudar.

"Bicaralah!"

Begitu ragu biniaji ingin membuka mulutnya, tapi hal ini begitu mengganggu pikirannya. Lama dalam kediaman akhirnya sang istri bersimpuh di bawah. Hayam Wuruk yang masih tak mengerti hanya menatap dengan diam.

"Mohon ampun kangmas, apa boleh jika Wirabhumi tidak di calonkan sebagai pewaris takhta?" nadanya tersendat-sendat, tidak berani biniaji menatap suaminya ketika pertanyaan itu selesai.

"Ada apa? Kenapa kamu bisa meminta hal seperti itu?" tanya Hayam Wuruk.

Biniaji terdiam. Namun, Hayam Wuruk dapat menebak isi dari pikiran istrinya itu.

"Dinda, sebagai seorang raja aku ingin mewariskan semuanya kepada orang yang tepat. Kusumawardhani dan Wirabhumi itu sama-sama anakku, darah dagingku, keduanya mengaliri darah Wangsa Rajasa dadi pendahuluku."

"Kangmas, aku tidak masalah, begitu juga dengan Wirabhumi," tutur biniaji.

"Kau takut dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini? Tenanglah, aku tahu di luar sana beberapa kubu telah terbangun. Pemberontak bisa terjadi, ingat kata paman Mahapatih. Majapahit butuh seseorang yang kuat." Menyerah, biniaji mengalah. Dia tidak ingin menambah pikir sang suami, sudah tugas seorang anak raja harus berada di panggung persaingan.

"Ada sesuatu yang ingin aku bagi denganmu, 3 hari yang lalu seseorang telah menemuiku dengan niat melamar Sekar Kedaton," ucap Hayam Wuruk setelah menuntut biniaji duduk kembali di sampingnya.

"Apakah?" Hayam Wuruk mengangguk mendengar nada ragu istrinya.

"Aku menyuruhnya untuk datang bersama orangtuanya 1 purnama lagi, aku ingin dinda bersiap untuk itu."

Ada senyum manis yang terlihat di netra Hayam Wuruk, senyum yang hampir sama. Pertanyaan yang sebelumnya ingin dirinya lontarkan, dirinya simpan lagi. Mengingat putranya tidak ada di kediaman, mungkin lain kali Hayam Wuruk akan bertanya.

Sedangkan yang di cari-cari berada di lapangan panahan. Beberapa hari Aji selalu berlatih di sana, mengobati rindu akan rumah.

"Dari mana kabut ini?" lirih Aji yang begitu sebal pandangannya terganggu.

Krakk... Suara patahan dahan membuat Aji waspada. Bisa saja kabut tebal ini di ciptakan oleh musuh.

"Siapa!" tegasnya sembari mengacungkan anak panah ke arah siluet.

"Ampun! Hamba tidak sengaja lewat, tolong lepaskan hamba!" teriakan itu menyadarkan Aji jika yang dihadapannya ini seorang perempuan.

Aji berjalan mendekati, kabut memang benar-benar menghalangi sudut pandangnya. Ketika jarak mereka lumayan dekat, baru Aji sadar siapa itu.

"Wardha?" lirih Aji. Keadaan yang begitu sunyi membuat suara kecil Aji terdengar. Sang empu yang merasa memiliki nama itu mendongak, hingga netra keduanya beradu dalam kabut.

"Raden, mohon am-"

"Tidak masalah, berdirilah!" cegah Aji ketika melihat Wardha ingin menghatur sembah.

Baru sadar jika tangan Aji menyentuh lengannya, dengan segera keduanya mengambil jarak. Gawat jika orang lain melihat, apalagi di lapangan yang hanya ada mereka berdua dengan kabut.

"Jangan bersujud, bajumu nanti kotor karena embun," tutur Aji.

"Sedang apa di sini?"

"Hamba mendengar suara anak panah, maaf jika hamba lancang, hamba benar-benar tidak tahu jika Raden tengah berlatih."

Anggun, cantik, sopan, baik, cerdas, ada banyak kata yang bisa menggambarkan perempuan dihadapannya ini. Melihatnya dari dekat membuat Aji kembali memikirkan seseorang yang sama.

"Boleh tau, siapa dirimu dinda?" tanya Aji.

Terkejut si lawan bicara mendengar panggilan yang diberikan oleh pangeran Majapahit itu.

"Maaf raden, hamba Nagarawardhani, putri dari Bhre Lasem."

.
.
.
Sekelas Aji yang pintar, kalau gugup ya suka typo kalau manggil hhhaaa.

Vilvatikta 2Where stories live. Discover now