BAB 2 DITYANA

552 69 0
                                    


TIANA POV

Meneer Belanda ini akhirnya tidur. Mang Kasnan yang mengobatinya segera keluar, aku mengikuti keluar kamar.

"Dimana kamu menemukan kompeni itu, neng?"

"Tidak jauh dari hutan desa, Mang."

"Kenapa kamu taruh daun teh di lukanya?"

"Habisnya mau kutolong dia malah memaki dan membentakku, Mang. Jadi kukerjai saja. Hehehe, dia bodoh sekali mang, bahkan tidak bisa membedakan daun teh dengan tanaman obat."

"Kamu ini memang jahil, neng. Bagaimana jika lukanya makin parah?"

"Bilang saja kalau itu karena dia berjalan jauh dengan kaki yang luka."

Mang Kasnan hanya geleng-geleng kepala, mendengar ucapan gadis kembang desa ini.

"Dia akan baik-baik saja setelah lukanya kering. Jangan main-main dengan mereka, neng. Satu kesalahan kecil bisa membuat kita terkubur di tanah."

Tiana mencebikkan bibir mendengarnya.

"Sudah kalau ada apa-apa panggil Amang, amang akan ada di rumah seharian ini. Bibimu belum pulang?"

"Bibi ke desa sebelah mang, bantu-bantu hajatan disana."

"Hati-hati kalau begitu."

Mang Kasnan berjalan meninggalkan rumah, aku berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar. Meneer Belanda itu sekarang tertidur pulas sekali. Aku menarik kursi dengan pelan, tanpa menimbulkan suara dan duduk di depannya.

Dia punya wajah yang tampan, tidak seperti kebanyakan belanda yang kutemui, rata-rata mereka bermuka aneh. Mungkin itu yang menarikku untuk mendekatinya tadi. Matanya yang tajam melebar ketika pertama kali melihatku, alisnya yang lebat itu tertarik kebawa, dan sorot matanya yang biru seakan ingin menerkamku. Rahangnya yang tegas itu terkadang menonjol kaku, saat dia menahan geram atau menahan amarahnya, aku berani bertaruh banyak wanita Belanda yang tergila-gila dan rela mencampakkan diri mereka padanya.

Rambutnya yang seperti rambut jagung kini lepek terkulai lemas. Dia tidur terlentang, tubuhnya tinggi sekali, dipanku hampir-hampir tidak muat, kakinya yang panjang seperti egrang hampir keluar dari kayu tepian, Tidurnya nyenyak, membuat dadanya yang bidang itu naik turun seiring tarikan nafasnya. Bulu-bulu matanya yang lentik sekali-kali akan bergerak-gerak tak karuan, mungkin dia sedang mimpi buruk.

Seragam militernya tergeletak di bawah tempat tidur, beserta sepatu bootnya. Kudengar para serdadu Belanda itu hanya biang onar, pemabuk, suka main perempuan dan bukan orang yang alim. Tidak seperti dokter Liesbeth dan suaminya yang selalu ke gereja di akhir pekan. Senapannya bersandar di dinding, dekat lemari bajuku. Inilah yang membedakan para londo ini dengan para pejuang pribumi. Mereka hebat karena menggunakan senjata api melawan bangsa kami yang hanya mengandalkan parang.

Di atas meja, ubi yang tadi ku rebus masih utuh belum dimakannya. Lagipula orang seperti dia pasti lebih suka makan gandum dan keju, ketimbang ubi dan beras pribumi. Aku memungut seragamnya dan membawa ke belakang. Sambil menunggu orang ini bangun, aku bisa mencuci dan mengerjakan hal lain.

Jasper membuka mata ketika Tiana keluar dari kamar. Dasar gadis kampung, berani sekali dia mengerjaiku, pikirnya dalam hati. Jasper menoleh ke sekeliling, perutnya lapar, tapi hanya ada ubi rebus, dia terlalu malu dan gengsi untuk meminta makan dari gadis itu. Digerakkan kakinya yang terluka itu, lumayan sakit masih terasa. Terpincang-pincang dia meraih kursi dan duduk di depan meja. Empat buah ubi tersaji di piring. Diambilnya satu, rasanya manis seperti diberi gula. Ubi itu terasa gurih di lidahnya, tak sadar satu demi satu dimakannya hingga habis tak bersisa. Jasper duduk bersandar dengan perut kenyang.

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang