Bagian 46

1.3K 55 3
                                    

"Mau sampai kapan kamu begini Abi". Selvya tertegun menatap laki-laki yang dia cintai memeluk foto Airana dalam diam dengan mata terpejam duduk disamping jendela. "Dia sudah menikah kalau kamu lupa".

"Saya tau,"

"Mau sampai kapan kamu begini terus, lupakan dia, perjalanan kamu masih panjang,"

Abi tersenyum kecut. "Kalau saya bisa, saya akan melakukan itu sedari dulu. Dari pada kamu sibuk mengurusi hidup saya, lebih baik kamu keluar,"

"Aku peduli sama kamu Bi,"

Abi meletakkan foto wanitanya lalu berdiri menatap Selvya yang berdiri tidak jauh darinya. "Peduli? Kalau kamu peduli, kamu tidak akan memaksa saya menjadi tunangan kamu, dan memaksa saya menikahi kamu. Saya memang menyayangi anak kamu tapi tidak dengan kamu Selvya,". Ujar Abi tajam.

Selvya mengerjapkan matanya, perkataan Abi kali ini begitu sangat melukai hatinya, lebih parah dibandingkan saat ia melihat Abi berlari begitu saja meninggalkan pernikahan mereka. Lebih sakit saat Abi selalu menolaknya berkali-kali.

"Jadi, saya mohon, pergi dari sini, sudah cukup kamu berada dilingkaran kehidupan saya,"

Selvyya menyentuh dadanya yang begitu nyeri, sementara nafasnya menjadi kembang kempis. Dengan perasaan kalut, Selvya membalikkan tubuhnya lalu berjalan meninggalkan Abi yang menatap kepergian wanita yang sudah ia anggap layaknya adiknya sendiri.

______________

Sore hari, Abi mengendarai mobilnya menuju cafe terdekat. Ia lupa, kapankah terakhir kali ia keluar? Ahh mungkin sejak tiga atau empat bulan yang lalu, entahlah. Untungnya, kampusnya sedang libur semester. Abi termenung menatap keluar jendela yang sedang gerimis. Ia sangat suka sekali dengan aroma air hujan dan tanah, aromanya sangat menenangkan.

"Ternyata benar Abi, Abi kamu sudah sembuh? Sudah sehat???"

Abi mengerjapkan matanya melihat wanita didepannya yang begitu menggemaskan dengan baju kaos kebesaran hingga menutupi celana pendeknya, rambutnya dicepol keatas menampakkan tengkuknya yang putih mulus. Abi masih terdiam saat wanita tersebut duduk didepannya menatapnya lembut dan memanggil pelayan memesan makanan.

"Bi, kamu sudah sehat?"

Abi mencubit lengannya, khawatir ia berhalusinasi, tapi rasanya sakit dan itu artinya ia tidak berhalusinasi. "Ahh, iya saya sudah sehat".

Airana tersenyum, senang mendengar Abi kembali sehat meski wajahnya agak pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Ada perasaan bersalah dan sesak saat ia melihat Abi. Airana menatap wajah Abi yang hampa, kosong dan tidak ada kebahagiaan disana.

"Kamu tidak makan??"

"Saya sedang tidak ingin makan,"

Airana mengerucutkan bibirnya membuat Abi tersenyum tipis dengan dada berdebar.

"Makan ya, aku udah banyak makanan dan kamu harus bantuin aku ngabisin itu".

Hingga tak lama kemudian, pelayan sudah datang membawa makanan pesanan Airana dan Abi cukup kaget saat pesanan makanan begitu banyak.

"Ayo makan". Ajaknya antusias membuat Abi menuruti kemauan Airana. Sekali lagi, Abi tersenyum senang saat melihat Airana begitu lahap menyantap makanan didepannya hingga mulutnya penuh. Sangat menggemaskan.

Abi menyantap salah satu menu kesukaannya yaitu bebek goreng, entahlah, ia lupa kapan terakhir kali ia bisa makan dengan nyaman dan tenang selain hari ini. Lalu bolehkah Abi meminta hentikan waktu sekarang supaya ia bisa lebih lama dengan Airana?

"Enak kan??"

Abi mengangguk "Enak,"

"Iya pasti, aku sengaja pilih menu kesukaan kamu, bebek goreng disini emang enak banget loh Bi,"

Abi menyentuh dadanya yang berdebar, perasaan bahagia meluap-luap saat Airana masih mengingat makanan kesukaannya.

"Kamu sendirian??" Tanyanya penasaran.

Airana meminum jus coklatnya saat makanannya ludes tak tersisa saking lapar dan inginnya dia makan makanan disini "Iya, aku kabur dari mas Bian, soalnya dia suka ngeselin ngak ngebolehin aku keluar rumah".

Kapan terakhir kali ia melihat Airana berbicara semanja dan semenggemaskan ini? Abi meminum teh hangat miliknya. "Kamu makannya banyak juga ya!" Ledek Abi

"Iya, soalnya aku bener-bener pengen banget makan disini Bi, emm mungkin ini ngidam".

Telinga Abi mendadak berdengung, mendengar ucapan terakhir yang ia dengar. Ngidam??? "Kamu.. hamil??"

Airana mengangguk "Iya, udah jalan lima bulan, lihat perut aku jadi imut". Airana berdiri memperlihatkan perutnya yang mulai membuncit.

Raut muka Abi menjadi sendu melihat wanita yang dicintainya benar-benar sudah begitu jauh dan tak bisa digapai. "Selamat ya, boleh aku pegang perut kamu??"

Airana mengangguk, membuat Abi berdiri mendekati Airana yang kembali duduk dikursinya, ia berjongkok dilantai. Dengan tangan bergetar, ia menyentuh perut wanita yang ia cintai dengan perasaan haru.

Jika saja ia menikah dengan Airana, sudah pasti ia akan menjadi orang paling bahagia didunia ini, dan janin yang meringkuk didalam perut Airana adalah anaknya lalu sebentar lagi ia akan menyandang status menjadi seorang ayah.

Namun tiba-tiba.

Bughhh....

"Brengsek, beraninya kamu menyentuh perut istri saya sialan". Bian menarik tubuh Abi kebelakang lalu menonjok pipi Abi hingga tersungkur membuat pekikan para pengunjung terdengar.

"Mas, ini..." Belum sempat Airana berbicara, Bian menyeret istrinya keluar dari Cafe dan Abi dengan sigap mengejar mereka berdua.

"Jangan kasar dengan perempuan, dia sedang hamil". Ujar Abi membuat Bian semakin murka hendak kembali menonjok Abi namun Airana memeluknya.

"Jangan berani-beraninya mendekati istri saya lagi, camkan itu". Bian menyuruh istrinya memasuki mobil dan ia ikut masuk kedalam mobil lalu pergi meninggalkan Abi yang kembali merasa hampa dan kehilangan saat wanita yang ia cintai kembali meninggalkannya. Dan ini lebih sakit dibanding tonjokan yang suami Airana berikan untuknya. Sungguh!.

______________
Jangan lupa vote yaaa makasi sudah membaca

Jarak Antara Luka dan Bahagia (SELESAI)Where stories live. Discover now