2

564 73 8
                                    

Kacamata hitam gucci, jam tangan rolex, tidak lupa tangan ramping itu sibuk membolak-balikan surat kabar. Pria perlente yang duduk sendirian di ruang tunggu bandara.

Sesekali pria itu melirik ke arah jam tangan. Sudah dua jam, dan ini adalah minuman ke dua yang ia beli. Pria itu menunggu jemputannya, bercampur rasa kesal namun akibat kerinduan yang sangat memenuhi kepala—Elvagso memilih untuk lebih sabar lagi.

Sudah sepuluh tahun tak menginjakkan kaki di negara kelahiran. Jika bukan karena Raeun, wanita yang ia kencani, tak sudi Elvagso harus pulang.

Misi awal Elvagso kembali ke Korea adalah ingin melamar, dan membawa Raeun pergi dari negara tempat di mana orang tuanya menelantarkan bocah usia sepuluh tahun di panti asuhan. Namun rupanya terdapat perubahan, Raeun bersikukuh tak ingin pergi, dan ingin Elvagso yang menetap di Korea.

Begitulah pria, jika mengenal cinta. Bodoh. Pekerjaan yang selama ini dirintis ditinggalkan begitu saja, dan memilih wanitanya. Sialnya lagi, jika Elvagso bisa menjadi psikiatri hebat di Italy, di Seoul pria itu justru menganggur. Hanya bermodalkan cinta dan rindunya.

Elvagso membuka ponselnya begitu ada pesan masuk dari Raeun.

Raeun: Maaf aku tak bisa menjemputmu, aku sedang perjalanan bisnis. Kau bisa menggunakan taxi bukan?

Raeun: Sampai jumpa di rumah kita. Aku mencintaimu.

Tidak tepat waktu, dan ingkar janji adalah hal yang paling Elvagso benci. Namun kali ini apalah arti amarah untuk orang yang dicinta.

Akhirnya dengan rasa lelah yang menghujani tubuh, Elvagso memesan taxi dan memindahkan barang-barangnya sendiri.

Seoul banyak berubah. Semakin ramai, dan macet. Selama perjalanan Elvagso memikirkan bagaimana melanjutkan hidupnya di negara kelahirannya sendiri. Ia sudah terbiasa hidup di Portofino dengan segala keindahan lautnya. Walau tak sebesar Seoul, setidaknya di Portofino, Elvagso tak pusing memikirkan uang. Buktinya uang mengalir dari berbagai macam pintu, pekerjaan utamanya sebagai psikiater, dan usaha ekspor ikan segar yang ia buka bersama ayah angkatnya.

Sekarang Elvagso bingung. Harus menjadi apa. Ini seperti ia merasakan krisis identitas diri, dan kembali ke usia dua puluh-an, dimana masih gencarnya mencari-cari jati diri dan pekerjaan.

Menyebalkan. Jika bukan karena cinta. Elvagso tak sudi meninggalkan Portofino dengan segala ladang uangnya.

***

Golden Royal Apartemen. Elvagso akhirnya tiba di apartemen dimana Raeun membelikan apartemen untuk mereka nanti tinggal.

Kamar di lantai sepuluh, nomor tiga. Elvagso membawa barang-barangnya sendiri, ya, sebetulnya barang-barangny yang lain masih dalam pengiriman.

"Ah aku ingin makan," ucap Elvagso sembari memasukkan password pintu.

Hingga pintu akhirnya terbuka, matanya disuguhi tampilan apartemen yang masih benar-benar kosong. Hanya terdapat sepasang sepatu wanita.

Elvagso tersenyum. Ternyata Raeun ingin memberikan kejutan. Dengan cepat, pria itu masuk ke dalam dan mencari-cari keberadaan Raeun.

Apartemen ini cukup besar, Elvagso suka. Selera Raeun memang selalu mengesankannya. Tak pernah mengecewakan.

Sebuah kamar utama yang lebih besar, satu ruangan kosong seperti gudang, dan sebuah ruangan yang memiliki jendela besar.

Cocok sebagai ruang kerjaku, pikir Elvagso.

Tibalah di kamar mandi, seorang wanita berdiri di depan wastafel sembari mencuci tangannya.

Dengan sigap, Elvagso mendekati dan memeluknya dari belakang. Pria itu sangat merindukan kekasihnya yang telah lama tak ia temui. Elvagso mencium pundak, dan menghirup aroma tubuh wanita dalam pelukannya.

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang