10

136 17 3
                                    

Langit kian meredup, Elvagso memasuki apartemennya seorang diri. Hampa, dan tampak begitu luas untuk seorang diri. Pria itu melangkah meletakan makanan yang Ranna beli, beserta barang-barang milik gadis itu di meja. Setan apa yang telah merasukinya, ia seperti membawa anak kucing dari jalan untuk menemani kekosongan.

Sejenak pria itu berdiri menatap tumpukan tas di meja, bingung harus memulai dari mana. Awal mula menempati apartemen itu memiliki tiga kamar. Elvagso memakai dua ruangan, untuk kerja, dan tidur. Satu ruangan lain ia pakai untuk meletakkan barang-barang dari pemilik terdahulu, siapa lagi kalau bukan ayah Ranna. 

Elvagso bersyukur bahwa ada sebuah ruang kerja disertai perabotan lengkap, yang mana kemudian bisa Elvagso pakai tanpa repot memindahkan semuanya. Kini pria itu bingung. Ranna akan tidur di mana. 

Kemungkinan terbesar, ruangan yang telah menjadi gudang akan disulap menjadi kamar tidur. Tapi tidak ada tempat tidur. Hanya lemari, meja, dan kursi peninggalan, dan beberapa kotak. 

Elvagso menghela napas, ia berkacak pinggang. Memikirkan harus di manakah kucing barunya itu tidur. Pusing pikirannya hanya berputar-putar saja di sana, Elvagso beralih menuju sebuah lemari pendingin di ujung ruangan. Pria itu membukanya, udara dingin menyentuh kulitnya. Hanya ada air di dalam botol, kotak kimchi yang ia beli di sepermarket, dan sebuah selai stroberi. Elvagso tersenyum kecut, dan menutup pintu lemari itu dengan rasa malu. 

 "Sepertinya aku harus belanja sekarang," Elvagso pun bergegas berbalik arah, dan memakai sepatunya kembali. 

Pria itu harus menjaga harga dirinya sekali lagi, gadis muda itu walau tampak penurut ia sangatlah menyebalkan jika bibirnya sekali berucap. Elvagso hanya mengantisipasi bila kalimat-kalimat dari gadis itu akan mengganggunya.

***

Bagi Ranna menjadi dewasa sungguh tidak mudah. Terlebih, dewasa yang tumbuh tanpa orang tua dan kerabat. Hal ini kian menjadi berat, ketika ia harus terlibat kecurangan kakak tirinya. Tapi, untuk apa selalu berkutat pada masa lalu, bagi Ranna lebih penting melanjutkan hidup.

Ranna melakukan kerja paruh dimana-mana, sembari mengerjakan tugas disela-sela kesibukannya. Ketika tidak ada pelanggan, yang ia lakukan adalah mengerjakan tugas.

"Kenapa tugas ini begitu sulit?!" Ranna mengetuk dahinya beberapa kali dengan ujung pena. Ia melihat ke jalanan kosong, dan tampak sepasang anak remaja berjalan sembari menikmati bungeo-ppang.

Ranna mengembuskan napas, ia sedih. Ketika anak seusianya sibuk kencan dan bermain bersama teman-teman kampus. Hal yang dilakukannya hanya bekerja, dan bekerja.

"Aku iri," ucap Ranna.

Kemudian, gadis itu kembali menatap tugasnya yang tak kunjung selesai. Gadis itu bertekad menyelesaikan tugas, sebelum sampai apartemen. Ia hanya ingin tidur saja jika sudah sampai.

Ranna selalu penasaran, bagaimana menjadi anak yang belajar di ruangan hangat, dan disuguhkan secangkir minuman oleh ibu. Tapi yang dilakukan Ranna saat ini adalah, meringkuk di depan display susu pisang yang telah kadaluarsa. Gadis itu suka meminum atau makan produk yang baru kadaluarsa beberapa jam.

Waktu terus berjalan, hal yang monoton tak pernah membuat Ranna lelah. Hanya sedikit bosan. Kali ini gadis itu berjalan menuju pulang, kini ia tau akan tidur di mana. Walau sedikit sungkan, tapi insting bertahan hidupnya jauh lebih dominan. Ranna pulang sembari membawa pulang roti baguette. Gadis itu memeluk roti panjang tersebut selama perjalannya pulang.

Hingga ia berhenti di depan sebuah pintu apartemen, dan mengetuk pintunya.

"Sir El, aku pulang!" Ranna berseru. Gadis itu menyandarkan punggungnya lemas di dinding. Hingga akhirnya tak lama kemudian, pintu tersebut terbuka menampakan Elvagso yang memakai setelan baju tidurnya.

Ranna melihat penampilan dosennya itu dari kepala hingga ujung kaki, pun kemudian Ranna tersenyum miring. "Wah, bravo." Ranna mengacungkan jempolnya.

Elvagso yang melihat hal tersebut pun langsung mengecek dirinya sendiri. "Apa?" tanya Elvagso, ketus.

Ranna menghela napas, dan menyodorkan roti baguette itu di dada Elvagso. "Aku adalah murid yang pengertian," ucap Ranna, kemudian masuk dan buru2 melepas sepatunya.

Elvagso menatap roti itu dengan bingung, dan beralih membalik badan memperhatikan Ranna yang saat ini berjalan meninggalkannya di depan pintu.

"Hei!" panggil Elvagso. Pria itu buru-buru menutup pintu, dan mengikuti Ranna.

Ranna menoleh. "Apa lagi?"

Elvagso menunjuk sebuah ruangan di ujung dengan roti baguete. "Kau, bisa tidur di sana. Itu kamarmu," ucap Elvagso, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan meninggalkan Ranna seorang diri.

Begitu suara pintu kamar Elvagso menutup, Ranna mendecih. Ia melihat sekitar. Hanya keheningan. Namun tak berangsur lama, gadis itu beralih menuju kamar yang katanya itu adalah kepunyaanya. Ranna menekan knop dengan hati-hati, dan membuka pintunya. Sedetik kemudian mata gadis itu membelalak.

Sebuah ranjang dengan bantal, dan boneka. Ada pun sebuah meja belajar beserta lampunya. Meski semua minimalis, ini lebih baik daripada kamar asramanya. Semua benda di ruangannya bernuansa pastel. Ranna tersenyum lebar, gadis itu buru-buru masuk dan merebahkan dirinya di ranjang.

"Aaah! Nyamannya!" Ranna memeluk boneka kelinci yang berada di dekatnya itu.

"Sir El! Terima kasih!" teriak Ranna dari dalam kamarnya.

Elvagso yang tengah duduk di depan laptopnya itu tersenyum tipis, usai mendengar suara Ranna. Lantas matanya tertuju pada sebuah baguete, yang tadinya tak sengaja ia bawa masuk kamar karena terburu-buru.

"Dasar gadis berisik," gumam Elvagso.

***

HAII! AKU DATANG!
OMAYGOD DAH SERUMAH AJA NI ABANG EL🫠😏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang