4

356 68 9
                                    

Waktu terus berjalan, musim pun berganti menjadi lebih dingin.

Baru memikirkannya saja, Ranna sudah sedih. Kesepian, dan sedingin apa yang akan ia hadapi nanti. Bahkan soju tak mampu menghangatkan hatinya. Menyedihkan jika terus-terusan meratapi masa mudanya, yang setahun belakangan ini dilimpahi banyak musibah juga kesedihan.

"Apakah aku berhenti kuliah saja?" celetuk Ranna.

Teman-temannya pun sontak menatap Ranna, tak terima dengan ucapan melantur gadis itu.

"Kau lupa ya, masuk ke sini tak mudah. Jika kau lupa, perlu ku bantu memukul kepalamu, Ranna?" tanya Nara.

Ranna tak menggubris. Gadis itu sibuk memainkan buku catatannya, seraya bergumam menyanyikan lagu rohani— agar gadis itu dilindungi Tuhan dari pukulan maut Rana.

"Sudah ... jika tidak pintar, minimal jangan pantang menyerah, Noona!" celetuk Jungkook.

Mendengar ucapan Jungkook, tanpa tunggu lama, tak segan-segan Ranna menjitak kepala adik tingkatnya itu.

Jungkook dibuat meringis akibat jitakan yang dihadiahkan untuknya dari Ranna. Setidaknya laki-laki itu berhasil membuat Ranna marah, tandanya kewarasan gadis itu kembali.

"Aku butuh uang, apakah aku mencari pria tua kaya raya saja?" ucap Ranna, yang lagi-lagi membuat Jungkook juga Nara, terheran-heran.

Tak habis pikir. Kewarasan Ranna hilang akibat terlalu banyak masalah.

Nara menghela napasnya panjang, lelah dengar Ranna meracau. "Cari saja. Seperti ada yang mau denganmu saja," ucap Nara, yang membuat Jungkook tertawa sampai sulit berhenti.

"Hey diam-diam! Shhh! Dosennya sudah tiba," ucap Minji.

Jungkook yang tertawa langsung terdiam, dan berpindah tempat duduk. Laki-laki bergigi kelinci itu memang suka bergabung dengan anak-anak pintar di kursi barisan depan. Sedangkan Ranna, dan Nara. Sudah pasti di belakang. Selain bisa tidur, mereka juga bisa mengerjakan tugas mata kuliah lain. Dua gadis itu bernasib sama, hanya saja Nara sedikit lebih beruntung dari pada Ranna jika soal cinta.

Seorang pria berpakaian rapi, selayaknya pengajar teladan itu memasuki ruang kelas. Semua mata tertuju pada dosen klinis, yang akan mengajar selama satu semester ke depan.

Ranna tak menghindarkan pandangannya dari sosok itu. Perasaan ini lucu. Ranna masih tak percaya apa yang saat ini ada di depannya.

"Bagaimana orang seperti itu menjadi dosen di sini?" bisik Ranna.

Nara yang duduk di sampingnya itu, langsung mendekatkan diri pada Ranna. "Kau mengenalnya?"

Ranna mengangguk. "Ya. Dia pria gila, yang menempati apartemen ayahku." Ranna memicingkan matanya. "Lihat saja, aku akan merebut kembali apartemen itu,"

"Selamat pagi semuanya," ucap dosen baru itu dengan nada datar. "Perkenalkan, saya Yoon Elvagso dosen Klinis yang akan mengajar kalian selama satu semester nanti."

Semua terdiam. Mendengar nama yang susah dilafalkan, dan asing.

"Ah, kalian bisa memanggil Sir Yoon, atau El. Got it?" Elvagso mengedarkan matanya ke seluruh ruangan, hingga akhirnya sepasang mata itu bertemu. Si gadis tidak sopan yang ia temui beberapa bulan lalu.

Elvagso mennujuk Ranna. "Kau, yang pakai baju putih," ucap Elvagso.

Ranna menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada yang memakai baju putih.

"Untuk apa kau menoleh ke sana ke mari, padahal kau sendiri orangnya," celetuk Elvagso.

Ranna mengernyitkan kening. "Saya?" tanya Ranna memastikan.

Elvagso mengangguk tidak sabar. "Cepat ke sini!" titah Elvagso.

Entah apa yang akan pria itu lakukan? Perlukah Ranna menyanyi rohani lagi, agar malaikat senantiasa melindunginya dari iblis berwujud manusia?

Dengan langkah ragu-ragu, Ranna pun berjalan ke depan kelas. Ia menatap Elvagso sinis, tak suka sekali dengan dosen barunya. Kenapa harus Elvagso? Membuat Ranna semakin enggan masuk kuliah.

Elvagso menatap Ranna datar. Di dalam kepala, pria itu sudah menyusun banyak sekali skenario. Di antaranya mempergunakan Ranna, agar bisa menemukan Raeun.

"Baiklah, tolong semua yang ada di sini dengarkan. Perempuan yang berdiri di sini, akan menjadi penanggung jawab kelas. Sehingga semua yang berhubungan dengan kelas ini, akan menjadi tanggung jawabnya," ucap Elvagso.

Hal itu sukses membuat Ranna menoleh, dan memelotot terkejut. Tak menyangka pria itu justru menambah beban hidup perkuliahannya. Menjadi mahasiswi saja cukup membuatnya pusing kepala, tugasnya sendiri masih suka terabaikan, ini justru Elvagso membebaninya dengan tanggungan yang tak main-main.

Penanggung jawab kelas? Omong kosong apa ini?!

Elvagso menatap Ranna. "Akan ada nilai tambahan untuk penanggung jawab, jika berhasil atas tugasnya. Namun, jika sebaliknya maka nilaimu juga akan berkurang."

DARI MANA DATANGNYA PRIA BAJINGAN INI?! Rasanya ingin aku kembalikan saja keasalnya!

"Kenapa harus saya?" tanya Ranna.

"Memangnya tidak mau dapat nilai plus?" Elvagso berbalik bertanya.

Ranna meringis. Terpaksa. Sangat-sangat tak bisa menolak, karena posisinya tersudut di depan kelas, dan ditonton banyak orang.

"Baik. Terima kasih, Sir," ucap Ranna.

Elvagso mengangguk. "Ya silakan kembali ke tempat." Elvagso menggunakan lambaian tangannya, seperti sedang mengusir Ranna agar cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.

Rahang Ranna mengeras. Ingin rasanya melempar wajah Elvagso dengan laptop.

"Ah ya baiklah Sir. Sebelum kembali ke tempat dusuk, saya izin mengoreksi. Baju ini berwarna krem, bukan putih," ucap Ranna, kemudian gadis itu berjalan kembali ke kursinya. Tak peduli Elvagso kini sedang menatapnya dengan tatapan paling sinis sedunia.

***

Hai!!

Iya, welkam bek bersama ocehan Sekar.

Bagi yang masih bertanya2 tentang cerita ini, akan aku jelaskan lagi.

Cerita ini mengalami perubahan, iya benar. Terutama yg jelas ada di karakter Elvagso. Kalian ingin melihat Ranna disakiti lalu diobati ya?! Tenang! Nanti! Bukan Ranna yang disakiti, kalian yang disakiti nantinya 😭🤣🤣🤣.gak becanda.

Lalu, kenapa namanya harus Elvagso? Kenapa gak Yoongi?

Ya kan, ada hubungannya dengan jalan cerita 😳 aku juga mau ceritaku punya ciri khas, jadi yaa why not? wkwkwkwk

Udah ah segitu aja. Bye2!

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang